Tuesday, March 14, 2023

Bagian 6: .


 

Aku bertaruh pada banyak hal, termasuk untuk melihat waktu dan cara kematianku. Aku tak lagi takut pada apapun, apalagi sekadar mulut bungkammu. Mulut yang dulu berisik di telingaku, berisik yang aku tunggu, saat segala hal kau ceritakan hingga mulutmu berbusa. Ya paling tidak aku kini tahu, mengisi kekosongan orang mungkin jadi peranku.

Kekosongan yang kemudian akan diisi orang lain, memori lain, bisa jadi, mungkin aku hanya jadi ruang tunggumu. Aku tak takut lagi. Kubiarkan kau menjadi antagonis sesuai yang kau ingin. Yang tak kau sadari; segala hal buruk yang menimpamu terjadi karena ulahmu sendiri di masa lalu.

Sarah tak memahami konsekuensinya, untuk saat ini ia tak paham bahwa caranya mendiamkanku justru akan berbalik pada situasi yang memberatkannya. Sarah mendiamkanku lebih dari lima bulan. Selama itu pula suara-suara yang muncul di antara kamu selalu hanya tentang basa-basi untuk membuat Ema dan Romy tak menyadari apa yang terjadi di antara kami. Sudah pernah kubilang pada Sarah sebelumnya, aku tak peduli pada penolakan. Namun ia tampaknya justru menganggap semua ini personal.  

Lima bulan lewat kami terlibat pada perang dingin, aku lebih banyak tinggal di rumah. Kami berempat kumpul hanya saat Ema mengajakku. Mungkin Ema mengerti apa yang terjadi, namun Ema membiarkan bagian itu tetap terkurung di dalam.

Lagipula Ema sedang mesra-mesranya. Ia berhasil membalikkan situasi, meski aku tau Romy tetap bermain mata dengan Sarah. Aku tak ingin ikut campur, dan mungkin kau berpikir aku bagian dari mereka. Namun kau perlu tahu, apapun yang terjadi di antara mereka, tak ada hubungannya denganku. Aku hanya tahu bagian akhirnya, aku tak tahu apakah keterlibatanku akan memengaruhi bagian akhir dari cerita mereka.

Anggap saja cerita tentang ketidak-mampuanku melihat apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan di hidupku adalah tanda dari kematianku sendiri. Sekali lagi aku bertaruh untuk itu, bertaruh untuk melihat apa yang terjadi dalam tiga tahun akhirnya. Aku anggap itu adalah waktu sisaku. Dan kupikir tak ada salahnya menerima ajakan Ema untuk merayakan tahun baru bersama, meski aku tahu ada Sarah dan Romy juga di sana. Di tempat yang sama satu tahun lalu.

Romy masih belum sadar, apa yang terjadi di antara kami di coffeeshop itu tahun baru lalu. Aku tak akan menghalangi kehadiran Romy di sana. Sudah kukatakan sebelumnya, aku tahu akhir dari semua cerita ini. Dan karena itu, apa yang harus kutakutkan lagi? Sarah pun pada akhirnya akan menghampiriku dan memulai lagi semuanya dari nol. Hanya menunggu waktu.

Dan aku lelah untuk ini, mengulangi siklus yang sama, saat semua orang sedang sibuk pada kisahnya masing-masing yang penuh harap mereka justru datang saat kisah mereka sedang hancur lebur, dan justru membagi kehancuran itu padaku. Tanpa melihat bahwa kemungkinan situasi dan keadaanku sedang baik-baik saja. Lalu mereka menghancurkannya, hanya karena mereka butuh kembali pada situasi yang tak memberatkan mereka. Ya, mereka bukan hanya egosentris. Apa yang lebih jahat dari seseorang yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain?

Aku kembali mengingat semuanya, sebelum kejadian membingungkan pada tahun baru yang lalu. Melihat wajah di depan cermin, mengutuk diri sendiri, untuk apa membuka diri pada orang-orang yang datang hanya untuk melempar keluh-kesah, dan menguras energimu. Mereka mentransfer energi buruk pada hidupmu yang sebenarnya sedang stabil dan baik-baik saja. Anggap saja kita semua ini tong sampah bagi yang lainnya. Dan kita hanya bisa menerima, karena ketika kita mengungkapkan apa yang kita rasakan soal ini, mereka justru tidak terima, lalu kita akan merasa bersalah karena dengan itu mereka jadi diam. Bahkan tak menganggapmu siapa-siapa.

Mereka yang mengandalkan dirimu pada waktu terburuk dalam hidupnya, namun tak pernah mampu mendengarkanmu, tak pernah mampu sedikit pun bertanya tentang apakah kita merasa baik-baik saja. Hidup barangkali benar-benar tak adil, namun aku menolak pada pernyataan itu. Mereka yang tak bisa bersikap adil pada sesama manusia. Bahwa percakapan adalah hal paling transaksional. Dan mereka seringkali meminta gratis. Sudah seharusnya mereka mengerti, mendengarkanmu adalah tanggung jawabnya juga, karena kau mampu mendengarkan semua yang tumpah dari mulutnya, bahkan membantu menyelesaikan keluh-kesahnya—membantu mereka kembali menjadi baik-baik saja.

Satu jam sebelum tahun baru. Kami berempat berkumpul di coffeeshop yang sama. Romy dan Ema duduk bersebelahan, Ema? Merangkul Romy—menempel bak permen karet di bawah bangku anak-anak SD. Dan aku lihat Sarah menahan kecemburuannya. Aku bahkan tak mengerti apakah Sarah pernah menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya satu tahun lalu pada Romy, namun terlihat dari gesture keduanya, jelas ada yang ditutupi. Sarah melemparkan pandangan tiap kali aku mencoba menatapnya, ia tak mau aku membacanya, ia tahu tiap kali mata kami bertatapan itu tanda bahwa aku mampu dan punya kapasitas untuk mengeksplore pikiran dan ruang bawah sadarnya.

Aku lebih banyak melempar topik, karena kulihat Ema dan Romy saling bertukar kemesraan dan Sarah hanya berputar-putar di kepalanya sendiri. Namun tiap kali kulemparkan sebuah topik, Romy terkesan menganggapnya sebagai sebuah kompetisi. Aku tak butuh validasi siapa yang lebih pintar di antara kami. Jelas Sarah membela Romy, bahkan mati-matian. Aku tak ambil pusing, ia membela Romy karena kebencianku pada akhirnya. Untuk apa menanggapi kebencian orang—buang-buang waktu, Ema justru makin terlihat clingy setiap kali Romy mengeluarkan kata-kata perlawanan.

Makin lama, sepertinya mulai tak terkendali. Sampai pada bahasan tentang genosida. Romy memberi contoh pada karakter Thanos di Avengers. Dalam hatiku, kenapa refrensinya harus seputar pop culture, seharusnya untuk menggali lebih dalam lagi, ia memberikan refrensi yang lebih mengakar, bukan tentang sekelompok hero yang hanya ada dalam fiksi.

“Kenapa tiba-tiba bahas Genosida, sih?” Ema mengeluh.

“Terus menurutmu kenapa ada genosida?” tanya Sarah—terdengar dari intonasinya ia tampak tak suka pada segala ucapanku. Kami semua tetap berdebat, tak peduli pada keluh Ema.

“Banyak dari genosida itu alasanya cuma dua hal…” suaraku memelan, aku tahu Sarah yang emosinya sedang membuncah itu harus kubuat tenang, “…menguasai wilayah atau sumber daya. Cuma itu.”

“Gak cuma itu,” ucap Romy, “Holocaust gimana?”

“Iya, kecuali itu…” aku baru ingat, “Holocaust itu bahkan katanya cuma murni kepentingan ideologis aja.”

“Kalian ngomongin apa sih?” ucap Ema.

Romy bangkit dari duduknya. Menuju kamar mandi, tanpa mengucapkan apapun. Hanya melempar senyum pada Ema, dan kedipan mata yang kutangkap tertuju pada Sarah.

“Nazi sejahat itu ya berarti,” kata Ema padaku.

“Maksudnya?” tanya Sarah.

“Yaitu membunuh cuma karena mereka yakin sama ideologi mereka.”

“Ya pembunuhan dengan alasan apapun juga jahat, Em. Sama aja membunuh, termasuk untuk menguasai wilayah dan sumber daya.”

“Membunuh dengan maksud melawan dan melindungi diri?” Sarah mencecar perkataanku.

“Ya tetap membunuh.”

“Tapi buat perlidungan diri.”

“I know.”

“Kalian ini kenapa, sih?” tanya Ema—menegakkan badannya, melihat ada yang tak beres di antara kami, “kayak ada yang gak beres. Kelihatan canggung, kelihatan kayak mau saling bunuh.”

Kami terdiam, hanya melempar senyum dan tawa kecil. Ema menatap kami berdua, penuh curiga . “Are u okay, guys?”

“Okay, kok. Tenang aja,” ucap Sarah sebelum keheningan terasa begitu lama.

Romy kembali, membenarkan letak duduknya, merapikan kaus polosan dongker. Lima menit lagi tahun baru, dan setiap orang yang ada di coffeeshop malam ini tampak masih serius di depan layar laptop mereka, pemandangan yang nyaris sama persis setahun yang lalu.

“Make a wish dong!” seru Ema.

“Apaan sih, Em,” ucap Sarah.

“Eh gapapa dong. Ayok make a wish.”

Romy melirik Sarah singkat. Romy juga merasa make a wish sebenarnya tak perlu. Akan terasa canggung.

“Aku dulu deh… Semoga kita langgeng,” Ema tersenyum manja menatap Romy. “Kamu apa?” tanya Ema pada Romy.

“Sama dong, semoga kita langgeng,” aku tahu Romy hampir muntah dengan perkataannya sendiri.

“Sar?” tanya Romy.

“Skip!”

“Ih curang!” keluh Ema.

“Semoga semua balik seperti semula,” ucapku. Ema dan Sarah menatapku—takut Romy bertanya apa yang kumaksud. Tampak dari raut Romy, ia bertanya-tanya Semula seperti apa yang aku maksud. Namun sebelum Romy sempat menanyakannya, Sarah dan Ema sudah lompat pada bahasan yang lain.

Apakah kau pernah merasakan perubahan suhu? Dan tiba-tiba ada angin yang mengibas rokmu, suhu yang tadinya sejuk berubah menjadi dingin dalam beberapa detik, lalu kembali lagi seperti semula, rambut panjangku yang sedari awal jatuh di pundak dan punggungku, untuk sepersekian detik bergerak, dan tak ada yeng menyadari itu, Ema, Romy, dan Sarah masih asik berbincang, aku menunggu dalam hitungan sepuluh detik tahun baru datang, dan langit akan penuh kembang api.

Kulihat Romy melepas rangkulnya dari Ema, ada kebingungan di wajahnya, ia kini justru melihat Sarah dengan tatapan penuh cinta, dan Ema menatapku—mencoba mengkonfrontasi apa yang sebenarnya terjadi.

Pukul 00.01, kulihat ponselku, 1 Januari 2023. Seperti yang kuduga. Kami kembali ke timline sebenarnya. Romy berpindah duduk di samping Sarah. Memeluk Sarah singkat, mencium telinganya seketika. Sarah melihat Ema penuh girang—seolah peperangan telah usai. Kurang dari semenit kemudian, Sarah dan Romy bangkit, berpamitan dan pergi sekejap—menghilang dari pandanganku, menghilang dari coffeeshop ini.

“Lihat hapemu, Em,” ucapku, setelah Ema terus menatapku dan bertanya-tanya.

“Serius?”

Aku hanya mengangguk.

“Balik lagi kayak dulu?”

“Dan kamu udah tahu?”

Aku tersenyum.

“Jadi sekarang Romy menganggap kita udah putus?” Ema mencoba mencerna semuanya—perasaan bingung yang memukul seluruh wajahnya. “Coba tatap aku, baca aku, apa yang bakal terjadi sama aku?”

Aku berusaha menatap mata Ema—sesuai permintaannya, tak kulihat apapun di sana—tak lagi ada gambaran yang sebelumnya menyertai setiap kali aku menatap mata seseorang. Kemampuanku hilang. Ema sekejap mengetahui itu. Malam ini kami hanya jadi dua perempuan yang ditinggalkan.

Ema ditinggalkan oleh seluruh usahanya dalam memperbaiki hubungan toxic yang sebelumnya terjadi, dia ditinggalkan harapan yang sebelumnya ia bangun selama setahun dan terasa baik-baik saja. Aku? Ditinggalkan oleh sebuah pertanyaan yang masih belum terjawab; apa yang akan terjadi padaku setelah tahun ketiga?

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar