Sudah
empat bulan aku tidak membaca apa yang bisa kamu tulis. Rasanya memang tidak
ada bedanya. Sesuatu yang sudah dimantapkan untuk ada di hati memang tidak
perlu dipertanyakan lagi. Belakangan ini aku membaca lagi tulisanku mengenai
kamu. Rasanya sudah beda. Aku sudah tidak sesakit dulu, yang memintamu
mengasihaniku.
Tapi itu
soal lain. Kesadaran datang terlambat. Aku bukan pelari yang kuat mengejarmu
hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya perlu menjadi bagian
dari waktu. Yang bisa kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke
masa itu. Saat percakapan yang mempertemukan kita dengan kesadaran penuh
bahagia. Mengatasnamakan hal lain hanya untuk saling menatap.
Memang
ada manusia yang diciptakan hanya untuk terus mendengar, terus menatap, terus
memantik aksara dari kegelisahan yang tercipta belum lama. Sekarang aku tidak
takut untuk tidak mendapat apa yang dijanjikan tuhan. Tiga hal yang masih
diperdebatkan banyak orang. Aku tidak takut pada salah satu hal ini. Aku hanya
perlu menghidupkanmu dalam tiap debar jantungku, dalam tiap darah yang mengalir
dalam tubuh, dalam tatapan yang serupa diorama kecil di lautan lepas. Toh,
kalau kamu bisa hidup bahagia dengan caramu, kenapa aku tidak bisa hidup bahagia
dengan caraku.
Semalam
aku bermimpi, bagian dari tidur yang mulai tidak aku sukai. Mimpi selalu
membuatku lelah ketika bangun. Aku hampir pernah tidak bisa membedakan mana
mimpi mana kehdupan nyata. Semua tampak sama—nyata.
Aku bermimpi
bertemu dua wanita. Salah satunya kamu. Aku meyakini dua hal soal mimpi, ketika
aku memimpikan seseorang, pilihannya cuma dua: aku yang memikirkan orang itu
atau sebaliknya.
Anehnya
semalam aku tidak memikirkanmu sama sekali, kamu memelukku di salah satu ranjang
dirumahku. Kamu menciumi telingaku dan berbisik, tapi aku tidak bisa mendengar
jelas apa yang kamu ucap. Ini begitu nyata, sampai aku menolak untuk bangun. Aku
bisa mengendalikan mimpiku. Ini aneh.
Sudah
begitu lama aku tidak memimpikan kamu. Aku menganggap semua yang ada tentang
kita, memang sudah selayaknya diikhlaskan. Aku memilih untuk tetap menaruh kamu
di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang telah memilih
menetap. Ada gambaran jelas. Aku bertanya kapan kamu bisa melupakan semua yang
terjadi di starbucks sore itu.
Aku
sudah mengharamkan diriku untuk menginjak tempat itu. Terlalu banyak kenangan
yang mengendap diam-diam dan tanpa noda. Aku bukan takut apalagi patah hati,
aku mencoba melatih diri untuk menemukanmu di dalam mimpi, dimana-mana,
disetiap kata yang aku tulis, disetiap seduh teh dan kopi yang aku minum.
Jika kamu
membaca ini, aku hanya ingin meminta maaf. Karena aku terlalu cepat mengucapkan
rasa yang sudah sejak lama dipendam. Sialnya kamu tidak siap menerima dan akhirnya memilih untuk hanya mengenal.
Ingatkah
kamu saat kita kelas satu, saat aku menjalin kasih dengan teman kelasmu. Kita masih
di sekolah saat malam dan hujan datang bersamaan, kita bercerita tentang banyak
hal, kamu dengan tas merahmu saat kamu belum memutuskan untuk memakai rok
panjang dan jilbab. Jauh sebelum itu aku sudah mencintaimu.
Ingatkah
kamu ketika kita kelas tiga, saat teman kelasmu hampir dikeluarkan karena menasehati
salah seorang guru yang berkata kasar dan tolol. Aku yang sok pahlawan ini
membiarkan diriku ikut bersamanya. Membela dan sama-sama dibodohi. Ketika aku
menangis di salah satu sudut sekolah. Kamu mendatangiku, masih dengan tas
merahmu dan tampilanmu yang telah berubah, rok panjang dan jilbab. Hanya kamu!
Saat itu aku masih mencintaimu.
Tahukah
kamu bahkan jauh sebelum itu, kita lebih sering saling melempar kata di Path
dan Twitter. Hingga akhirnya di Instagram kamu mengajakku untuk membuat satu
cerita. Disana aku merasa kebahagiaan mulai berpihak. Kamu memintaku memberikan
kontakku. Kita membuat janji untuk bertemu di Starbucks. Ingatkah kamu? Saat pertama
kali kita duduk. Kita sama-sama memohon hal yang sama: Untuk tidak menulis di
Path bahwa kita sedang berdua di Starbucks. Saat itu aku masih dengan rasa yang
sama.
Enam
jam. Enam jam kita habiskan waktu disana. Sejarah dalam hidupku berbincang lama
dengan seorang wanita. Dan beruntungnya aku, wanita itu—kamu yang aku cintai
sejak dulu. Aku masih ingat, ada banyak hal yang kita bicarakan disana. Menanyai
seorang pelayan tentang tokoh kita. Pelayan itu menjawab “Gigih” katanya dia
kekasihnya. Sampai kita dianggap dua kekasih. Aku hanya tersenyum disitu. Kamu terganggu.
Jelas, kita tidak bisa bohong, kita sama-sama menemukan seorang yang tidak kita
temukan di kelas, di organisasi, atau mungkin di sekolah.
Ketika
kita disana aku baru saja selesai urusan dengan seorang wanita yang kupilih
untuk mencoba melupakanmu. Awalnya berhasil. Tapi sayang, dua tahun itu hangus
terbakar. Aku memutuskan untuk kembali menatapmu dari kedalamanku.
Jika
kamu membaca ini, itu tanda bahwa aku sudah selesai dengan urusan percintaan. Tidak
ada yang seneurotik kamu. Aku sadar kita punya banyak kesamaan, bahkan mungkin
kamu mengiyakan. Tapi agaknya kita setuju, hal-hal yang sama memang tidak bisa
disatukan. Hingga akhirnya kamu mulai pelan-pelan pergi, menanggalkan semua
yang sebenarnya telah kamu mulai lebih dulu. Seperti pedang yang ditarik pelan dari
tubuh yang tertusuk.
Jika kamu
membaca ini, aku ingat. Ada satu hal yang belum aku sampaikan. Aku perlu
melepas semua sisa bayanganmu. Mungkin kamu juga, terlupakan satu hal dariku.
See?
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar