Sunday, November 14, 2021

3. ada kesedihan yang sesak di dadanya


 

Sebentar lagi aku akan mengerti, bagaimana perempuan tua itu melahirkan di depan abu perapian yang nyala apinya makin lama makin mengecil. Ia meminta selimut hangat, menutup tubuh telanjang penuh luka yang basah, darah mengalir ke sekujur tubuhnya. Kurasakan keringat dingin saat kutempelkan tanganku pada kening dan lehernya. Perempuan itu mengucap sesuatu dalam bahasanya sendiri, tak benar-benar kuketahui kata apa yang keluar dari bibirnya yang menggigil, hanya kudengar gemeretak gigi yang makin kencang, saling berdentam hingga rasanya mulai terkikis pelan-pelan.

Aku menemukan perempuan tua itu di depan rumah, malam lewat pukul sepuluh, saat kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan aneh tentang kematian, atau pertanyaan asing yang luput kususun dan kujawab. Malam saat seharusnya meja makanku terisi penuh menu-menu lezat dan menggiurkan. Ia tidak datang setelah empat jam aku menunggu. Hanya ada piring-piring kosong di atas sana. Juga hati yang kini lapang, seluas pertanyaan yang menggebu di kepala. “Sebentar lagi,” aku harap ia datang sebentar lagi, sambil terus menunggu. Namun ia tak datang, Tak ada ketuk pintu. Berubah jadi debar jantung yang kencangnya tak terkira.

Saat kulihat keluar jendela, berharap ia berdiri membawai setangkai lily di tangan kirinya, atau sebotol anggur merah kesukaan kami di tangan kanannya. Justru kutemukan perempuan tua itu menggigil, tidur meringkuk. Ia telanjang, keriput-keriput itu nyata terpampang, mengeluarkan asap-asap dingin, memunculkan getaran acak yang membuatku cepat-cepat membopongnya. Merebahkannya di sofa, membungkusnya dengan selimut seadaanya. Matanya nyalang, menatap atap-atap rumah dengan cahaya lampu yang berpendar ke segala arah.

Kuketahui besar perutnya, ada nyawa yang hilang di dalam rahimnya, ia menangis, mengusap perut itu, tak ada lagi tendangan dari kaki-kaki kecil, ia bebas dari perut yang mules, atau keinginan untuk muntah. Aku penasaran ada apa di dalam kepalanya sekarang, apa yang baru saja ia alami, perempuan tua itu menatapku, ada pengharapan yang luput dicuri dari mata cokelatnya, ada kebahagiaan yang direnggut, ada ketakutan yang menghantuinya. Apakah ia merasa gagal? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kubawakan kain kompres hangat untuk meredakan panas tingginya, meredakan kesedihan di mata dan dadanya, ia memegang tanganku, erat, makin erat, tangisnya pecah, tanpa bisa berkata-kata. Perempuan tua itu susah payah bangkit, duduk, lalu memelukku, selimut itu terhempas jatuh ke pangkuannya. Ada bahasa yang tak kuketahui, susah kumengerti. Seharusnya malam ini orang lain memelukku, bukan perempuan tua ini.

Ia berdiri, meninggakan selimutnya, duduk memeluk lututnya di depan perapian, kulingkarkan selimut itu, membungkus punggungnya, satu selimut lagi hingga menutup seluruh tubuhnya. Tampak kepalanya yang tegang, rambut putih acak-acakan, menunduk, ada rapal doa yang ia agungkan. Makin lama, makin dahsyat, seperti seorang pendeta di misa paskah.

Setelah hening yang lama, selimut di depannya jatuh, ia membuka kakinya lebar-lebar, membuka tubuhnya, menengadah, perempuan tua itu mulai mengejan. Tangannya melambai-lambai mencoba meraih tanganku. Kuserahkan seluruh tubuh, pikiran dan hatiku padanya, pada setiap tangis dan getar di dadanya, tak adalagi yang kutakutkan, sekejap hilang menguap di udara, napas panjangnya kini memburu. Aku ikut mengejan.

Sebentar lagi, akan kulihat kejaiban paling indah, bentuk rupanya yang kini diam, tak seperti biasanya. Ia tak perlu merasa kedinginan, tak perlu merasa ketakutan. Ia sudah berada di tempat paling aman. Di dalam peluk ibunya, di kedalaman mata dengan tangis bahagia, meski segala yang ia harapkan direnggut dalam-dalam.

Sebentar lagi. Kubantu ia menghilangkan kesedihan dari wajahnya, kuhapus sesak di dadanya, akan kuukir tangisku di tiap lukanya yang basah. Sebentar lagi.

Lahirlah sebagai aku, hiduplah sebagai kamu. Kita seharusnya bahagia, dalam dunia yang kini buta, memaksamu terus meratapi gelisah di sela-sela jarimu. Membuatmu lupa dan luput, seperti katamu, keindahan tertutup oleh obsesi kita yang membabi-buta akan segala hal-hal buruk.

Sebentar lagi,

beri aku waktu sedikit lagi,

sebentar lagi. Sebentar lagi.


Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, baik-baik selalu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar