Wednesday, October 18, 2023

Para Pemarah dan Kesunyiannya Masing-Masing.


"Aku selalu ngerti, paham titik dimana kamu anggap aku temen, and it’s totally okay. Tapi bahkan kamu ga tau kabarku, ga paham kondisiku, ga ngerti situasiku. Ga pernah nyediain waktu buat ketemu. Selalu aku. Dan tiap kali ada kesempatan buat ketemu, cuma aku yang dengerin kamu. Kamu ga pasang telingamu buat aku. Aku pelan-pelan jadi tahu hal-hal tentang kamu. Sedangkan kamu? Ga tau apa-apa soal aku. Dan aku ga boleh marah, kalau aku marah, kamu menjauh, kamu ga sanggup mengakomodir apa yang aku rasain. Sesuatu yang di luar kepala bisa aku lakuin buat kamu. Akhirnya setelah kamu ketemu orang baru, aku bener-bener ga kamu kenali. Pantaskah itu disebut teman? How dare you!”

“Buatku rulesnya sederhana, kalo kamu, aku, kita, sampe harus begging, mohon-mohon, melata kayak hewan, berarti jangan. Berlaku dalam banyak hal. Apalagi hanyak sekadar ajakan untuk bertemu. Aku jadi ngerti, kita harus belajar menerjemahkan tanda-tanda yang ga tampak. Kode-kode aneh yang sebenernya bisa diganti dengan penolakan yang sederhana. Bahkan kata “tidak”, “enggak”, dan sejenisnya itu umurnya lebih tua dari kita, sudah ada sejak penciptaan pertama.”

Kutemukan catatan itu di dua halaman terakhir, dan catatan terakhir tak sampai hati untuk kubaca sampai akhir. Seseorang mengekspresikan perasaannya dengan cara yang sehat, cara-cara yang baik. Namun dianggap sepele, reaksi orang bahkan bisa kubilang udah kayak tai. Respon-respon dan reaksi-reaksi yang membuat seorang manusia jadi pemarah paling sunyi. Tak meledak-ledak, namun meledakkan dirinya sendiri. Dalam diamnya, ada perkataan-perkataan ganjil dan mimpi-mimpi aneh yang tak kunjung selesai. Yang hanya bisa ia tulis.

Setelah satu percakapan panjang, kau akan merasakan kekosongan yang gelap, kesunyian yang pekat. Setelah satu percakapan panjang itu, barangkali kau lahir sebagai orang baru, hidup dalam sekat-sekat yang tegang dan mengikat. Pada akhirnya kau lahir untuk kematian panjang. Lalu kau tersadar ada perkara-perkara ganjil tentang nasib-nasib buruk di dalam tubuhmu, dan kau berusaha lari dari kenyataan itu—kenyataan bahwa orang-orang menyebabkan itu semua. Orang-orang yang memulainya dengan suka cita, dan mengakhirinya dengan cara paling aneh, cara-cara gelap. Cara-cara jahat.

Lalu aku memikirkan ulang tentang satu hal; Kupikir sedih, kecewa, dan trauma adalah bagian dari merayakan perasaan. Tapi bukankah perayaan hanya dilakukan sekali dalam setahun? Sampai-sampai kita tak lagi sadar, kita dikendalikan oleh pilihan dan sebab yang ditimbulkan orang lain. Kita terperangkap dalam kesunyian yang orang lain buat untuk kita. Kadang manusia tak menyadari cara hidup mereka yang sembrono, (hanya mementingkan perasaan dan pikirannya) bisa menghancurkan orang lain berkeping-keping. Saat sifat buruk yang ada dalam dirimu terekspose seharusnya kau tak merasa nyaman atas hal itu.

Para pemarah hidup dalam kesunyian yang tak mereka buat sendiri, mereka tak akan pernah punya kesempatan untuk merasakan mati. Sebab diam-diam—tanpa sadar ia telah mati. Mereka mungkin akan hidup seratus, atau seribu tahun lagi, meski dalam keadaan mati.

Untuk sebentar saja, rasakan kesunyianmu. Apakah itu benar-benar kesunyian yang kau bentuk sendiri, atau kesunyian yang lahir dari sebab kebusukkan orang lain?

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar