“Aku ingin bertuhan pada babi, bukan babi yang kotor karena lumpur. Tapi
babi-babi pink yang dirawat bersih dan berakhir oleh pisau jagal dan dagingnya
kunikmati sebagai nasi campur yang biasa kubeli di vihara, atau ramen daging
babi yang enaknya ga karuan. Aku bagian dari orang-orang kesepian, dan babi
adalah tuhanku, setidaknya sebelum ia menabrakku, karena kebodohanku yang tetap
berlari lurus saat dikejar, saat itu aku tak tahu kalau babi tak bisa berbelok.
Apalagi menengok ke atas.”
“Sudah saatnya, ini bukan sekte, tapi pergerakkan. Setidaknya kalo ingin
jadi babi, jangan jadi babi yang kotor karena lumpur. Kau bermain-main di
lumpur—kotor, bau, dan penyakitan. Ya, aku sedang membicarakan seseorang, atau
mungkin lebih dari seorang. Barangkali kau juga sama. Atau mungkin kau bagian
dari orang-orang kesepian, yang dikotori oleh babi lumpur—mari sebut saja
seperti itu. Kalo kita semua sama-sama babi. Jadilah babi yang terawat. Bersih—pink,
menggemaskan.”
Yang satu
ini bukan catatan yang kutemukan di mana-mana, hanya isi pikiranku setelah
melihat babi-babi di peternakan. Barangkali mantanmu juga babi, babi lumpur. Jangan
sebut mereka babi terawat, mereka kotor. Mantan apapun, mau itu mantan pacar,
gebetan, mantan selingkuhan—untuk yang satu itu kau juga babi lumpur. Untuk
menyebut satu relationship itu toxic, butuh minimal dua orang toxic, dua-duanya
pelaku, dua-duanya korban—kalau kau ingin menyebutnya seperti itu. Aneh emang,
pelaku sekaligus korban. Ya toxic—paling enak sebut aja bego, tolol, bodohhhhhh.
H nya lima. Eh itu enam.
Rasanya
pengen nyebut babi. Tapi jangan, orang juga punya pilihan. Dan punya pilihan
jelas privilege, tapi kita harus belajar mengakhiri hal-hal yang sudah kita
mulai. Harus bisa dan harus berani, ya bukankah hidup memang soal keberanian. Sialnya
orang-orang itu justru sepertinya hidup nyaman tanpa beban pikiran setelah
mematahkan hati seseorang tanpa pesan apapun. Ya, umumnya kita memang hanya
akan mengurusi apa yang harus kita urus. Tapi kau, aku, dan kita semua,
terlanjur memulai.
Dan
memangnya sesuatu yang dimulai tanpa diakhiri harus disebut apa? Perasaan semua
orang itu valid. Validasilah, baik atau buruk. Kita semua hanya butuh belajar
menerima semua respon, termasuk respon buruk—yang tak sesuai dengan keinginan
dalam hati. Bereaksilah tanpa merugikan, terutama merugikan diri.
Supaya kau
tak selalu pakai alasan tumbuh dari keluarga dan orang tua yang buruk, lalu
menyebut semua pengalaman dan tindakanmu sebagai “inner child.” Aku paham, tapi
kita bisa belajar dan meminimalisir, memangnya selama kau hidup, diberi nyawa
dan nafas kau tak belajar apapun selain belajar menjadi bodoh?
Satu
kebohongan mengekspose sifat buruk yang lain. Kau harus terus berbohong untuk
menutupi fakta. Padahal satu perkataan jujur membuat hidupmu lebih mudah—ringan.
Semoga kau berubah jadi babi pink, memang sama-sama akan mati. Tapi kita mati dalam
keadaan bersih. Jauh dari kehinaan.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar