“Pada dasarnya aku muak dibohongi.
Kenapa orang-orang ini susah untuk bilang aja apa-adanya, apa yang hendak
mereka mainkan sesungguhnya aku ga begitu paham. Pikiran negatifku kadang
mengarah ke hal-hal buruk dan sifat-sifat congkak, misalnya orang-orang ini ga
mau kehilangan yang lain, kasarnya menjadikan yang lain sebagai cadangan. Buatku
meskipun kamu memilih pilihan yang menurut kamu baik, tapi kamu sampai harus
membohongi orang lain, kayaknya itu tetap ga bisa disebut baik. Memang apa susahnya
menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai? Toh sebelumnya kamu juga ga kenal dia,
gak kenal aku, dan hidupmu baik-baik aja.
Apa susahnya bilang enggak, apa
susahnya nolak. Apa susahnya bilang jujur. Aku muak dibohongi. Aku muak kalo
apa yang aku pikirkan benar terjadi. Aku muak apa yang aku takutkan benar-benar
terjadi. Pada dasarnya aku muak dibohongi.”
Kutemukan catatan pendek ini sembilan
belas jam setelah kematiannya. Kau bisa menebak; ia mati bunuh diri, menyayat
lehernya dengan pisau cutter karatan yang ditemukan jatuh di bawah kursi
tempatnya mengakhiri hidup. Ia tak meninggalkan pesan apapun—untuk siapapun.
Hanya catatan pendek, tentang betapa seringnya ia dibohongi. Ajaib-kah? Seorang
mati bunuh diri karena muak dibohongi.
Aku mungkin juga jadi alasannya
melakukan hal keji itu. Siapa yang tahu. Siapa yang akan tahu bahwa satu titik
nista kecil yang kita tanamkan ke orang lain, akan ia ingat terus, membuat
tidur malamnya tak nyenyak. Tentang omonganmu yang labil, kemarin hari bilang
A, lalu berubah B, dan kau terus mengelak. Namun ia terus mengingatnya
dalam-dalam. Apakah kau pikir satu nista kecil itu tidak signifikan? Lalu
bagaimana jika semua orang menaruh satu titik nista itu pada satu orang yang
sama. Entah, terserah kau bilang itu tidak sengaja, tapi ia mengingatnya, membuat
tidur malamnya tak pernah lebih dari tiga jam.
Aku sekarang memikirkan hal-hal di
masa lalu yang membentuk keputusan itu. Bahkan perasaan cinta pun, bisa membuat
orang memikirkan kemungkinan itu—mengakhiri hidup dengan cara paling sakit—menyakitkan
dan mungkin membuat beberapa dari kita muntah-muntah. Pada dasarnya aku juga
muak dibohongi, namun sekarang, mati bunuh diri tidak jadi pilihan sadarku.
Kalau mati bagimu adalah pilihan terakhir, kamu jelas butuh aku. Biarkan tuhan
yang membunuhmu, biarkan tuhan yang mematikanmu, itu tugasnya. Mati tak
seharunya jadi pilihan, sama sekali.
Kau pasti butuh aku. Entah nanti,
entah kapan.
Entah,
kita lihat saja.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar