Sunday, October 4, 2020

Tania.


 

Tan. Hehe

Gimana ya, tau gak sih kata orang musisi baru bisa disebut musisi kalo udah bisa sampe album ketiga. Apa ya, kayak karya ketiga itu bisa dibilang “The Godfathernya.” Ya contoh di buku ketigaku aku ngerasa ini bentuk ku sebenarnya. Ya meskipun kalo ditanya novel mana yang paling bikin puas, jelas novel keempat, di mana badai sembunyi. Aku berusaha untuk tidak lebay karena aku tahu kamu jijik sama hal-hal yang lebay dan berlebihan, tapi People Series dibikin untuk menagkomodir ego lebay ku, atau ego bucinku. Yaaa jadi gimana, ya bingung. Nulis tentang kamu, memikirkan hal-hal tentang kamu, memori-memori dulu rasanya masih canggung. Dan aku sengaja menulis ini di episode ketiga. Ya sejujurnya, kamu Godfathernya.

Bisa dibilang aku gak bener-bener siap nulisnya, canggung banget gilak. I don’t know apa yang terjadi di antara kita waktu itu, kupikir udah bener-bener selesai, tapi tiba-tiba waktu itu kamu ke kantorku, meskipun rame-rame. Sejujurnya itu bangsat sih, spot on anjing gitu. Kaget, seneng dan aneh. Kesalahan kita mungkin, kita sama-sama gak memberi ruang untuk membicarakan hal yang terjadi waktu itu. Kita gak memberikan ruang setelah sekian lama memikirkan memori itu. Kalo dibilang apakah aku merasa bersalah, jelas. Banget. I can’t control my feeling, energy yang kamu kasih besar banget. Aku kaget, gak terbiasa mengendalikan energy dari perasaan-perasaan semacam itu. Imbasnya? Aku terobsesi. Obsesi memiliki, obsesi bahwa setiap fokus dalam harimu ya harus tentang aku.

Ingatanku masih segar, basah. Kamu lagi makan, dan aku menuntut untuk kamu merespon sesuai keinginanku, aku masih inget kamu bales pesan itu dengan reaksi yang gak menyenangkan dan kamu gak suka. Kataku, “fuck.” Anjing lah. Anak kecil ku kalo lagi senewen bikin dunia jadi berasa di neraka, waktu itu mungkin aku belum terlalu bisa mengendalikan sosok anak kecil dalam diri. Aku maunya sosok itu muncul pas aku lagi bikin sesuatu, bukan pas aku lagi jatuh cinta. Fuck banget lah pokoknya. Aku gak ngerti lagi, kehilangan kamu itu kehilangan paling kjavuvifsavfasivgfiuauivfiuvfasvfu di hidupku. Padahal cerita kita cerita paling singkat dibanding yang pernah aku lalui.

Aku gak ngerti lagi. Ada orang sedingin kamu, satu yang aku inget adalah. Tatapanmu. Aku masih selalu inget, kalo lagi pengen mengenang tinggal menutup mata, mikirin kamu, yang muncul tatapanmu waktu pertama kali kita ketemu. Canggung gilak. Hampir gak bisa apa-apa. Jaket bapakmu yang kamu pake waktu itu, malem-malem dingin habis hujan. Katamu itu caramu untuk mengingat dan mengenang. Aku tahu dan denger cerita itu aja ngerasa kayak, gimana ya, haru aja gitu. Atau memang akunya yang gampang baper. Sensitif.

Gak banyak yang mau aku sampein, Tan. Ingatan-ingatannya masih basah. Kalo di dua episode sebelumnya aku merasa ya biasa aja waktu nulis. Aku gak merasa biasa-biasa aja waktu nulis ini, ya kamu tahu lah, aku orangnya gembeng, lemah, wtf banget lah pokoknya. Mungkin kamu akan bilang menjengkelkan. I know it. Tapi menangis adalah satu cara dari mekanisme kopingku. I don’t know kamu gimana, tapi aku paham betul ada kekuatan dari dalam dirimu yang bikin kamu terlihat baik-baik aja. Kuat. Tegas. Tapi aku tahu kadang kamu pura-pura menjadi dingin karena kamu menyukai hal-hal yang sifatnya kejutan. Kamu gak bisa kalo ekspektasimu gak terpenuhi sesuai keinginanmu. Motherfucker untuk hal-hal yang detail.

Tapi, Tan. Gak tau, mau bilang apalagi. Intinya makasi udah pernah ada. Jadi inspirasi untuk di mana badai sembunyi. Novel itu adalah bayanganku ketika kita berdua adalah sepasang suami istri. In romantic relationsip. Aku orang yang gak mau balik lagi sama cerita lama, tapi kamu jadi pengecualian. Banget. Aku berani bilang dan mengajukan statement ini. Dan memang seperti itu. Ya meskipun aku gak pernah tahu sekarang gimana kamu, dan perkembanganmu. I don’t fucking know, ya karena mungkin itu yang kamu mau. I respect that.

Ohiya, di mana badai sembunyi itu soal gimana aku melihat cerita-cerita perselingkuhan. Tapi dari kacamata seorang suami yang istrinya selingkuh, dan ternyata anaknya bukan buah hatinya. Tapi buah hati istrinya bersama selingkuhan—yang di ending selingkuhannya hilang entah ke mana. Dan si suami melihat itu sebagai sikap ikhlas, memaafkan segalanya. Itu ending yang paling menguras emosi dari yang pernah aku tulis. Si suami memeluk anak laki-laki itu, dan menangis dalam pelukan—lalu melihat kenyataan bahwa istrinya mengalami realita yang tidak menyenangkan. Aku melupakan semuanya. Dan mungkin itu memang cara terbaik. Tapi kalo di usia tuamu tidak ada satu pun lelaki yang mungkin akan bersanding, dan aku masih juga tidak memiliki siapa-siapa. Aku selalu memikirkan kamu, sebagai pilihan terakhir. Dan aku ingin itu menjadi sisa yang kamu ingat nanti. I don’t know. Itu semacam perumpamaan orang-orang Colombia.

Tan, rasa seneng, sedih, menyesal, kecewa, marah itu sebenernya natural aja. Itu semacam roda yang berputar. Tanpa rasa sedih kita gak akan paham nilai dari perasaan senang. Marah dan kecewa bikin kita sadar untuk gak melakukan ke orang lain karena rasanya sangat menyakitkan. Dan dari kamu aku menyadari betul penyesalan itu sesakit dan sejahat apa. Ada banyak hal yang tidak perlu dibicarakan, itu yang aku pelajari dari dinginnya tatapanmu. Aku berusaha untuk hubungan itu berjalan dengan baik dan worth it. But, memang jalannya lain. Mau gimana lagi.

I still remember how you kiss me. Obrolan kita sore dan malam itu, atau saat kamu tertidur di dalam bus dan terlewat dari tempat seharusnya kamu turun. Aku suka obrolan menggemaskan yang waktu itu tercipta. Aku ingat kata-kata apa yang muncul dari bibirmu, aku ingat tangamu melingkar di tubuh kurusku. Atau saat aku pulang kerja dan memutuskan untuk menemuimu, dalam perjalanan aku selalu menyusun apa yang harus kuceritakan. Aku mengingat momen-momen itu sebagai caraku belajar menyadari bahawa kamu, Tan. Mungkin adalah hal terbaik yang pernah ada di dalam cerita hidupku.

Kamu mengerti aku utuh, kamu melihatku dari sudut yang tidak dilihat orang lain. Aku ingat saat pertama kali kamu mengomentari kucing-kucingku yang manis dan lucu. Aku ingat, kedewasaanmu saat merespon dan bereaksi pada banyak hal. Aku ingat setiap pelukan hangatmu. Aku ingat ketidak-tahuanku akan sesuatu yang kamu dengan mudah memahami dan mengerti itu. Aku selalu meningat kamu, Tan. Maaf untuk segala sikap dan kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan. Mengajakmu menonton Flying Solo Tour waktu itu adalah usaha terakhirku. Ternyata kamu sudah benar-benar melupakan apa yang sempat terjadi di antara kita. Yasudah. Memang seharusnya begitu.

Kamu membentukku, untuk memproses rasa sakit itu menjadi satu novel yang pada akhirnya kuberi judul di mana badai sembunyi adalah era paling berat dibanding novelku yang lain. Aku harus bilang, aku menerjemahkanmu sebagai badai—badai dalam hidupku. Mungkin hanya sebentar tapi efek kehancurannya besar dan pemulihannya lama. Perlu kubilang. Aku belum sepenuhnya pulih. Aku masih bisa merasakan kehebatan badai itu. Entah. Ini baru dua tahun, mungkin akan lebih banyak waktu yang kubutuhkan, selain memang aku tidak ingin benar-benar melupakanmu.

Tan, jangan pernah lagi berharap pada laki-laki seperti aku. Hanya akan ada rasa sakit dan kesal. Rasanya aku ingin membunuh zahid paningrome dua tahun lalu. Ia destruktif, merusak segalnya, menghancurkan yang baik-baik saja.  Aku menyebut namamu di persembahan skripsiku, menghadiahi ulang tahunmu tahun lalu dengan novel itu. Kupikir kamu akan mengerti dan tertarik. Tapi ya tampaknya aku gak perlu kaget. Tiga novel sebelumnya tidak pernah dibaca oleh orang yang memang kutulis di sana. Mungkin itu kesamaannya. Seharusnya aku merasa baik-baik saja dengan kenyataan itu.

Aku pernah bilang, aku tidak pernah dewasa dalam urusan cinta. Aku tidak tahu bagaimana mempertahankan romantic relationship. Aku belajar supaya orang tidak terlalu terikat padaku, aku belajar supaya orang tidak benar-benar merasa kehilangan ketika aku benar-benar hilang. Karena memang seperti itu keinginanku.

Aku selalu gagal untuk mencintai orang yang lebih dulu mencintaiku. Apalagi aku juga selalu gagal untuk membuat orang yang sebelumnya tidak jatuh cinta menjadi cinta. Lalu kupikir lagi. Memang apa yang aku bisa? Aku menemukan jawabannya  di novel kelimaku, Tan.

Aku paling bisa menghancurkan diri sendiri.

Iya, lama-lama kita tahu. Yang salah tetap aku. Terima kasih untuk semuanya, Tan. Pokoknya aku selalu berdoa untuk segala hal yang membuatmu bahagia dan menjadi dirimu sendiri, sesuatu yang membuatmu lebih bersinar.

I have story and writing is always such a lonely process. Semoga kamu mengerti, dan menyadari untuk orang bodoh sepertiku; memaklumi dan memaafkan adalah jalan satu-satunya yang bisa dipilih. Entah kamu peduli, entah kamu baca. Tapi ini tentang semuanya.

Terima kasih, Tan. Hehe

 

Semarang, 5 Oktober 2020

#PeopleSeries adalah pengantar untuk novel kelimaku. Rilis setiap senin. Bercerita tentang orang-orang yang memang pengen aku ceritain. Bisa siapa aja.

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar