Cerita ini
dimulai pada pagi yang dingin di bulan Desember satu tahun yang lalu. Semalam
hujan turun, jalanan sepi, gelandangan berteduh di telusur-telusur gedung atau
di pepohonan rimbun. Besok natal tiba, orang-orang menyambut dengan sukacita,
perapian ditata sedemikian rupa, rumput-rumput panjang milik tetangga dipotong,
hingga tidak lagi tajam, dan anak-anak kecil berguling di sana, riang, tanpa
beban.
Ada
pertanyaan bergumul di awan-awan, mendung dan gelap, bagaimana aku akan hidup
setelah ini? Di depan pintu seorang perempuan menunggu, sebotol anggur tua
tergenggam di tangan kanannya. Tangan kirinya bersembunyi di balik tubuh yang
hangat, sedang cuaca di luar sesungguhnya sangat dingin. Perempuan itu
menguncir rambutnya, membiarkan pucuk pangkal rambut hitam legam itu
menggantung bebas.
Ujung rok
hitam yang mengkilap itu menyentuh lututnya, tak ada alas kaki yang membungkus
kaki mulus itu. Ada debu menempel, hitam dengan embun-embung lengket yang
menyelimuti punggung kakinya. Beberapakali kulihat jari kakinya menggaruk satu
sama lain. Tak kuingat nama perempuan itu, matanya yang kecokelatan saat
pertama kali kubuka pintu, berpendar, dengan senyum yang pada detik pertama
langsung membekas di kepalaku.
Ia langsung
masuk, berlalu, meski aku belum mengucap sepatah kata pun. Perempuan itu datang
sendiri, kepalaku melongok ke luar rumah—tak ada siapa-siapa, hanya hembus angin
yang makin lama, makin liar. Ia memakai kaus putih yang ujungnya bersembunyi di
balik rok, rapi, anggun. Dengan gambar tokoh Shinchan yang menunjukkan bokong
dari balik celana, dengan lidah yang menjulur panjang, disablon mencolok di
dada kanannya.
Mataku
mengikuti setiap lekuk tubuhnya, setiap langkah kakinya, ia mengambil dua gelas
kosong dari lemari penyimpanan di atas lemari es. Lalu duduk di sofa cokelat
dan mematikan televisi yang menyiarkan santa-santa gendut dengan kacamata
bundar yang ukurannya menghabiskan setengah bentuk wajah. Aku ingat, perempuan
itu menuangkan anggur dalam botol hingga setengah gelasnya. Mengisinya penuh di
gelasku.
Pertanyaan
di kepalaku jatuh, pelan-pelan aku mendaratkan punggungku pada sofa empuk,
menatap matanya yang tak kunjung berpaling dari tatapanku. Dengan gelas terisi
anggur yang terus ia pegang, belum kusentuh gelasku di ujung meja,
sejengkal-dua-jengkal dari tempatku duduk.
Setengah
jam berlalu, tanpa percakapan, anggur di gelasnya habis, sedang kulihat anggur
di gelasku semakin dingin—terpana menatapku. Perempuan itu merebahkan tubuhnya
di sofa panjang, setelah membersihkan kakinya dengan handuk putih yang kuberi.
Ia lepas kuncir rambutnya, dan terlelap. Kubawa selimut, membungkus tubuhnya
yang menggigil. Aku duduk di ujung sofa, telapak kakinya yang dingin menyentuh
kakiku.
Kunyalakan
lagi televisi, tenggelam dalam film-film natal yang berulang kali kutonton.
Kusentuh kakinya, memijat lembut, dingin di kakinya pelan-pelan berubah hangat.
Perempuan itu makin terlelap. Cuaca di luar makin ribut, aku terjaga.
Perempuan
itu mengubah letak tidurnya, ia ubah kakiku jadi bantal empuk, menatap mataku
lekat-lekat. Memiringkan tubuhnya, kurasakan napas yang mendarat di perutku, ia
menghirup aroma tubuhku. Memainkan jemarinya di atas perutku, menempelkan
telapaknya. Tubuhku hangat. Ada pancaran yang timbul dari tangan itu. Masih tak
ada sepatah kata yang muncul, dari bibirnya bahkan bibirku.
Ia meraih
tanganku, menaruhnya di kening. Sekali lagi tersenyum menatapku. Seperti
seorang ibu pada anaknya, kubelai lembut kening hingga ubun-ubun. Dan ia
terpejam, lelap dalam tidurnya sekali lagi.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar