Seperti kata yang sama sekali belum
pernah aku tulis; ada bahaya di raut wajahnya, namum satu peluk malam itu mampu
mengubah mimpi-mimpi buruk. Tak pernah kukira, kami bertiga menyelesaikan malam
ganas dengan keringat saling menempel, memeluk satu sama lain, tak ada rencana,
barangkali itu kunci dari semua kenikmatan.
Aku mengakhiri kesibukan dengan
menyelami kedua hutan belantara di depan mataku. Hutan yang menyimpan
pertanyaan-pertanyaan bahaya, dan jawaban-jawaban penuh bahaya—jawaban yang
sama sekali tak pernah kudengar sebelumnya. Sebuah jawaban membasahi
hutan-hutan, juga membasahiku. Tubuh dan pikiranku.
Aku belajar dari seorang teman, bahwa
permainan paling liar pun, harus meninggalkan bekas—atau kau mungkin akan
dilupakan. Hidup memang kasar, jika kau tak mampu meninggalkan bekas yang
sepadan—kau terlupakan, dan mereka hanya mengingat hal-hal buruk darimu.
Hal buruk, yang dulu mereka terima
sebagai sebuah fakta yang subtil. Kenyataan kini hanya dibicarakan sebagai
hal-hal najis. Aku tak ingin begitu. Canvas tak lagi putih, tak ada warna neon
di sana, hanya ada warna-warna gelap, yang menyerupai itikad-itikad buruk.
Kami melakukannya lagi—berulangkali,
setelah satu malam panjang itu. Seolah tak ada orang lain, meski aku tahu, Ema
dan Sarah melakukannya juga bersama Romy—berulang kali. Membandingkan apa yang
mereka rasakan—kenikmatan yang membuncah dan pecah di ubun-ubun. Kini, tak
kulihat ada cinta di antara kami.
Hanya ada keinginan-keinginan buruk
untuk menguasai dan membenamkam wajah masing-masing. Tak kurasakan perasaan
yang sama, selain keindahan saat kulit kami menyatu dan gerakannya membentuk
suara paling nikmat yang pernah kudengar, lebih dari yang bisa dicipta oleh Mozart,
Beethoven, Tchaikovsky, atau bahkan Brahms.
Kemarin aku hutang penjelasan tentang
apa yang terjadi antara aku, Sarah, dan Ema. Ini yang aku maksud. Maaf jika
cerita ini mengecewakanmu, atau sama sekali tak membuatmu tertarik. Ya, tapi
ini lah apa adanya. Dan jika kau pikir situasi yang menengangkan ini tampak
menyenangkan, mungkin kau harus berpikir dua kali. Ini justru melelahkan, dan menetralkan
kembali tentang tujuan awal pertemanan kami sungguh begitu sulitnya.
Aku tak akan bohong—aku menikmatinya.
Namun, hal-hal yang awalnya nikmat dan mendebarkan justru berubah menjadi
bahaya-bahaya paling merisaukan. Aku tak ingin mereka mengenalku sebagai
seseorang yang mampu melumpuhkan dua perempuan dalam sekali waktu dengan mudah.
Hanya ada perasaan canggung ketika kami bertemu, apalagi ada Romy di sana,
namun saat situasi berpindah tempat seolah semuanya berjalan lancar—bertukar
ludah atau teriakan yang menggetarkan. Aku tak ingin siklus ini terjadi
berulang, terus-menerus.
Ada yang tak sama sekali mereka
ketahui tentang kemampuanku yang meningkat sejak kejadian tahun baru. Sudah
enam bulan terlewat, setiap sentuhan itu memberikanku sebuah gambaran tentang
apa yang mereka pikirkan. Entah ini curang atau tidak, tapi itu mampu membuatku
mencapai puncak lebih cepat. Jika dengan menatap mata seseorang aku bisa membaca
apa yang terjadi lima tahun ke depan. Kini aku bisa membaca pikiran seseorang hanya
dengan satu sentuhan. Dan itu menakutkan.
Aku frustasi, sialnya kecemasan itu
hilang setiap kali aku, Ema, dan Sarah melakukannya lagi. Mimpi-mimpi buruk
berubah jadi tidur nyenyak dan nyaman. Rasanya seperti terjebak pada kenikmatan
paling gila yang dicari setiap manusia. Kenikmatan yang mungkin rela ditukar
oleh apapun.
Makin lama, aku justru makin tak
menikmatinya. Aku ingin terbebas dari siklus mimpi buruk ini. Aku tak ingin
terus-menerus bangun dari tidurku dengan keadaan mata yang nyalang, berat, dan
perih. Tak pernah sekalipun aku tidur nyenyak setelah kejadian tahun baru itu. Aku
selalu terbangun tiga jam sekali, tak lebih dari itu.
Terakhir mimpi dua hari lalu, membuatku
bahkan takut untuk tidur. Aku tak perlu memberitahumu seberapa jelas dan nyata
mimpi itu, namun yang satu ini justru membuatku bingung. Aku jelaskan pada Sarah
ia justru ikut bingung—pusing. Aku bermimpi menjalani hidup dalam siklus
terbailk. Jika dalam dunia ini kita semua menjalani hidup ke depan—menuju masa
yang akan datang. Di mimpi ini aku menjalani hidup ke belakang—menuju masa
lalu. Seperti sebuah video yang dengan remote di tangan bisa kau reverse.
“Aku mau rasain yang sama.”
“Maksudnya?” tanyaku.
“Aku mau rasain di dunia nyata apa
yang kamu alami di mimpi.”
“Soal Romy lagi ya?”
Sarah mengangguk—melamun dengan
segelas air dingin yang butir-butir airnya menempel, menyelimuti gelas bening.
“Coba aja kejadian tahun baru kemarin
gak ada…”
“Aku heran deh.”
“Kenapa?” tanya Sarah.
“Iya bingung, kenapa kamu sebegitunya.
Kenapa kamu menganggap semua normal dan gak ada masalah, ketika kamu sadar ada
satu cowok, yang main mata sama kamu, padahal dia punya pacar.”
“Gak sesimple itu.”
“Ya coba jelasin.”
“I like not only to be loved, but
also to be told I am loved.”
“George Eliot?” tanyaku. Sarah mengangguk
pelan. “Kamu ngerasain itu?” aku bahkan hanya terbaring di sofa, hampir
berpikir bahwa penjelasan itu tak di masuk akal. Orang-orang terlalu sering
mencari validasi dari penulis favorit mereka, yang membicarakan tentang cinta.
Sampai tak sadar, hal buruk tetaplah buruk. Dan Sarah melepaskan kalimat itu
dari konteks sebenarnya.
“Dulu…” Sarah melanjutkan lamunannya,
“…Setelah kejadian tahun baru kemarin, apa yang aku harapkan aku rasain,
sekarang hilang gitu aja.”
“The way to love anything is to
realize that it may be lost.”
“Itu dari penulis siapa?” tanya
Sarah.
“Chesterton… G. K. Chesterton.”
“Aku gak baca.”
Ya kau mungkin akan berpikir aku
hipokrit, mendukung validasi Sarah, membalasnya dengan satu kalimat dari
penulis lain. Ya mungkin benar, dan Sarah masih belum tahu. Aku bangkit dari
sofa, duduk dan menatap Sarah. Beberapa detik itu pandangan kami saling bertubrukkan.
“Kamu mungkin belum Sadar, Sar.”
“Apa?”
“Aku kehilangan kamu berulang kali…”
“Maksudnya?” Sarah mulai menaruh
fokus, ia letakkan gelas itu pada meja nakas, dan duduk di depanku. Kami hanya
dipisahkan sebuah meja kayu kecokelatan yang peliturnya nyari hilang.
“Aku pikir kamu ngerti selama ini.”
“Bentar… Kamu gak bilang kalo kamu
suka sama aku, kan?”
Aku tak menjawab pertanyaan itu,
hanya melempar punggung pada sofa—bersandar menatap Sarah. Kami terdiam untuk
sesaat. Hanya suara detik jam di dinding yang seirama dengan debar jantungku.
Aku tahu, Sarah di dalam kepalanya sedang memilih satu pertanyaan dan
berhati-hati untuk tak membuatku merasa terpinggirkan—ia jelas takut mematahkan
hatiku.
“Sejak kapan?” tanya Sarah.
“Oh, come on Sar,” aku tahu apa yang
dipikirkan Sarah, “jauh sebelum kamu, aku, sama Ema. Jauh sebelum itu… Can’t u
stop?”
“Stop apa?”
“Ya gak semua orang tergerak karena
seks yang menggairahkan. Gak semua orang kayak kamu…”
“Kayak aku gimana ya?” tanya Sarah memotongku.
“… It’s real. Perasaanku nyata, lebih dari apa
yang terjadi di antara kamu sama Romy.”
“Emang aku gimana?” Sarah masih
memburuku dengan pertanyaan itu.
“Sorry…”
“Bukan salahku ya, kalo kamu suka
sama kau, dan aku gak tahu. Kamu gak pernah bilang apa-apa. Kamu bahkan gak
pernah nunjukkin apa-apa. Aku butuh merasa dicintai, dan itu gak akan pernah
bisa aku rasain kalo kamu cuma diem. Itupun kalo kamu beneran suka, beneran
cinta.”
“It’s real.”
“I know.”
“Sory…”
“Aku selalu ngerasa kalo memang ada
orang yang suka sama aku, orang itu gak akan bikin aku nunggu, orang itu gak
akan sibuk nunggu momen yang pas. Just being honest. Semua orang berhak tahu
kalo ada orang yang jatuh cinta sama dia.”
Sarah sudah bangkit berdiri sejak
emosinya membuncah dan semua kata-kata ajaib itu muncul dari bibirnya. Tak
pernah sekalipun aku dengar ia seserius ini.
“Selalu menyenangkan ketika tahu ada
orang yang suka sama kita,” Sarah menatapku—melempar senyum, “So… thank you.”
Kau mungkin bertanya-tanya apa maksud
dari ucapan terima kasih itu. Namun buatku justru jelas. Sarah memahami
perasaanku, hanya itu. Baginya Romy masih jadi seseorang yang ingin ia taklukan
dalam situasi paling buruk pun. Setelah kejadian tahun baru kemarin, Sarah
masih gigih dan berharap Romy mengingat semuanya.
Setelah satu perkataan jujur ini,
kami tak pernah melakukannya lagi. Dan Ema terus bertanya-tanya, apa yang
terjadi di antara kami. Tak ada satu pun yang menjawab, termasuk aku. Ema
justru makin mesra bersama Romy. Aku tahu mereka juga melakukannya bersama
Sarah. Romy tak pernah jadi protagonis di cerita ini, ia hanya pintar mengambil
kesempatan yang datang padanya.
Aku membayangkan dan berpikir apa yang lebih menyakitkan saat
Sarah; seseorang yang sepanjang hidupnya ahli dalam perihal nafsu, berubah jadi
menyukai seorang pria dengan segenap hati dan pikirannya. Namun Romy hanya
menganggap ini tiket sekali jalan, tiket untuk bersenang-senang, tiket untuk
sebuah kenikmatan—yang pada akhirnya bukan hal yang Sarah cari lagi. Sungguh ironik.
Lalu kau berpikir tentang perasaanku?
Aku belajar satu hal; tak ada yang perlu kau risaukan dari sebuah penolakan. Aku
bersyukur pernah jujur pada Sarah tentang apa yang aku rasakan. Sisanya Sarah
tahu apa yang baik untuk dirinya, dan buat apa aku sampai perlu terlibat dan
mempengaruhi pada apa yang terbaik untuknya?
Kurasa kau tak boleh marah apalagi
mengutuk diri sendiri pada orang lain yang menolakmu hanya karena mereka punya
pilihan. Bukannya menjalani hidup dengan punya pilihan adalah hal yang kita mimpi-mimpikan?
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar