Sunday, May 24, 2015

SOPHIE, BAWA AKU MATI


Berdiri aku di satu tempat yang membuatku bosan, sangat bosan dan tidak bahagia. Aku menginginkan rasa tenang, sunyi, kesendirian yang membuatku tidak bisa bertanya, “sedang dimana aku?”. Aku tidak menemukannya ditempat ini. Negara tempat kelahiranku, Indonesia. Pesona negeri ini belum bisa mencuri keinginanku untuk mengarungi setiap lautan, gunung dan keindahan alam yang membuat orang-orang terpukau. Perasaan ini beda, ada medan magnet kuat yang lebih gila menarikku pada satu dimensi yang lebih luas, lebih tenang untukku merasakan rasa sakit yang sudah lama mengendap. Pesonaku terhadap negeri ini hanya sebatas pengetahuanku bahwa di negeri inilah aku dilahirkan.

Aku tidak merasakan ketenangan di negeri indah ini, terlalu banyak orang-orang “sakit” di negeri ini. Mulai dari sekumpulan manusia bodoh yang menamai dirinya politikus hingga penegak hukum yang tidak punya integritas dan loyalitas terhadap pekerjaannya. Aku tidak menyukai senyum-senyum palsu yang membuatku risih, membuatku semakin ingin pergi dari tempat ini. Tempat dimana aku bisa merasakan dan menikmati kesendirianku, merasakan udara yang tidak dicampuri udara kotor dari polusi kendaraan yang penuh sesak di jalanan.

Hanya satu hal yang aku cintai dari negeri yang indah ini. Pria itu, pria dengan sejuta pertanyaan yang masih menggantung di pikiranku. Menggantung seperti jeruk yang siap dipetik. Pria penuh kesederhanaan yang aku anggap itu adalah harta yang paling berharga yang harus dimilikki orang-orang. Kesederhanaan yang tidak biasa, tidak dimilikki orang-orang. Apa yg bisa aku lihat adalah apa yg telah dia lihat, dan lebih luas dari yang aku lihat. Kesederhanaanya dalm menatapku, tersenyum, bersalaman. Matanya seperti garis imajiner lurus yang berkontur, berpolakan seribu misteri yang membuatku tidak ingin beranjak dari tempat duduk ini. Tempat dimana aku ingin membawanya bersama semua kelembutan dan kehangatan yang ia tanamkan. Aku duduk merenung, menunggu dia datang sendiri, menghampiriku dan bukan aku yang menjemputnya. Bukan seperti ibu yang menjemput anaknya sepulang sekolah. Namun, seperti ayam yang tahu kemana dia harus pergi ketika senja tiba.

…………………….

Aku memandangi namanya, di gelas plastik berukuran grande yang telah habis diminumnya. Mungkin itu minuman kesukaannya, aku tak tahu persis apa nama minuman itu. Namanya begitu cantik, seperti taman bunga yang dirawat dalam satu kebun. Warna-warni yang memanjakan mataku. Memainkan senyumku yang tak lagi memilikki, tak lagi merindu, yang tak sempat bersentuhan. Sekalipun itu bersalaman panjang, sepanjang garis pantai Chile. Dalam kesendirianku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sosoknya. Dia tidak sendiri, dia bersama pria yang aku kenal persis. Dari sorot matanya aku tahu pria itu mencintai wanita yang duduk didepannya. Gerak-gerik pria itu sangat kentara, senyumannya melebar, selebar batas jarak yang diputus air terjun Niagara. Memutus antara Amerika dan Kanada.

Aku pernah melihatnya di bangku berwarna putih di Pantai Azur. Pantai di kota Cannes. Membaca sebuah buku otobiografi tokoh dunia. Tokoh panutannya, si botak dengan kegilaannya terhadap teknologi terbarukan. Aku terus memandanginya, masih memandanginya. Seperti duduk pada satu meja bersamanya, meja kayu dengan pola berantakkan dan kursi yang tingginya menyentuh lenganku. Gelas-gelas kaca pecah. Gambaran tepat ketika aku melihatnya bersandar pada pundak seorang pria. Pria beruntung, bermata sipit dengan kumis tipis yang mengganggu dan mengurangi auranya. Aku tidak lebih beruntung, sesekali dia tak menatapku mengalihkan pandangan atau mungkin dalam hati berkata “Kamu bajingan, kamu tai”, entahlah.


Di tempat lain, sebenarnya aku benci atas kesendirianku yang aku ciptakan sendiri. Segalanya jadi tanpa arti ketika aku menceritakan semuanya. Cerita dibalik alasan bahwa sebenarnya dialah tokoh utama dalam drama yang aku ciptakan. Dia seperti paham tapi belagak diam dan tidak tahu. Aku yakin dia tahu, lukisan dibelakangnya merekam semua situasi yang aku ciptakan. Pun juga tiga lampu kuning yang ada diatasnya. Meski wanita-wanita bertubuh molek lalu-lalang dengan dandanan menor, pantat yang kencang dan sesekali berada disampingku, mengganggu situasi yang aku ciptakan. Tapi tidak!! Bukan itu yang mencuriku. Aku merasakan sosok didepanku ini hidup dalam setiap cerita yang aku buat. Hanya saja aku tidak ingin berharap lebih jauh lagi meski sudah ribuan tembok aku tubruk, ratusan bom waktu yang meledak. Perjuangan yang tidak sia-sia meskipun garis finish hanya berjarak 1cm dari ujung kakiku. Aku ingin terus bersamanya, memilikki pemikirannya, idealismenya, integritasnya dan pesonanya sebagai seorang penulis yang tak pernah berhenti membuat dada ini sesak, membuat seluruh cairan pada mataku menyelimuti kornea lalu jatuh diantara semua pengharapan yang tak akan jadi kenyataan. Dia benar-benar ada, disekitarku. Aku merasakan kehangatannya menyelimutiku. Sophie aku harap kau tidak marah. Bawa aku mati jika kau sadar akan hal ini.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar