Tuesday, February 28, 2023

Bagian 4: Uh.


 

Semua percakapan barangkali punya maksud khusus. Tak ada satupun percakapan yang sia-sia, bahkan sia-sia buatku adalah kata yang terlalu besar, tak terjangkau, bahkan tak sekalipun kuketahui maknanya. Karena dari setiap kejadian aku selalu melihat gambaran yang lebih luas tentang mengapa sesuatu harus dan perlu terjadi, perlu kita lalui, perlu kita pahami. Dan ya hari ini, dua minggu setelah percakapan menegangkan. Ema, Sarah, dan Romy melakukannya—ketiganya serius pada ucapan masing-masing. Makin dalam rasa penasaran ini hadir, ada gejolak dari dalam yang memaksaku mengetahui lebih jauh lagi. Apakah kau sudah paham apa yang aku maksud dua minggu lalu?

Mereka melakukannya di rumah Romy, aku akan sebisa mungkin tidak menceritakan sedetail mungkin, meski aku ingin. Romy dari kesaksian Ema yang sangat menggebu-gebu saat menceritakannya, memutar Anything You Want by Reality Club. Seperti sebuah perjamuan lengkap makan malam, ketiganya memulai di sofa kecokelatan yang menurut Ema bisa menenggelamkan pantat siapapun karena saking empuknya. Romy duduk, nyaris bersantai meski Ema tahu Romy berdebar begitu dahsyatnya.

Sarah? Kau menanyakan Sarah? Hmm, Sarah bertindak sebagai seorang ibu, dan Romy anak yang paling harus ia manjakan, dari cerita ini aku tahu Sarah mungkin punya banyak koleksi di laptopnya, dan menjadi karkater dengan superioritas adalah kegemarannya. Saat punya kesempatan, ia menjelma jadi aktor paling gahar. Paling tak sadar kamera. Ya, ketiganya merekam aktifitas itu. Dengan sadar. Gila? Belum. Ada yang lebih gila dari itu. Akan kuceritakan nanti.

Aku lebih ke bertanya-tanya apa maksud Romy memutar lagu Reality Club yang satu itu. Untuk sebuah appetizer atau hidangan pembuka, lagu itu terlalu mudah menggiring ketiganya untuk sampai di puncak, lagipula, untuk hidangan pembuka ini Romy lebih banyak diam dan menikmati setiap sequence yang ada. Bagi Ema dan Sarah tubuh Romy malam itu bagai canvas kosong yang siap dibasahi oleh jenis tinta apapun. Sebuah canvas kosong yang kotor dan terus kotor. Dan tampilan kotor itu justru yang dicari, dilelang, dibeli. Mahal. Pada puncak yang dicari.

“It’s big,” Ema terus bercerita, tak ada rem, tak ada jeda.

“Bignya orang indo ya tapi, jangan dibayangin yang big—big gitu,” Sarah menambahi. Ema mengangguk, menyadari dalam hal ini Sarah lebih punya pengalaman daripada dirinya.

“Terus?” tanyaku.

“Main course,” ucap keduanya bersamaan—seolah kini Sarah dan Ema ada dalam satu tubuh.

Pertunjukkan di dapur itu dimulai dengan satu lagu yang sebenarnya bisa kita perdebatkan apakah lagu Honne, No Song Without You cocok untuk permainan tiga orang, bahkan apakah lagu itu cocok untuk permainan dua orang? Aku pun tak sama sekali kaget saat Ema menceritakan mereka berpindah dari sofa ke dapur. Ya tampaknya ketiganya terlalu sering menonton film-film porno dan pelan-pelan merusak otak mereka. Imajinasi mereka muda ditebak.

“Ema sih yang kayaknya keenakan sampe segitunya,” Sarah bersantai dengan rokok yang baru menyala di antara jari-jemarinya.

“Emang kamu engga?” tanya Ema.

“Lumayan, tapi aku pernah ngerasain yang lebih dari ini…”

“He is good.”

“Aku ga bilang dia bad, I really enjoyed.”

“Mungkin karena kalian saling kenal?” tanyaku.

Keduanya terdiam. Ya aku bisa melihat, menebak, dan membaca, tak ada scene keduanya. Ema dan Sarah bahkan tak saling menyentuh. Aku bisa melihat kejadian itu, sangat intens ketika ketiganya menyatu, namun sehebat-hebatnya Ema dan Sarah, seseringnya mereka menonton adegan itu dalam film, mereka tetap merasa canggung. Lagipula mereka dipertemukan dalam satu situasi itu berkat Romy. Mereka tak mengira bahwa akan jadi aneh jika memainkannya bersama seseorang yang benar-benar mereka kenal—dekat.

Ya kau mungkin membayangkan permainan ketiganya sama persis seperti di film-film porn yang kau suka dan sering tonton. Namun saat kulihat lebih dalam pada kedua pasang mata mereka, Romy lebih menjadi karakter yang inferior. Dia kewalahan merespon kegilaan Ema dan Sarah.

“Apa yang kamu lihat?” Sarah mengkonfrontasi.

“Engga…”

“Bohong,” ucap Ema.

“Kamu penasaran?” Sarah menyesap rokok dan membuang asapnya tepat di depanku.

“Everything. Aku lihat semuanya. Jelas.”

“What do u think?”

“Not bad.”

Ema tertawa “not bad, katanya…”

Sarah menatapku dengan rokok yang ia capit di antara kedua jarinya. Seolah ia ingin aku melihat kejadian itu lebih dalam dan lebih lama lagi. Makin aku ingin menghindari tatapan itu, aku justru makin melihat Sarah dalam gambaran itu, Sarah yang memegang kendali dari situasi intens ketiganya. Jantungku berdebar lebih cepat dan Sarah menyadari itu. Ia memajukan kursinya—mendekatiku. Pandangan kami bertabrakkan. Ema melihat itu dan menikmatinya. Menikmati siksaan yang Sarah berikan. Tapi setelah melihat lebih lama aku mulai meragukan bahwa ini adalah siksaan. Seperti melihat tape dengan wajah yang kita kenal. Wajah-wajah yang kita fantasikan.

Kau barangkali pernah membayangkan berfantasi ria bersama temanmu sendiri, atau orang-orang yang kau kenal, dan rasa penasaranmu membumbung hingga ke langit, membayangkan bagaimana mereka memuaskanmu dalam cara-cara aneh yang tak bisa diterima banyak orang. Tak masalah. Kita semua sama, saat bertemu yang sejenis, dan yang sama-sama memikirkannya kita seperti seorang monster yang keluar dari kandangnya. Hal-hal yang hanya bisa kita pendam. Namun begitu sangat meggairahkan. Entah dalam segala posisi yang kita inginkan atau yang belum kita rasakan. Kita membayangkan dan tak ada seorang pun tahu.

Main course yang dimaksud Ema dan Sarah berlangsung lebih lama dari adegan pembuka yang keduanya lebih bermain dan mencoba memanaskan mesin Romy. Namun mereka gagal menyadari bahwa Romy sebenarnya tak sejago itu. Romy mencapai puncak lebih cepat dari yang akan mereka kira. Tahap itu lebih lama karena Romy harus berkali-kali menyetop Ema dan Sarah untuk memberinya ruang. Ema menyebut Romy istirahat.

Aku berusaha menyelesaikan apa yang aku lihat saat adegan itu. Namun Sarah memaksaku melihat lebih dalam. Ema yang tadi duduk berjarak denganku, kini berpindah tepat di sampingku. Seolah keduanya ingin hadir di sana, seperti seorang yang perlu ditemani melewati trauma. Ya, singkat cerita, ketiganya melanjutkan setelah sepuluh menit. Kali ini berpindah di kamar tidur Romy, lantai dua, dengan pintu balkon yang dibuka, sehingga angin malam masuk dengan bebas—berselancar pada tubuh ketiganya.

Kau mungkin akan menebak Ema adalah orang kedua yang mencapai puncak? Benar. Bahkan dengan teriakan akhir itu Ema menyelesaikannya, tubuhnya bergelinjang di atas ranjang. Melihat Sarah menyelesaikan fase akhir, Romy bahkan terlihat mulai Lelah—lemas. Sarah? Kupikir dia justru baru menyentuh fase awal. Ia tampak tak menikmati.

“I really enjoyed,” ucap Sarah.

Sarah berhasil membuat Romy mencapai puncak untuk kedua kalinya—sendirian, tanpa Ema. Ah kau mungkin bertanya bagaimana dengan hidangan penutup? Dessert? Ya imajinasi biasa yang sering kau lihat di banyak film-film sejenis. Air hangat, di bawah shower—bersama. Mudah ditebak—nyaris membosankan.

“How?” tanya Ema.

“Not bad.”

Not bad…”

“Mau nyobain?” tanya Sarah, menawari. Dari matanya ia tak sedikit pun bercanda. Bahkan Ema menatap Sarah, mungkin dalam hatinya berkata what the fuck. Ya, What the fuck, Sarah dengan tatap yang intimidatif itu melempar pandang padaku dan Ema.

“I’m here,” Sarah bersandar pada sofa, merilekskan tubuhnya. Membuka lebar kakinya.

Ema tampak masih shock, namun ia terlihat menginginkannya. Sarah? Memulai dengan permainan solonya. Ema? Memulai dengan melepas kancing bajuku satu per satu.

Aku? Kau bertanya tentang aku?

Aku sedang sibuk.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar