Monday, August 24, 2015

Elina & The President (Final Episode)


Elina keluar dengan perasaan jengkel, muntab. Wakil Presiden yang tidak dianggap. Sakit hati yang memuncak, Elina pergi meninggalkan Istana. Pulang ke rumahnya yang berjarak dua kilometer dari istana. Elina berkendara sendiri, menolak sopir yang menanyakan ingin pergi kemana. Elina memacu kendaraanya dengan kecepatan yang tidak biasa, jalanan lumayan sepi. Hanya butuh lima menit untuk Elina sampai dirumahnya. Elina tertahan di dalam mobil, ditempelkannya kening pada stir mobil. Elina merasa keputusan Presiden adalah keputusan yang salah, sangat salah. Elina befikir apa yang harus dia lakukan.

Bunyi dering pesan masuk di handphone Elina membuatnya tersentak. Belum membuka pesan, Elina menyadari bahwa rekaman pembicaraan di handphonenya masih berjalan. Hampir tigapuluh menit, Elina menyimpan hasil rekaman itu, lalu memutarnya kembali. Dipercepat—diperlambat , mendengarkan lagi percakapan yang baru saja terjadi di Istana. Elina turun dari mobil masuk rumahnya dengan tergesa-gesa, menuju meja kerjanya, menyalakan laptop lalu mencari daftar Email media massa. Koran, majalah, media online, radio, televisi. Elina membuka akun Emailnya, berniat untuk mengirim rekaman itu melalui email. Elina menuliskan alamat email itu satu persatu, memindahkan rekaman dari handphone ke laptopnya. Dengan subjek “Percakapan Pak Presiden dan Presiden Irak”.

Belum ada setengah jam, seluruh stasiun TV sudah memberitakan soal rekaman yang dikirimkan Elina, banyak wartawan yang mendatangi Istana untuk mengetahui kepastian berita itu. Pertemuan Pak Presiden dan Presiden Irak masih berlangsung, kegaduhan di luar Istana memberhentikan pembiacaraan diantara mereka. Presiden menanyakan kegaduhan yang ada di luar kepada salah satu staff kepresidenan, “Maaf pak, sepertinya pak presiden harus menonton siaran televisi” jawab salah seorang staff presiden. “Ada apa?” Pak Presiden pamit meninggalkan Presiden Irak untuk melihat siaran televisi.

“Breaking News, sekarang saya sudah berada tepat di depan Istana Presiden untuk mencari kepastian atas berita rekaman pembicaraan antara pak presiden dengan presiden Irak, yang dikirimkan oleh wakil presiden. Bisa kita lihat kegaduhan yang ada di depan Istana, sampai berita ini disiarkan belum ada perwakilan dari istana yang menemui para wartawan dan memberi penjelasan” Ucap salah satu wartawan dari TV sembilan. Presiden mendegarkan rekaman yang diputar TV sembilan dengan seksama. Rekaman belum rampung Pak Presiden langsung menelpon Elina dengan perasaan yang kalang-kabut.

Lima panggilan tak terjawab, Elina tertidur di meja kerjanya, handphonenya masih terus berdering. Elina mulai terbangun setelah dering panggilan ke tujuh menyentaknya. Telepon dari Pak Presiden. Elina mendiamkan hingga sepuluh kali panggilan tak terjawab. Elina menyalakan televisi, tersenyum, entah tersenyum puas atau apa. Setelah ini Elina akan dianggap pejabat pro rakyat karena menolak proyek senjata pembunuh massal itu. Agaknya Elina menganggapnya seperti itu. Sekali lagi terdengar panggilan masuk dari pak presiden. Elina menjawab panggilan itu setelah dering ketiga.

“Bagaimana pak presiden? Sudah melihat kegaduhan yang terjadi? Semua televisi menyiarkan berita yang sama, prestasi buka?” Elina tertawa remeh.

“Elina!! Kamu bukan wakil presidenku lagi!! Jengkel pak presiden.

“Kebetulan pak saya juga mau mengundurkan diri, cukup adil bukan?” Remeh Elina.

“Elina!! Bodoh!!”

“Oops, ada yang marah besar” Elina tertawa keras. “Tenang saja pak presiden kegaduhan ini tidak akan membuat jabatan anda hilang, siapa yang berani menangkap seorang presiden yang dinilai pro rakyat, presiden yang hanya mencuri ide pembangunan dari orang lain. Presiden sampah, pencitraan teruusss!!” Pak Presiden muntab, belum sempat dia menjawab, Elina sudah menutup teleponnya.

Perkataan Elina benar, tidak ada yang berwenang menangkap presiden. Masalah ini membuat kegaduhan. Demo besar-besaran terjadi di Ibu Kota, meminta presiden turun dari jabatannya, ini sudah berlangsung seminggu lamanya setelah rekaman pembicaraan pertamakali disebar. Elina belum resmi mengundurkan diri, Pak Presiden juga belum jadi memecat Elina. Ibu Kota luluh lantak, banyak dari penduduk memilih sejenak keluar dari Ibu Kota. Para Mahasiswa dari seluruh negeri tidak henti-hentinya berorasi siang dan malam, menganggap presiden menjual negara ini kepada negara-negara Arab. Pak Presiden berpikir keras untuk mengembalikan keadaan negara menjadi normal lagi. Dua minggu berjalan kegaduhan masih terjadi, Ibu Kota semakin Luluh Lantak. Istri Pak Presiden menyarankan untuk turun jabatan, ketua umum partai dan koalisi partai pengusung presiden juga menyarankan hal yang sama. Presiden semakin bingung, jika dia mengundurkan diri Elina akan menggantikannya. Jika pak presiden memecat Elina sebelum mengundurkan diri, masyarakat akan semakin membenci presiden.

Hari ke enambelas. Pak Presiden memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, Pukul sepuluh Elina dilantik menjadi presiden. Tidak ada pembicaraan antara Elina dan Pak Presiden. Pak Presiden yang kini mendapat gelar mantan presiden langsung meninggalkan Istana. Seluruh penjuru kota bergembira kegaduhan berubah menjadi tawa kegembiraan karena perjuangan yang tidak sia-sia untuk menggulingkan presiden yang dulunya dianggap presiden pro rakyat. Pesta diadakan dimana-mana, kembang api dan suara terompet menghiasi langit ibu kota hingga malam. Enambelas hari yang kelam, perekonomian negara luluh lantak. Mata uang melemah.

Pukul sembilan malam, sebelas jam setelah Elina dilantik menjadi Presiden. Elina meminta staff kepresidenan meninggalkannya sendiri untuk menelpon temannya.

“Thankyou, brother. Sedikit kacau tapi semuanya berjalan dengan lancar” Ucap Elina.

“Dengan senang hati, Elina”.


-TAMAT-
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar