Sunday, August 23, 2015

Elina & The President (Episode 6)


“Jadi bagaimana dengan proyek kita, pak?” Pak Presiden, mempersilahkan presiden Irak menikmati suguhan dari Pak Budi. “Semuanya lancar, kita tinggal menunggu negara-negara Arab menandatangani nota kesepahaman” Presiden Irak, meminum teh rempah yang biasa disediakan Pak Budi untuk tamu kenegaraan. Elina berada diantara mereka berdua. Tapi, sampai setengah jam pembicaraan berlalu tidak ada satupun diantara mereka berdua yang mengajak Elina berbicara ataupun sekedar basa-basi yang tidak menarik. Elina hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan yang terasa masih sangat lama untuk sampai ujung pembicaraan. Sesekali Elina menatap pak presiden sembari tersenyum, hal yang sama dilakukan Elina kepada Presiden Irak. Keadaan yang membuat Elina merasa tidak ada bedanya antara menjadi pengawal presiden dan wakil presiden, diperlakukan Pak Presiden seperti pengawal presiden, Elina merasa ketidakadilan yang dilakukan Pak Presiden terhadapnya. Tapi, lagi-lagi Elina hanya diam. Menganggap semuanya baik-baik saja. Menjaga hubungan baik adalah hal terpenting bagi Elina.

Satu jam jalannya pembicaraan Elina mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua presiden ini. Ada sesuatu yang terasa aneh ditelinganya. Diambilnya telepon gengam di tas kecilnya, berpura-pura membalas pesan. Elina membuka Sound Recorder memulai merekam semua pembicaraan yang tampak janggal. Kedua Presiden ini membawa nama-nama presiden di daratan Eropa dan Amerika, juga nama-nama negara di semenanjung Arab. Elina melamun, bengong. Sampai semuanya pecah ketika Pak Presiden meminta saran kepada Elina. “Bagaimana Elina? Kamu setuju?”. Elina sulit menjawab karena memang dia tidak tahu, hal apa yang sedang ditanyakan Pak Presiden. “Maaf, sebenarnya apa yang sedang kita bahas, Pak Presiden?”.

“Negara-negara Liga Arab ingin mengajak kerjasama negara kita untuk membuat senjata pembunuh massal, Elina”.

“Maksudnya Nuklir, Pak Presiden?”

“Iya”

“Maaf, untuk apa kita membuat Nuklir, Pak Presiden?”

“Ya, kamu tahu sendirikan, sudah banyak negara yang mempersenjatai dirinya dengan alat pembunuh massal itu” Pak Presiden menyulut rokok yang terapit di bibirnya.

“Negara ini aman-aman saja, pak. Tentram, penduduknya hidup dengan tenang dan damai. Jadi kenapa Negara kita harus ikut membuat senjata pembunuh massal itu?” Tanya Elina serius.

“Kamu tidak paham, Elina. Amerika, Russia, China, Korea Utara dan negara-negara lain. Mereka siap menjatuhkan nuklir kapanpun sesuka mereka, dimanapun tempat yang mereka suka”

“Tapi, dengan alasan apa pak?”

“Memperluas wilayah dan kejayaan, Elina. Jadi kalau kita tidak siap, Negara kita akan hancur seketika tanpa perlawanan”. Pak Presiden mengapit rokok pada sela-sela jarinya.

“Kalau begitu perang dunia ketiga bukan hanya mitos? Akan benar-benar terjadi?”

“Begitulah faktanya, Elina”

“Tidak pak, kali ini saya tidak setuju” Tegas Elina.

“Elina!! Baru kali ini kamu membelot” Pak Presiden muntab.

“Saya jelas tidak sudi menjual negara ini, hanya karena ketakutan Pak Presiden yang tidak terbukti dan tidak jelas” Tegas Elina.

“Keluar, Elina!! Keluar!!” Bentak Pak Presiden, Muntab.

“Baik, pak. Terimakasih. Saya permisi”.


Bersambung
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar