Tuesday, February 14, 2023

Bagian 2: Luruh.


 

Ema tampak kesal membaca sebuah instruksi pada sebuah kertas. Wajahnya menampilkan seluruh kecantikan di ruangan itu, iya, perempuan ini makin terlihat cantik saat semua kerut di wajahnya beradu.

Ia baru saja membeli laptop pertamanya, laptop baru, hasil keringatnya sendiri. Kami berada di sebuah coffeshop tempat biasa kami berkumpul. Aku, Ema, Sarah, dan Romy. Ema seperti biasa, jadi yang paling tepat waktu di antara kami. Malam ini Ema tampil casual dan santai, blus putih bergaris dengan dua kancing teratas yang dibuka, jeans ketat hitam, dan rambut yang dicepol.

“Laptop baru!” seruku dari kasir.

“Laptop, laptop… Mac nih!” ucap Ema tetap terpaku pada layar.

Malam tahun baru dan kami masih harus menyelesaikan deadline masing-masing, Ema dengan autocad yang sama sekali tak kupahami. Aku dengan naskah medioker yang harus diedit untuk penerbit. Lebih membosankan membaca naskah medioker karena naskah-naskah itu bisa membuatmu pusing karena saking jeleknya. Aku ulang, karena saking mediokernya.

Aku duduk di samping Ema, memeluknya—membuka laptop.

“Romy ke sini?”

“Please deh…” Ema masih fokus pada Mac barunya.

Romy? Akan kuceritakan sedikit-sedikit. Romy orang terakhir yang masuk circle kami, perkumpulan kecil ini. Romy pacar Ema. Tapi rumit. Lebih rumit dari apa yang terjadi di antara kami dan Sarah.

Kami bertiga… untuk yang satu itu, akan kuceritakan nanti.

Aku dan Ema berteman baik karena kami menangis bersama saat pertama kali nonton konser Yura Yunita. Ingatan itu masih tertanam di pikiranku, aku merangkul Ema pada lagu keempat, dua lagu sejak air mataku meluap, tak ada ponsel, kami benar-benar menikmati tangis itu.

“Aku udah nangis dari tadi,” ucapku malu menunjukkan pipi yang basah.

“Sama…” Ema  balik merangkulku. Ia membiarkan tangis, tak diusap. Banjir.

Sejak satu kejadian itu, Ema menyebutku teman menangis bersama. Sebutan yang menggelikan, namun aku menikmatinya.

“Penulis mana lagi?” tanya Ema.

“Kamu ga kenal.”

“Look…” Ema memamerkan Mac barunya seperti seorang spg di depan etalase.

Aku hanya mengangguk—memanyunkan bibir.

“Sarah mana? Gak bareng?”

“Nyusul, ga tahu tiba-tiba.”

“Cowok?”

Aku hanya mengangkat kedua bahu—fokus di depan laptopku.

“Cowok mana lagi…”

Dua jam pertama, kami tak banyak bicara, menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Ema memutar playlist favoritnya dalam volume yang sangat minim—namun masih bisa kudengar, coffeeshop itu hening, mereka tak memutarkan musik apapun. Mungkin karena di tempat ini, lebih banyak orang mencari ketenangan, mengerjar deadline kerjaan atau sekadar tugas kuliah yang sebenarnya bisa diselesaikan sekali duduk dalam sepuluh menit.

Satu jam lagi tahun baru. 2023. Ema sudah lebih dulu menyelesaikan deadline, sudah setengah jam ia meracau di sampingku, aku yang masih fokus di depan layar laptop tidak begitu jelas menangkap racauan Ema. Tapi dia paham, aku masih mendengar, sesekali menanggapi. Coffeeshop ini biasanya makin malam makin ramai, ia buka 24 jam. Namun hari ini, hanya terlihat beberapa orang saja. Kami duduk di ruang non smoking yang tidak lebih luas dari smoking area.

“Aku mau ngomong serius,” tiba-tiba Ema mengecilkan volume suaranya.

Aku sontak menoleh, ada tatapan geming beberapa detik—saling tatap. Ema melirik naskah yang kukerjakan, menyadari itu, aku menutup laptop—mulai memfokuskan diri sepenuhnya pada apapun yang akan keluar dari bibir tipis itu.

“Seberapa serius?”

“Romy…” ada getar di suara Ema, “Aku udah putus sama dia.”

“Akhirnyaaaa.”

Ema menampar pundakku.

“Iyalah, toxic brooohhh. Aku aja heran, aku mau temenan sama dia karena kamu, kalo engga ya boro-boro.”

“Mau fakta yang heboh ga?” Ema gossip mode

“Kayaknya dia deket sama Sarah.”

“Wtf… Ga mungkin lah. Sarah emang anaknya agak miring, tapi masa temen sendiri dia gitu.”

“Justru Sarah saved me. Firasatku ya dia datang telat nih karena lagi sama Romy.”

Tiba-tiba Sarah datang dengan senyum lebar, lebih lebar dari jidatku. Kami berdua menatapnya, Sarah mulai bingung—senyumnya berubah tanda tanya besar. “Kenapa?”

“Romy mana?” tanyaku.

Ema menampar lenganku sekali lagi.

“Maksudnya kamu bareng Romy ga?”

“Dari mana, Sar?” tanya Ema.

“Ada urusan,” jawab Ema menuju kasir—memesan minuman.

“Bego lo yaaa,” Ema berbisik.

Tak ada lagi konfrontasi, setelah Sarah duduk dan memesan minuman kesukaannya. Tak ada lagi yang membahas. Romy tak ada di sini karena satu alasan, aku dan Ema tak ada yang tahu. Mungkin Sarah jelas mengetahuinya.  

Tentang Sarah? Dia adalah fashion designer, paling keren di circle kami. Mungkin di kota ini tak ada yang tak tahu Sarah. Auranya bisa mengintimidasi semua orang yang berada di ruangan bersamanya. Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang ia pakai malam ini. Intinya matamu bukan hanya akan terpaku pada manis wajahnya, atau bibir tebalnya, namun juga apa yang ia pakai.

Kami menghabiskan malam tanpa perasaan canggung, meski pernah terjadi sesuatu di antara kami bertiga, untuk yang satu itu akan aku ceritakan nanti. Lima menit lagi tahun baru, dan perutku mules, panggilan alam tak tepat pada waktunya.

“Aku berak dulu ya,” ucapku cepat berlalu.

“Anjirrr, tahun baru dilewatkan demi berak!” Ema setengah teriak.

“Bacot!”

Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi di antara Ema dan Sarah saat aku pergi ke kamar mandi. Tapi sungguh aku penasaran. Iya, aku melewatkan lima menit pertama di tahun 2023 dengan berada di kamar mandi, merilis semua kenikmatan bumbu-bumbu ramen, nasi rames, semangka, indomie rebus telor, teh poci, kopi susu. Semuanya.

“Mau langsung balik?” tanya Ema setelah aku selesai—nada bicaranya tampak buru-buru, ada sesuatu terjadi saat aku di dalam kamar mandi. Aku curiga.

“Langsung?” tanyaku menatap Ema—singkat melihat Sarah.

“Ga mau ke mana-mana lagi, kan?”

“Engga sih, kamu Sar?” tanyaku pada Sarah.

“Iya, kayaknya pulang aja deh.”

Entah obrolan apa yang terjadi di antara mereka dua, yang aku tahu pasti; ada yang tak biasa. Situasinya terasa sangat mencekam, mengintimidasi. Ema sudah membereskan laptopnya. Saat hendak kumatikan laptop, aku melihat tanggal dan tahun yang salah di layar.

“Jangan ngerjain dong…” celetukku santai.

“Apaan?” tanya Sarah.

“Ini tanggal tahunnya beda.”

“Ha? Kita gak ada yang nyentuh laptopmu.”

Aku melihat jam di layar ponselku. 1 Januari 2020. Bingung. Ema dan Sarah melihat jam di ponselnya masing-masing; 1 Januari 2020. Aku mendatangi kasir, bertanya jam, barista itu sama bingungnya denganku. Lalu kami menanyai setiap orang, semua jam di ponsel dan laptop mereka menunjukkan waktu yang sama; 1 Januari 2020.

Seperti baru saja dipukul dari berbagai sisi oleh petinju paling mengerikan, tubuhku lemas—aku sungguh tak bisa memproses ini, aku, Ema dan Sarah saling bepandangan. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Ini baru. Tak kupahami sama sekali.

“kita mundur tiga tahun…” Ema terbata.

“Fuck,” Sarah berserapah.

“Kita harus pulang sekarang, ngecek ini cuma kejadian sama kita atau semua orang.”

Kami bertiga saling pandang, dan seluruh orang di coffeeshop itu bergegas merapikan semua barang bawaannya, dalam hitungan detik tempat itu sepi. Ada kekosongan yang masuk kepalaku. Aku sungguh tak mengerti. Seolah waktu tak lagi relevan, seolah semuanya luruh.

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar