Para pembohong tak akan pernah punya
kesempatan untuk mati. Mereka akan hidup seratus bahkan seribu tahun lagi. Apa
yang lebih menyiksa dari hidup tanpa punya ujung? Kebohongan adalah satu sifat
yang akan mengekspose seluruh sifat buruk seseorang.
Kau mungkin setuju, melihat cara
hidup mereka yang sembrono, hanya mementingkan yang ada dalam dirinya, mereka
barangkali tak pernah sadar bahwa satu sifatnya itu bisa menghancurkan orang
lain—berkeping-keping dari yang bahkan bisa mereka kira—bisa mereka pikir, itu
pun kalo mereka punya pikiran.
Aku seratus persen bingung, mengapa
mereka merasa nyaman ketika seluruh sifat buruknya terekspose, itu yang terjadi
pada Romy. Seluruh hidupnya adalah kebohongan, dan sayangnya Ema dan Sarah
terlalu naif, sungkan mengakui itu. Romy sudah terlalu banyak mengekspose
keburukannya, bahkan ia menarik keluar seluruh sifat yang seharusnya privat
pada diri Ema dan Sarah. Pada awalnya Ema selalu merasa tak enak jika harus
menolak—padahal ia selalu punya hak untuk mengatakan tidak.
Ini sifat yang tak aku suka dari
kebanyakan perempuan yang kutemui termasuk Ema dan Sarah; Mereka tak cukup
berani untuk bilang tidak, tak cukup sanggup untuk menolak. Mungkin sepanjang
hidupnya mereka terlalu mementingkan perasaan orang lain, tak merasa enak
ketika harus menolak dan bilang tidak. Mereka selalu punya banyak alasan untuk mengubah
iya menjadi tidak, selalu banyak alasan menggagalkan janji, padahal dengan satu
kata sederhana yaitu “tidak,” bisa membuat mereka terbebas dari konfrontasi. Sehingga
sepanjang sisa hidupnya mereka tak perlu terus menghindar.
Bukankah itu ruh menjadi manusia?
Harus tahu apa yang perlu dan tak perlu, apa yang dibutuhkan dan yang tidak.
Peran Romy di circle kami adalah merusak ruh hidup Ema, pada awalnya. Lalu
belakang kuketahui ia juga mendekati Sarah, dan entah apa yang ia incar. Sarah
tak pernah detail menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya dan Romy.
Ema mungkin lepas dari hubungannya
dengan Romy. Namun setelah satu kejadian aneh yang membingungkan pada tahun
baru lalu, kami kembali ke tahun 2020, dan semua orang yang tak ada di
coffeeshop itu menganggap semuanya normal. Tampaknya hanya kami yang mengalami
turbulensi ini. Malam itu, hanya orang-orang di coffeeshop yang mengalami garis
waktu antara 2022 ke 2023, mereka yang di luar merasakan bahwa itu pergantian
tahun biasa dari 2019 ke 2020.
Coffeeshop itu jadi pusat tubulensi.
Seperti sebuah kubah isolasi, yang tak tersentuh dari luar. Dan sialnya Ema
harus pura-pura kembali pada hubungan awalnya bersama Romy, karena Romy
termasuk orang-orang di luar coffeeshop malam itu, Romy menganggap ini adalah
2020, awal pertemuannya dengan Ema, dan Ema meski ia mengetahui bahwa selama
hampir tiga tahun Romy terlah menghancurkannya lebih dari yang bisa Ema tahan.
Dan seharusnya Ema sudah terbebas. Namun Ema percaya pada kesempatan kedua, dan
akan memberikannya pada Romy—meski Romy tak tahu apa yang sedang terjadi. Kami
yang mengalami ini masih bungkam apa yang terjadi malam tahun itu.
Singkatnya, Ema kembali menjalani
hubungan dengan Romy—dari awal, tanpa kesadaran yang adil di antara keduanya
tentang apa yang terjadi, tanpa tahu apakah perjalanan sebelumnya akan
terulang, atau apakah kita semua yang mengalami hal aneh malam itu akan hidup
dalam sebuah lingkaran yang sama—kejadian yang pernah kita lewati. Sebuah garis
waktu yang sama—dan diulang.
Kini Ema dengan kesadaran penuh hidup
dalam sebuah kebohongan, masuk ke goa yang gelap dan pengap, entah apa yang ia
rencanakan, namun bagiku ia mengambil ulang kesempatan yang sebetulnya sudah usang.
Tapi ini sebenarnya lebih rumit dari itu. Karena kabar tentang Romy dan Sarah
yang kudengar dari Ema sebelum tahun baru adalah benar. Sarah dan Romy terlibat
dalm satu intrik penuh adrenalin yang sepenuhnya hanya tentang nafsu.
Dan setelah kejadian itu, Romy tak
ingat apa yang terjadi antara dirinya dan Sarah, seolah itu tak pernah terjadi.
Namun Sarah jelas mengingatnya lantang, dan begitu dalamnya. Ia tak terima
bahwa setelah malam itu, Romy dan Ema kembali, dan dirinya merencanakan sesuatu
yang gila.
Aku tahu, aku telah menjanjikan
sebuah cerita tentang apa yang terjadi antara aku, Ema, dan Sarah, namun aku
justru berpikir apakah itu jadi relevan. Sudah satu bulan sejak kejadian malam
tahun baru. Kami menyebut diri penyintas, dan masih sering mengunjungi
coffeeshop untuk sekadar bertukar informasi, cerita, dan sebagainya. Seperti
seorang yang mengalami trauma akut dan butuh psikolog.
Romy punya jalan pintas, ia langsung
ada di circle kami, dan sungguh menggelikan melihat Ema dengan kepura-puraannya
berusaha memperbaiki sekaligus berusaha menggagalkan apa yang akan terjadi di
hubungan sebelumnya.
Lalu Sarah yang berusaha menggoda
Romy—Sarah jelas merindukan dan menginginkan situasi sebelumnya kembali. Sarah
belum cerita apa yang terjadi antara dirinya dan Romy. Namun dari semua fakta
itu, aku belum menceritakan apa efek samping yang aku alami dari kejadian tahun
baru itu. Ema dan Sarah apalagi Romy tak mengetahui sama sekali.
Sudah satu bulan tidurku tak tenang,
diganggu oleh mimpi-mimpi buruk yang terus berlanjut. Dalam mimpi-mimpi itu aku
seperti menjalani hidup di tahun 2023. Bukan hanya terasa nyata, namun aku
benar-benar melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi di tahun
itu—meski hanya melalui mimpi. Sederhananya, seperti ada dua diriku yang
menjalani hidup bersamaan. Aku kehilangan akal, mana yang nyata dan mana yang
maya. Seperti berpisah pada roh di tubuhku.
Selepas satu malam di bulan kedua aku
mendapati diri berada pada sebuah mimpi yang asing, bukan mimpiku. Aku hidup di
mimpi malam Sarah yang begitu penuh adrenalin, aku mengakses isi kepala Sarah,
dan lambat laut kemampuan itu menempel pada diriku, pelan-pelan makin jelas
setelah tiga bulan kejadian aneh itu. Sarah adalah orang pertama yang
mengetahui kemampuanku. Antusiasmenya bahkan agak mengkhawatirkan.
“Jadi kamu bisa tahu apa yang
dipikirin orang?”
“Bukan cuma pikirannya sekarang.”
“Terus?”
“Aku bisa lihat apa yang terjadi
nanti.”
“Caranya?”
“Cuma perlu lihat mata aja.”
“Coba lihat aku..” Sarah tak tahu apa
yang sedang ia hadapi. Aku bukan hanya bisa mengakses isi kepalanya, namun juga
melihat apa yang akan terjadi pada dirinya hingga lima tahu kedepan. Aku hanya
perlu lima detik untuk melihat apa yang sedang Sarah pikirkan, dan sepuluh
detik untuk melihat seluruh gambaran lima tahun kedepan nasibnya.
“Romy…” dari banyaknya informasi yang
kuketahui dari isi kepalanya, aku hanya menyebutkan nama Romy, dan Sarah
langsung berubah ekspresi. Ia seolah menghindar, dan setengah marah karena aku
mengakses bagian itu.
Hanya dengan menyebutkan satu nama
itu antusiasme Sarah berubah, namun Sarah tetaplah Sarah, hidupnya penuh
adrenalin. Kau mungkin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Malam sebelum
tahun baru, Romy dan Sarah ada dalam satu mobil yang terparkir di coffeeshop
itu, namun Romy memilih tak turun, keduanya berada di dalam lebih dari satu
jam. Apa yang terjadi di dalam adalah keahlian Sarah. Aku tak peduli sentuhan
yang terjadi malam itu atau teriakan yang menggema ke dinding-dinding mobil.
Aku justru merasa jijik tentang apa yang keduanya bicarakan, yang keduanya
rencanakan.
“Kamu belum bilang Ema?”
“Udah… Tapi Romy ga inget memorinya.”
“Respon Ema?” tanyaku penasaran.
“Dia mau.”
“Serius?”
Sarah mengangguk, mengigit bibirnya. Menatap
mataku. Meski hanya empat detik, aku justru makin dalam melihat apa yang Sarah
dan Ema rencanakan. Seolah Sarah langsung memberitahuku dengan gambar yang
jelas di pikirannya. Awalnya Sarah dan Romy yang merencanakan hal gila ini. Namun
karena kejadian malam itu, Romy yang berada di luar coffeeshop tak memiliki memori
kolektif seperti kami yang ada di dalam. Romy benar-benar menjadi asing, tak
mengenal kami semua. Lalu Sarah justru berbalik merencanakan dan mengajak Ema.
Itu adalah alasan mengapa Ema memberi
kesempatan kedua pada Romy. Meski bagi Romy itu adalah kesempatan pertamanya
mengenal Ema. Kata orang makin lama kita mengenal seseorang kita akan makin
memahami mereka sebagai manusia. Namun yang kulihat aku justru jadi sama sekali
tak mengenal keduanya, ada lapisan baru dalam sifat mereka yang baru kuketahui.
“Terus udah bilang Romy?”
“Udah.”
“Terus?”
Sarah sekali lagi tak menjawab, ia
menatapku, dan dari caranya itu, aku tahu, Romy setuju. Sarah mengizinkanku
mengakses apa yang sedang ia pikirkan. Sebuah momen ketika Romy, Ema, dan Sarah
duduk bersama, dan merencanakan sebuah malam yang akan terjadi dua minggu lagi.
Aku hanya terdiam.
Tak sepatah katapun keluar.
Pelan-pelan, semakin aku memaksa
untuk tak mengakses masa depan itu, justru makin jelas gambaran yang terjadi
lewat di kepalaku. Sebuah malam yang dingin, dengan Ema, Sarah dan Romy.
Kau mungkin tahu maksudku.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar