Sunday, July 11, 2021

dari surat-surat yang tak terbaca


 

Aku melihat keresahanmu, sayang, di antara daun-daun yang menggugurkan diri di tempatmu berdiri. Samar-samar kulihat air mata jatuh bersama daun-daun kering—seperti situasi dalam dirimu. Lalu aku bertanya, masihkan ada tempat di hatimu?  

Sayang, telat mengenalmu mungkin salah satu hal-hal yang aku sesali dalam hidup. Aku terlalu sibuk berkelana pada banyak pria yang membuatku tertantang, entah, kadang kupikir begitu sulit menjadi manusia. Dulu sebelum aku mendengar namamu, sebelum aku mengenalmu, pandanganku kabur akan konsep hal-hal baik. Kupikir dengan bersenang-senang aku akan bahagia. Ternyata selama ini aku keliru, aku justru  belajar banyak hal darimu.

Ingatkah kamu pada setiap pertemuan kita? Setelah kupikir ulang, ternyata hanya kamu satu-satunya pria yang mampu membuatku bertahan berjam-jam duduk hanya untuk mendengar ceritamu dan menyampaikan perasaanku, kesedihanku. Aku ingat kamu begitu tenangnya menghadapiku yang saat itu kalang-kabut. Aku suka ketenanganmu, aku suka menebak-nebak apa yang ada di kepalamu tentang aku.

Harus kubilang, mungkin ini terdengar klise, namun kamu memang berbeda. Kamu tidak memanfaatkan kerapuhanku, kamu justru dengan baik hati menemaniku melewati itu, meski aku tahu kamu juga menghadapi kesedihan lain yang lebih parah dan hebatnya. Namun aku tetap tahu, kamu menyimpan perasaan itu demi menghadapiku, membuatku nyaman dan percaya bahwa segala cerita mencekam dalam hidupku akan tersimpan aman di kepalamu.

Kamu berlebihan dalam menulis surat terakhirmu tentang aku. Kamu punya peran dalam meletakkan pondasi aman untukku tegak berdiri dan merasakan bahwa hidup baiknya tetap dijalani meski dengan kerapuhan dahsyat apapun. Maafkan aku yang pada awalnya seperti tidak menganggapmu ada. Maafkan aku telat menyadari bahwa kamu mencintaku dengan ketulusan, kejujuran, juga kebaikan hatimu. Maafkan aku karena pada akhirnya tidak mampu menunjukkan perasaanku. Namun aku luluh pada kejujuran hatimu. Aku bersyukur dan sangat menghargai saat kata-kata paling membahagiakan yang ditunggu dalam diri setiap perempuan berani kamu ucapkan di depanku.

Aku selalu sengaja bangun pagi untuk melihatmu duduk mendengarkan lagu-lagu Daniel Caesar setelah lari pagimu yang lama. Kadang melihatmu memakan roti dengan macam-macam selai buah yang kamu beli di toko. Oh sayang, hidupmu begitu sehat, bukan hanya pikiranmu, namun juga fisik dan hatimu. Aku iri, kamu bisa begitu disiplinnya membentuk diri di dalam dan di luar.

Aku suka melihatmu berkeringat, atau hembusan napasmu karena kelelahan. Kadang aku hanya melihat punggungmu tanpa bersuara, melihat keringat membasahi lehermu, atau rambutmu yang jadi berkilau. Apa yang terjadi di balik selimut saat itu terjadi adalah hal yang paling kutunggu di pagi hari, kamu pasti tahu maksudku. Kamu tidak sepolos itu. Permainanmu di atas ranjang setiap malam adalah momen paling indah yang selalu ingin terus kurasakan.

Aku selalu merasakan getaran dari hatimu yang baik, bahwa aku tahu tiap kali kamu memelukku, menciumku, kamu selalu melibatkan perasaanmu. Anehnya hal-hal seperti ini baru aku rasakan saat aku bersamamu. Tidak kutemukan pada pria lain. Itu yang akhirnya membuatku sadar, bahwa sudah sejak lama aku sering salah pilih untuk membiarkan pria masuk ke hatiku. Kesadaran itu kamu kuatkan tiap kali kamu bilang bahwa kamu mencintai setiap perempuan yang kuat dan sadar.

Kamu memahami cara bagaimana merespon perempuan rapuh yang datang ke duniamu. Dan untuk itu aku bersyukur. Aku tahu traumamu itu merapuhkanmu di dalam, namun sejak aku mengetahui kamu banyak menolongku memulihkan diri, aku jadi jatuh cinta dengan bagaimana kamu memperlakukanku. Saat itu aku ingin terus bersamamu, sayang. Barangkali menjadi obat yang selama ini kamu cari. Seperti lirik lagu Blessed;

“yes, I'm a mess but I'm blessed To be stuck with you.”

Aku ingin melihatmu bangkit dan pulih seperti caramu membuatku menjadi baik-baik saja pada akhirnya. Aku suka saat kamu tidak memiliki kepentingan apapun, ekspektasi apapun. Yang kamu lakukan hanya menemaniku, menjadi baik, hal-hal semacam itu tidak kutemukan pada pria lain. Awalnya aku merasa aneh, kamu seperti fenomena, tidak kutemukan di mana-mana. Lalu aku menyadari bahwa trauma kelammu itu membentukmu jadi pria sensitif, pria emosional, dan yang paling penting; kamu tahu bagaimana merespon perempuan tanpa membuat mereka merasa buruk. Kamu memahami kami, tidak heran setiap orang yang mengenalmu, merasakan rasa nyaman dan aman tiap kali berada di dekatmu.

Oh, sayang. Jika kamu memberikan tempatmu di surga untukku, aku akan menolak. Karena kamulah yang lebih pantas berada di sana. Kamu membantuku berdamai dengan trauma, kamu datang di waktu yang tepat. Aku belajar untuk lebih menerima yang datang daripada harus mencari lalu lelah sendiri.

Sayang, ajarkan aku untuk tetap tenang dalam badai, ajarkan aku menjadi jujur tanpa takut dilemahkan, ajarkan aku menjadi baik tanpa berharap balasan. Ajarkan aku merespon setiap hal-hal negatif dan mengubahnya jadi hal-hal positif yang memberimu semangat dan tujuan hidup. Dunia ini rugi ketika kamu tidak ada lagi di sini. Alam semesta merindukanmu, seperti aku merindukanmu. Merindukan tawamu, merindukan miringnya kepalamu saat mendengarkan baik-baik saat aku menceritakan kesedihan dan perasaanku. Aku merindukan pelukanmu setiap malam, aku merindukan kata-katamu bahwa segala hal akan baik-baik saja, bahwa kamu selalu berada di sampingku menjadi alasan untuk tidak menjadi risau.

Aku rindu saat kaki-kaki kita saling bersentuhan di balik selimut. Aku rindu saat kamu menyiapkan segelas air putih untuk kuminum setiap bangun pagi. Aku merindukan leluconmu yang kadang garing, atau ide-ide gilaku yang selalu kamu terima sebagai ide yang akan mengubah dunia, meski aku tahu itu hanya ide-ide yang keluar dari kepala yang mabuk karena merasakan kebahagian berada di sisimu. Aku merindukan ciummu yang lembut, tanpa tergesa-gesa. Aku rindu saat kutanggalkan semua yang menempel pada tubuhku, dan menenggelamkan semuanya pada tubuhmu.

Atau aku merindukan pijatan-pijatan kecilmu saat aku merasa kelelahan selepas kerja. Ibumu benar, pijatanmu bukan hanya enak, namun ada daya magis yang membuatku selalu tidur lelap saat jari-jari itu menyentuhku. Aku rindu saat kamu membacakan buku-buku untuk mengantarkanku yang kesulitan tidur. Tentu aku merindukan suaramu, aku merindukan semua hal darimu yang membuatku tenang dan bersyukur, membuatku belajar menerima dan memahami bahwa hidup adalah tentang saling memberi, tentang membuat diri sendiri stabil, dan tidak membuat orang lain merasa buruk.

Denganmu, aku selalu kehabisan kata-kata, namun ada kekuatan besar yang bisa menggerakkanku untuk menulis surat balasan ini. Aku percaya kamu bisa membacanya, seperti kepercayaanmu pada hal-hal yang terkubur, bahwa sejatinya mereka lebih hidup dari kita-kita yang hidup di atas tanah. Aku kaget, aku tidak menangis menuliskan ini, aku justru tersenyum tiap kali memori-memori baik yang kamu ciptakan terbesit dipikiran dan hidup lama mendekam di kepala, untuk nanti bisa kubuka saat aku menagalami hari-hari buruk.

Seperti katamu, kematian adalah hal terindah yang tuhan beri, dan untuk itu aku percaya bahwa meski ketidak-beradaanmu di sini tidak lantas membuatmu hilang. Aku bisa merasakanmu di tenangnya udara, di gelap dan dingin malam, di pagi yang hening, di siang yang terik, di tidurku yang kini tenang dan di setiap mimpi-mimpi indahku tentangmu, tenang menikah dan hidup sampai tua bersamamu, tentang memiliki anak-anak yang pintar dan lucu, tentang menghidupi orang-orang yang membutuhkan. Tentang tidak melupakan di mana kita berada dan dari mana kita berangkat.

Maafkan aku karena tidak pintar mengatakan perasaanku tentangmu, maafkan aku karena menahan-nahan kesedihan yang kadang membuatmu marah karena menahan kesedihan hanya akan menumpuk kesedihan-kesedihan lain yang bisa kapanpun meledak dan merusak. Maafkan aku untuk tidak biasa jujur pada perasaan sendiri. Maafkan aku jika aku tidak bisa membalas segala kebaikanmu, meski aku tahu kamu tidak butuh balasan apapun. Kamu selalu bilang bahwa yang terpenting adalah aku berada di sampingmu, dan tetap mengingatmu. Menganggapmu ada.

Maafkan aku yang pada awalnya tidak bisa menjadi supportif sepertimu. Aku hanya kaget dan heran, bagaimana bisa pria sepertimu hidup dan eksis namun tidak banyak yang menyadari. Untuk itu aku merasa bersyukur karena aku mengenalmu dan mengetahui setiap kesedihan dan traumamu. Aku sedih saat kamu memilih untuk tidak menceritakan sisa-sisa trauma yang mengurungmu hingga kematianmu.

Kamu bertarung dengan kekuatan hebatmu. Aku benar-benar melihat itu. Apalagi di saat kamu berada di peperangan itu, kamu masih sibuk memastikanku baik-baik saja. Oh, sayang, aku berterima-kasih, aku minta maaf. Aku tidak akan menyia-nyiakan kematianmu. Terima kasih karena membantuku bertumbuh, membantuku untuk tetap sadar dan berpijak pada tanah yang tepat dan kuat. Terima kasih karena kamu memperlihatkan kebaikan hati yang langka kutemukan di dunia yang semakin gila, terima kasih karena mengajariku bahwa dengan menjadi jujur hidup kita menjadi bebas dan tenang.

Terima kasih ya! Aku menyimpan setiap suratmu, foto-foto menggodamu, kutipan-kutipan yang selalu kubaca sebelum aku pergi tidur. Aku merindukanmu, sungguh. Suratmu akan segera kuletakkan pada pigura cantik yang waktu itu kita beli di IKEA.

I Miss u.

 

Semarang, 12 Juli 2021

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar