Monday, November 1, 2021

sekali lagi


 

Cerita ini dimulai pada pagi yang dingin di bulan Desember satu tahun yang lalu. Semalam hujan turun, jalanan sepi, gelandangan berteduh di telusur-telusur gedung atau di pepohonan rimbun. Besok natal tiba, orang-orang menyambut dengan sukacita, perapian ditata sedemikian rupa, rumput-rumput panjang milik tetangga dipotong, hingga tidak lagi tajam, dan anak-anak kecil berguling di sana, riang, tanpa beban.

Ada pertanyaan bergumul di awan-awan, mendung dan gelap, bagaimana aku akan hidup setelah ini? Di depan pintu seorang perempuan menunggu, sebotol anggur tua tergenggam di tangan kanannya. Tangan kirinya bersembunyi di balik tubuh yang hangat, sedang cuaca di luar sesungguhnya sangat dingin. Perempuan itu menguncir rambutnya, membiarkan pucuk pangkal rambut hitam legam itu menggantung bebas.

Ujung rok hitam yang mengkilap itu menyentuh lututnya, tak ada alas kaki yang membungkus kaki mulus itu. Ada debu menempel, hitam dengan embun-embung lengket yang menyelimuti punggung kakinya. Beberapakali kulihat jari kakinya menggaruk satu sama lain. Tak kuingat nama perempuan itu, matanya yang kecokelatan saat pertama kali kubuka pintu, berpendar, dengan senyum yang pada detik pertama langsung membekas di kepalaku.

Ia langsung masuk, berlalu, meski aku belum mengucap sepatah kata pun. Perempuan itu datang sendiri, kepalaku melongok ke luar rumah—tak ada siapa-siapa, hanya hembus angin yang makin lama, makin liar. Ia memakai kaus putih yang ujungnya bersembunyi di balik rok, rapi, anggun. Dengan gambar tokoh Shinchan yang menunjukkan bokong dari balik celana, dengan lidah yang menjulur panjang, disablon mencolok di dada kanannya.

Mataku mengikuti setiap lekuk tubuhnya, setiap langkah kakinya, ia mengambil dua gelas kosong dari lemari penyimpanan di atas lemari es. Lalu duduk di sofa cokelat dan mematikan televisi yang menyiarkan santa-santa gendut dengan kacamata bundar yang ukurannya menghabiskan setengah bentuk wajah. Aku ingat, perempuan itu menuangkan anggur dalam botol hingga setengah gelasnya. Mengisinya penuh di gelasku.

Pertanyaan di kepalaku jatuh, pelan-pelan aku mendaratkan punggungku pada sofa empuk, menatap matanya yang tak kunjung berpaling dari tatapanku. Dengan gelas terisi anggur yang terus ia pegang, belum kusentuh gelasku di ujung meja, sejengkal-dua-jengkal dari tempatku duduk.

Setengah jam berlalu, tanpa percakapan, anggur di gelasnya habis, sedang kulihat anggur di gelasku semakin dingin—terpana menatapku. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di sofa panjang, setelah membersihkan kakinya dengan handuk putih yang kuberi. Ia lepas kuncir rambutnya, dan terlelap. Kubawa selimut, membungkus tubuhnya yang menggigil. Aku duduk di ujung sofa, telapak kakinya yang dingin menyentuh kakiku.

Kunyalakan lagi televisi, tenggelam dalam film-film natal yang berulang kali kutonton. Kusentuh kakinya, memijat lembut, dingin di kakinya pelan-pelan berubah hangat. Perempuan itu makin terlelap. Cuaca di luar makin ribut, aku terjaga.

Perempuan itu mengubah letak tidurnya, ia ubah kakiku jadi bantal empuk, menatap mataku lekat-lekat. Memiringkan tubuhnya, kurasakan napas yang mendarat di perutku, ia menghirup aroma tubuhku. Memainkan jemarinya di atas perutku, menempelkan telapaknya. Tubuhku hangat. Ada pancaran yang timbul dari tangan itu. Masih tak ada sepatah kata yang muncul, dari bibirnya bahkan bibirku.

Ia meraih tanganku, menaruhnya di kening. Sekali lagi tersenyum menatapku. Seperti seorang ibu pada anaknya, kubelai lembut kening hingga ubun-ubun. Dan ia terpejam, lelap dalam tidurnya sekali lagi.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar