Ema tampak kesal membaca sebuah
instruksi pada sebuah kertas. Wajahnya menampilkan seluruh kecantikan di
ruangan itu, iya, perempuan ini makin terlihat cantik saat semua kerut di
wajahnya beradu.
Ia baru saja membeli laptop
pertamanya, laptop baru, hasil keringatnya sendiri. Kami berada di sebuah
coffeshop tempat biasa kami berkumpul. Aku, Ema, Sarah, dan Romy. Ema seperti
biasa, jadi yang paling tepat waktu di antara kami. Malam ini Ema tampil casual
dan santai, blus putih bergaris dengan dua kancing teratas yang dibuka, jeans
ketat hitam, dan rambut yang dicepol.
“Laptop baru!” seruku dari kasir.
“Laptop, laptop… Mac nih!” ucap Ema
tetap terpaku pada layar.
Malam tahun baru dan kami masih harus
menyelesaikan deadline masing-masing, Ema dengan autocad yang sama sekali tak
kupahami. Aku dengan naskah medioker yang harus diedit untuk penerbit. Lebih
membosankan membaca naskah medioker karena naskah-naskah itu bisa membuatmu
pusing karena saking jeleknya. Aku ulang, karena saking mediokernya.
Aku duduk di samping Ema,
memeluknya—membuka laptop.
“Romy ke sini?”
“Please deh…” Ema masih fokus pada
Mac barunya.
Romy? Akan kuceritakan
sedikit-sedikit. Romy orang terakhir yang masuk circle kami, perkumpulan kecil
ini. Romy pacar Ema. Tapi rumit. Lebih rumit dari apa yang terjadi di antara
kami dan Sarah.
Kami bertiga… untuk yang satu itu,
akan kuceritakan nanti.
Aku dan Ema berteman baik karena kami
menangis bersama saat pertama kali nonton konser Yura Yunita. Ingatan itu masih
tertanam di pikiranku, aku merangkul Ema pada lagu keempat, dua lagu sejak air
mataku meluap, tak ada ponsel, kami benar-benar menikmati tangis itu.
“Aku udah nangis dari tadi,” ucapku
malu menunjukkan pipi yang basah.
“Sama…” Ema balik merangkulku. Ia membiarkan tangis, tak
diusap. Banjir.
Sejak satu kejadian itu, Ema
menyebutku teman menangis bersama. Sebutan yang menggelikan, namun aku
menikmatinya.
“Penulis mana lagi?” tanya Ema.
“Kamu ga kenal.”
“Look…” Ema memamerkan Mac barunya
seperti seorang spg di depan etalase.
Aku hanya mengangguk—memanyunkan
bibir.
“Sarah mana? Gak bareng?”
“Nyusul, ga tahu tiba-tiba.”
“Cowok?”
Aku hanya mengangkat kedua bahu—fokus
di depan laptopku.
“Cowok mana lagi…”
Dua jam pertama, kami tak banyak
bicara, menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Ema memutar playlist favoritnya
dalam volume yang sangat minim—namun masih bisa kudengar, coffeeshop itu
hening, mereka tak memutarkan musik apapun. Mungkin karena di tempat ini, lebih
banyak orang mencari ketenangan, mengerjar deadline kerjaan atau sekadar tugas
kuliah yang sebenarnya bisa diselesaikan sekali duduk dalam sepuluh menit.
Satu jam lagi tahun baru. 2023. Ema
sudah lebih dulu menyelesaikan deadline, sudah setengah jam ia meracau di
sampingku, aku yang masih fokus di depan layar laptop tidak begitu jelas
menangkap racauan Ema. Tapi dia paham, aku masih mendengar, sesekali
menanggapi. Coffeeshop ini biasanya makin malam makin ramai, ia buka 24 jam.
Namun hari ini, hanya terlihat beberapa orang saja. Kami duduk di ruang non
smoking yang tidak lebih luas dari smoking area.
“Aku mau ngomong serius,” tiba-tiba
Ema mengecilkan volume suaranya.
Aku sontak menoleh, ada tatapan
geming beberapa detik—saling tatap. Ema melirik naskah yang kukerjakan,
menyadari itu, aku menutup laptop—mulai memfokuskan diri sepenuhnya pada apapun
yang akan keluar dari bibir tipis itu.
“Seberapa serius?”
“Romy…” ada getar di suara Ema, “Aku
udah putus sama dia.”
“Akhirnyaaaa.”
Ema menampar pundakku.
“Iyalah, toxic brooohhh. Aku aja
heran, aku mau temenan sama dia karena kamu, kalo engga ya boro-boro.”
“Mau fakta yang heboh ga?” Ema
gossip mode
“Kayaknya dia deket sama Sarah.”
“Wtf… Ga mungkin lah. Sarah emang
anaknya agak miring, tapi masa temen sendiri dia gitu.”
“Justru Sarah saved me. Firasatku ya
dia datang telat nih karena lagi sama Romy.”
Tiba-tiba Sarah datang dengan senyum
lebar, lebih lebar dari jidatku. Kami berdua menatapnya, Sarah mulai
bingung—senyumnya berubah tanda tanya besar. “Kenapa?”
“Romy mana?” tanyaku.
Ema menampar lenganku sekali lagi.
“Maksudnya kamu bareng Romy ga?”
“Dari mana, Sar?” tanya Ema.
“Ada urusan,” jawab Ema menuju
kasir—memesan minuman.
“Bego lo yaaa,” Ema berbisik.
Tak ada lagi konfrontasi, setelah
Sarah duduk dan memesan minuman kesukaannya. Tak ada lagi yang membahas. Romy
tak ada di sini karena satu alasan, aku dan Ema tak ada yang tahu. Mungkin
Sarah jelas mengetahuinya.
Tentang Sarah? Dia adalah fashion
designer, paling keren di circle kami. Mungkin di kota ini tak ada yang tak
tahu Sarah. Auranya bisa mengintimidasi semua orang yang berada di ruangan
bersamanya. Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang ia pakai malam ini. Intinya
matamu bukan hanya akan terpaku pada manis wajahnya, atau bibir tebalnya, namun
juga apa yang ia pakai.
Kami menghabiskan malam tanpa
perasaan canggung, meski pernah terjadi sesuatu di antara kami bertiga, untuk
yang satu itu akan aku ceritakan nanti. Lima menit lagi tahun baru, dan perutku
mules, panggilan alam tak tepat pada waktunya.
“Aku berak dulu ya,” ucapku cepat
berlalu.
“Anjirrr, tahun baru dilewatkan demi
berak!” Ema setengah teriak.
“Bacot!”
Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi
di antara Ema dan Sarah saat aku pergi ke kamar mandi. Tapi sungguh aku
penasaran. Iya, aku melewatkan lima menit pertama di tahun 2023 dengan berada
di kamar mandi, merilis semua kenikmatan bumbu-bumbu ramen, nasi rames,
semangka, indomie rebus telor, teh poci, kopi susu. Semuanya.
“Mau langsung balik?” tanya Ema
setelah aku selesai—nada bicaranya tampak buru-buru, ada sesuatu terjadi saat
aku di dalam kamar mandi. Aku curiga.
“Langsung?” tanyaku menatap
Ema—singkat melihat Sarah.
“Ga mau ke mana-mana lagi, kan?”
“Engga sih, kamu Sar?” tanyaku pada
Sarah.
“Iya, kayaknya pulang aja deh.”
Entah obrolan apa yang terjadi di
antara mereka dua, yang aku tahu pasti; ada yang tak biasa. Situasinya terasa
sangat mencekam, mengintimidasi. Ema sudah membereskan laptopnya. Saat hendak
kumatikan laptop, aku melihat tanggal dan tahun yang salah di layar.
“Jangan ngerjain dong…” celetukku
santai.
“Apaan?” tanya Sarah.
“Ini tanggal tahunnya beda.”
“Ha? Kita gak ada yang nyentuh
laptopmu.”
Aku melihat jam di layar ponselku. 1
Januari 2020. Bingung. Ema dan Sarah melihat jam di ponselnya masing-masing; 1
Januari 2020. Aku mendatangi kasir, bertanya jam, barista itu sama bingungnya
denganku. Lalu kami menanyai setiap orang, semua jam di ponsel dan laptop
mereka menunjukkan waktu yang sama; 1 Januari 2020.
Seperti baru saja dipukul dari
berbagai sisi oleh petinju paling mengerikan, tubuhku lemas—aku sungguh tak
bisa memproses ini, aku, Ema dan Sarah saling bepandangan. Tak bisa mengucapkan
apa-apa. Ini baru. Tak kupahami sama sekali.
“kita mundur tiga tahun…” Ema
terbata.
“Fuck,” Sarah berserapah.
“Kita harus pulang sekarang, ngecek
ini cuma kejadian sama kita atau semua orang.”
Kami bertiga saling pandang, dan
seluruh orang di coffeeshop itu bergegas merapikan semua barang bawaannya,
dalam hitungan detik tempat itu sepi. Ada kekosongan yang masuk kepalaku. Aku
sungguh tak mengerti. Seolah waktu tak lagi relevan, seolah semuanya luruh.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar