Hujan sore ini menciptakan
kekhawatiran pada banyak orang. Seorang pria harus mengejar penerbangannya
menuju Amsterdam. Ananta namanya, dia masih berada dirumahnya dua jam sebelum
pesawat lepas landas. Berulang kali dia memesan taksi online, namun gagal. Tak
ada satu driver pun yang merespon pesanannya. Jarak dari rumahnya ke bandara
cukup jauh, memakan waktu hampir satu jam dalam keadaan lalu lintas yang
lancar.
Lima
menit menunggu pesanan taksi online yang tak kunjung memberikan notifikasi
pasti. Ananta memutuskan menyetir mobilnya sendiri menuju bandara. SUV
Chevrolet hitamnya melaju kencang membelah hujan yang semakin deras. Jalanan
cukup lancar, disaat orang-orang mengistirahatkan tubuh, melepas penat selepas
bekerja. Ananta harus mengejar sesuatu, belum pernah dia sesemangat ini setelah
banyak yang diambil dari dirinya. Amsterdam telah menciptakan kenangan buruk
bagi dirinya setahun yang lalu. Tak ada yang mengerti kemana perasaan bermuara.
Dia hanya mencoba mengikuti kata hatinya, sekali lagi.
Seorang
teman membalas status check in di akun Pathnya. Pramugari maskapai penerbangan
yang kebetulan akan ada dalam satu pesawat bersamanya, menuju Belanda. Namanya
Inneke. Ananta tersenyum, membalas komentar Inneke yang mengajaknya bertemu. Inneke
adalah wanita yang memberikan luka pada Ananta setahun lalu. Yang membuatnya
tak pernah lagi berkunjung ke Amsterdam sejak saat itu. Tapi tetap saja, wanita
tak pernah mengerti bagaimana seorang pria telah sakit dan patah. Mereka hanya
bisa terus menuntut untuk dimengerti, sampai lupa mereka seharusnya belajar mengerti orang
lain
SUV milik Ananta sampai di
lahan parkir Bandara, hujan mulai mereda, Ananta berlari menuju terminal
tiga.Tak ada barang yang dia bawa. Hanya dompet, ponsel dan satu lembar tiket
keberangkatan. Setelan Jas hitam kerjanya masih ia kenakan.
Tidak lupa dia menghubungi
sekretarisnya untuk menghandle semua pekerjaan di kantornya. Tak ada kata
terlambat bagi Ananta, setengah jam sebelum pesawat lepas landas, dia telah
duduk manis di tempat duduknya, Kabin Business Class. Via whatsapp, Ananta
menghubungi Inneke bahwa dirinya telah berada di atas pesawat. Tak perlu
menunggu lama. Inneke telah sampai di kursinya. Menyapa Ananta mencium pipi
kanan dan kiri. Hal yang wajar dilakukan seorang wanita ketika bertemu Ananta.
Pria yang macho dan tampan, tak ada wanita yang tak menyukai dirinya. Ananta
adalah manifesto pria sempurna dimata para wanita.
“Kamu
ke Belanda ada urusan apa??” Tanya Inneke.
“Urusan Bisnis.”
"Oh gitu... Oke, Aku
kesana dulu ya. Entar kita ngobrol lagi," Inneke pergi dengan senyum malu
yang menggoda. Ananta tidak membalas senyum Inneke. Dia memang begitu, cuek dan
tenang. Tatapannya teduh dan meneduhkan.
Empat
belas jam perjalanan yang akan ditempuh Ananta. Bukan waktu yang lama baginya
asal Champagne tersedia selama perjalanan. Ananta membunuh waktu dengan
menonton film. Lampu kabin di padamkan. Ananta masih terjaga, penumpang lain
mulai bersiap tidur. Seorang pramugari terlihat mendatangi Ananta. Wajah Inneke
terlihat oleh cahaya ponsel Ananta. Mereka berdua tersenyum. Mereka berbincang.
Inneke duduk di depan Ananta. Masih dalam satu tempat dengannya. Perbincangan
mereka berlangsung sampai satu jam sebelum peswat mendarat. Inneke akan kembali
bertugas, seperti pramugari lain. Ananta memelankan suara sebelum Inneke bangkit
berdiri.
"Hotelmu
masih yang dulu kan?" Tanya Ananta. Inneke menatap Ananta singkat,
tersenyum manis, mengangguk pelan lalu berlalu meninggalkannya.
Pesawat
mendarat sempurna. Hotel tempat Inneke menginap tak terlalu jauh dari
bandara. Aku ingin meminta maaf. Aku tidak bisa melanjutkan cerita ini. Waktu
menungguku. Dia sangat baik hati.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar