Siang
itu suhu Amsterdam mencapai 13°Celcius. Ananta tak sengaja terbang ke
Amsterdam. Sebelumnya dia menerima satu surel yang masuk. Surel itu datang dari
seorang wanita di Amsterdam. Tidak lain, surel itu datang dari wanita yang
telah lama mengendap di kepalanya. Seorang wanita yang pintar menciptakan luka
tanpa memberi obat penawar. Inneke bukanlah wanita yang mengirim Surel itu.
Inneke hanya sebagian dari beberapa wanita yang mengharapkan Ananta.
Surel
itu membuat jantungnya berdebar kencang. Sesuatu yang dia tunggu setelah
setahun lebih akhirnya datang. Tuhan menjawab doanya. Namanya Amanda, lembut
matanya benar-benar meluluhkan Ananta. Tatapannya selalu membuat Ananta merasa
penting, merasa menjadi satu-satunya pria yang pantas memiliki Amanda.
Tatapannya benar-benar meneduhkan hati. Manifesto wanita sempurna.
Inneke
menginap di YOTELAIR Amsterdam Schiphol. Hotel yang memang disediakan untuk
para pramugari beristirahat sembari menunggu penerbangan selanjutnya. Tapi,
bukan YOTELAIR yang akan didatangi Ananta. Anne Frank Huis menjadi destinasi
yang akan Ananta datangi. Anne Frank Huis adalah tempat persembunyian Anne
Frank dan keluarganya. Anne Frank adalah remaja kelahiran tahun 1929 yang
memiliki darah Jerman-Yahudi. Dia dan keluarganya bersembunyi dari Rezim
Nazi yang berusaha membunuh entis yahudi pada perang dunia kedua. Anne Frank
Huis kini menjadi musem dan salah satu destinasi wisata turis yang terkenal di
Amsterdam.
Amanda
sedang berlibur di Amsterdam. Sudah tiga hari dia disana. Amanda mengirimkan
surel pada Ananta untuk menemaninya sehari sebelum dia pulang, kembali ke
Indonesia. Amanda adalah wanita yang sejak lama membawa Ananta pada mimpi-mimpi
indah tidurnya. Tak ada yang mengetahui bahwa sebenarnya Ananta mencintai
Amanda, bahkan Inneke hanya dijadikan Ananta sebagai pelarian saat Amanda tak
memfokuskan diri padanya. Bukan hanya Inneke, Ananta membuat teman-teman
wanitanya berharap berlebihan padanya. Mengharapkan cinta dan kasih sayang
darinya. Inneke hanya satu dari banyaknya wanita yang terlihat dicintai Ananta.
Padahal, hanya Amanda yang menghuni hatinya, pikiran dan jiwanya. Ananta
terpaksa memperalat orang-orang seperti Inneke untuk merebut hati Amanda.
Terdengar
jahat, memang. Tapi, bukankah kita menjadi gila untuk orang yang kita cinta?
Melakukan apapun untuk membuatnya nyaman dan berada di pelukan. Cinta memang
jahat, cinta bisa mengubah manusia menjadi kesetanan. Ananta adalah contoh dari
orang-orang yang merasa terluka, padahal dialah yang telah melukai hati banyak
orang. Kita tahu, selalu ada konsekuensi bagi orang-orang yang bermain-main
dengan cinta.
Ananta
menunggu di depan Anne Frank Huis, diantara keramaian dan antrean turis-turis.
Menunggu adalah bagian dari hidupnya, soal ini dia tak pernah mengeluh.
Baginya, menunggu adalah seni mencintai. Orang-orang yang menunggu tahu betul
untuk apa mereka melakukan itu, untuk siapa dan mengapa mereka harus menunggu.
Bagi Ananta, Amanda adalah alasan besar baginya untuk menunggu bahkan sejak
setahun yang lalu.
Tak
lama Ananta menunggu. Kurang dari satu jam, matanya tertumbuk pada seorang
wanita dengan blus putih dan jeans biru muda yang sobek di bagian lutut. Sepatu
Oxford berwarna cokelat muda membuat senyum Ananta mengembang setelah
melihatnya.
“Ayo,”
Amanda tersenyum, menarik tangan Ananta.
“Looh,
mau kemana?? Kita kesini, kan??” Ananta menunjuk Anne Frank Huis.
“Udah
ikut aja,” Amanda menggandeng tangan Ananta.
Ananta
tersenyum, melirik genggaman tangan Amanda. Jari-jari mereka saling melengkapi.
Raut muka sumringah menghiasi langit-langit Amsterdam siang itu. Bahkan
dinginnya yang mencapai 13oC justru terasa hangat. Tak ada
percakapan selama perjalanan, Ananta tak pernah sedekat ini sebelumnya, dia tak
ingin merusak suasana.
Beberapa
menit jalan kaki, mereka berdua sampai pada satu rumah bergaya eropa dengan
pintu berwarna hitam dan lonceng natal yang masih menggantung di bagian tengah
daun pintu. Amanda melepas genggamannya, mengambil kunci pada saku kanan
celananya lalu membuka pintu. Belum selesai Ananta bertanya tentang rumah itu,
Amanda menarik tangan Ananta, lalu menutup pintu, menyandarkan tubuh Ananta
pada pintu—mencium bibirnya. Tangan Amanda meraih kunci, memutarnya, mengunci
pintu setelah dua kali tekanan.
Seperti
sepasang kekasih yang sudah lama tak bertemu. Ciuman itu terasa keras sama
sekali tak menggoda. Ananta mencoba menguasai suasana, mengubah ritme ciuman
Amanda yang terburu-buru. Ananta menciumnya lembut, tidak tergesa-gesa, Amanda
melingkarkan tangannya pada leher Ananta. Amanda memainkan bibirnya, menggigit
bibir Ananta. Lidah mereka saling memagut, bersentuhan dengan lembut. Amanda
melepas sepatunya dan melemparkannya sembarangan. Ananta membuka kancing blus
Amanda dengan cepat, tangan Amanda membuka resleting Ananta lalu masuk dan
mengelus lembut.
Amanda
menarik blus setelah Ananta membuka semua kancingnya. Ananta membuka Jas dan
menarik dasinya kasar. Ciuman itu masih berlangsung dan semakin keras. Kedua
tangan Ananta berusaha melepas kait bra putih yang dipakai Amanda. Setelah Bra
Amanda lepas, Ananta mengangkat tubuh Amanda, membuat kaki Amanda melingkar
pada pinggangya. Ananta menopang tubuh Amanda dari bawah, Amanda melingkarkan
tangannya pada leher Ananta, sekali lagi.
Ananta
membawa tubuh Amanda menuju sofa ruang tamu rumah itu. Membaringkan tubuh
Amanda pada sofa cokelat. Ananta melepas ciumannya, lalu mencium leher Amanda
lembut dan tak tergesa-gesa. Deru nafas Ananta membuat feromon Amanda naik dan
memuncak. Ciumannya terus menyusuri tubuh Amanda yang putih langsat, hingga
dada, Ananta menggigit puting Amanda, membuatnya merintih. Ananta bangkit,
melepas kemejanya, lalu kembali menyusuri tubuh Amanda, hingga perut dan pusar.
Tangannya melepas kancing jeans Amanda, lalu menurunkannya tepat pada lutut
Amanda. Mata Amanda terpejam, suaranya merintih saat bibir Ananta mulai
menyentuh rambut kemaluannya.
Satu
jam setelah kenikmatan itu. Mereka yang berbaring bersama di kagetkan oleh
suara ponsel masing-masing. Inneke mengirimkan pesan, berupa foto nomor
kamarnya. Ananta menghiraukan pesan itu. Menatap Amanda yang menerima panggilan
masuk dalam keadaan telanjang.
“Siapa??”
Suara Ananta pelan, menggoda.
“Pakai
bajumu,” Amanda melemparkan setelan jas Ananta.
“Aku
masih punya banyak waktu, sayang,” Ananta bangkit dari tidurnya, duduk,
memandangi Amanda yang mulai mengenakan bajunya.
“Ada
yang mau datang.”
“Siapa??”
“Cepat
pakai bajumu.”
Ananta
memakai setelan jasnya, rapi seperti semula. Lalu duduk santai, menyalakan TV.
Amanda membawakan satu gelas champagne untuk Ananta, duduk disampingnya. Seakan
teringat sesuatu, Amanda bangkit menuju pintu, membuka kunci lalu kembali duduk
disamping Ananta, melipat tangan di dada. Ananta mencoba menggoda Amanda,
menciumi lehernya. Tapi, Amanda menghindar.
Suara
hentak kaki terdengar, Amanda bangkit dan menuju pintu. Seorang pria bule
dengan jenggot yang lebat dengan topi fedora dan mantel cokelat yang menutupi
badan hingga ke lutut membuka pintu, memberi salam dalam bahasa Belanda. Pria
itu mencium bibir Amanda singkat. Ananta bisa melihatnya dari tempatnya duduk.
Ananta bangkit menyapa dalam perasaan bingung. Amanda dan pria itu berbicara
dalam bahasa belanda. Amanda memperkenalkan pria itu pada Ananta yang bersiap
menjabat tangan.
“Marco,”
Suara Pria itu berat dalam logat Belanda.
“Ananta.”
“Ini
suamiku, Nan,” Amanda tersenyum.
Tiba-tiba
Ananta merasa tuli, pendengarannya terganggu, ada suara-suara seperti siaran TV
tanpa antena—mengganggu telinganya. Ananta Tak bisa mendengar percakapan Marco
dan Amanda setelahnya. Mereka bertiga duduk dalam sofa yang sama. Ananta
melihat kemesraan antara Marco dan Amanda, meskipun matanya berusaha tertuju
pada siaran TV. Ananta tak mengerti pembicaraan mereka dalam bahasa Belanda.
Dalam
kecanggungan yang merajai tubuh Ananta. Dia memutuskan untuk berpamitan. Amanda
dan Marco menyambutnya antusias, tidak banyak bertanya alasan kenapa Ananta
buru- buru pergi. Lagi-lagi Ananta merasa bingung. 130C di Amsterdam
jadi terasa dingin. Tak ada lagi kehangatan dari Amanda. Suhu benar-benar
membuat Ananta membeku—dingin. Ananta berjalan kaki menuju Anne Frank Huis,
sesampainya disana Ananta menaiki taksi yang kebetulan lewat, pergi menuju
Bandara.
Di
ruang tunggu bandara rindu bercecarn jatuh, Tangis Ananta tak terlihat. Tapi,
hatinya terpukul. Ananta berulang kali memukul kepalanya, merasa bodoh dan
dibodohi. Pikirannya kacau. Berulang kali dia melihat ponselnya, mengecek
aplikasi keberangkatan pesawat. Tak ada jadwal pesawat menuju Indonesia hari
ini. Ananta semakin kacau-balau. Sekali lagi, Amsterdam memberikan luka yang
sama persis satu tahun yang lalu. Ananta ingin cepat pulang. Jiwanya tak
benar-benar berada bersamanya.
Sekali
lagi dia melihat ponselnya, Ananta teringat sesuatu. Segera dia bergegas menuju
YOTELAIR Amsterdam Schiphol. Hotel tempat Inneke menginap. Bertanya nomor kamar
119 pada resepsonis. Ananta menuju lift setelah mendapatkan informasi letak
kamar. Jantungnya berdebar mencari nomor kamar. Sampai langkahnya terhenti
melihat satu pintu bertuliskan angka 119 dengan lubang intip di bagian
bawahnya, pintu berwarna cokelat itu terasa seperti pintu rumahnya. Ananta
mengatur nafas sebelum mengetuk pintu. Tangan kanannya mulai menggenggam,
hampir menyentuh daun pintu. Belum juga Ananta mengetuk, pintu itu pelan
terbuka.
Inneke
menatap Ananta, dalam jeda itu kedua mata mereka bertemu. Nafas Ananta mulai
terkendali, Senyum Inneke mengembang, satu matanya berkedip, dengan cepat Inneke
menarik tangan Ananta lalu menutup pintu.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar