Tuesday, February 7, 2023

Bagian 1: Meluruh.


 

Ia menatap lekat ponselnya, kulihat bayangan memantul di kacamata bundar kecokelatan. Ada yang ia takutkan. Ada yang ia tanggung. Seperti sebuah mangga yang siap dipetik, ada banyak pertanyaan menggantung di kepala, namun senyum canggung terlanjur mengakhiri peperangan di jari-jemarinya.

“Entah,” ia memegang gelas kopi yang tinggal setengah, “aku juga ga tahu,” sedotan menempel di bibirnya. Satu seruput lagi.

“Aku tahu apa yang bakal terjadi.”

“Aku ga tertarik. Simpan aja buat kamu.”

“Okay…” ya barangkali satu kesempatan itu tak ia pakai. Kesempatan untuk melihat apa yang akan terjadi di hidupnya dalam lima tahun kedepan. Aku justru jadi penasaran, masalah besar apa yang sedang ia hadapi, sampai membuatnya tak berhasrat pada banyak hal.

Setelah satu kejadian membingungkan satu tahun lalu, aku seperti mendapatkan sebuah kado paling penting sekaligus mematikan. Ya kau tahu, alam semesta bekerja dengan caranya sendiri, aku bisa melihat apa yang terjadi pada seseorang dalam lima tahun ke depan hanya dengan menatap dalam matanya. Dan untuk Sarah, seseorang yang duduk di depanku saat ini, aku bahkan takut untuk mengakuinya.

Pagi tadi, ia sudah berada di depan pintu rumahku, menggedor keras, seperti samsak tinju, atau barangkali ia membayangkan mantan terakhirnya. Dengan setelah running ia bermaksud mengajakku, meski sejak awal aku tahu, niatnya  bukan untuk itu. Sarah tak ingin mengetahui apa yang kulihat. Tapi dia penasaran. Ia memilih untuk mengetahuinya sedikit-demi-sedikit.

Kau mungkin sama denganku, membaca orang adalah keahlianmu. Bahkan hanya dengan satu gestur, kau tahu apa yang sedang terjadi, atau yang akan terjadi nanti. Sarah memahami kemampuanku dengan baik, lantas setiap kali kami bertemu ia menyamarkan perasaannya, ia tak suka aku benar menebak tentang kondisinya. Perasannya. Aku pun tak berusaha mendorongnya untuk terus terang.

Cerita ini dimulai dari akhir yang sudah aku ketahui. Hati Sarah luruh sekali lagi, pada seorang pria yang tahun lalu—sebelum kejadian membingungkan di tahun baru, sudah ia selesaikan. Masalah pelik, benang kusut. Seperti perputaran jarum dalam jam dinding. Sarah hanya mengulang kejadian yang sama, cerita yang sama. Rasanya ingin kuledakkan kepalanya, teriak di depan wajahnya.

Kau akan kembali pada permulaan yang sama. Jadi tidak pernah ada bedanya. Sama sekali.

“So, dia ngasih cincin.”

Langkahku terhenti. Aku belum melihat yang satu itu.

“Ngelamar?”

“Cuma ngasih cincin, bukan cincin lamaran,” Sarah tahu ada yang tak beres, ia melihat wajah datar penuh bingung.

“Aku belum lihat yang satu itu.”

“Serius? Aku pikir kamu udah lihat semuanya?”

“I think so…”

“Coba tatap mataku lagi,” Sarah meminta, ia mendekat. Pelan-pelan kutatap matanya, aku tak pernah suka momen ini. Aku tak pernah tahu apakah hal buruk atau baik yang ada di dalam sana. Apa yang akan aku lihat, namun dengan Sarah, ada getar di tubuhku. Ada debar tak normal.

Sarah adalah penggoda, aku tak perlu dia melebarkan senyumnya seperti itu saat ia menatapku. Sarah tahu itu kelemahanku, dan Sarah tahu aku tak akan melakukan apa-apa, membuatnya lebih leluasa. Aku bisa saja berlagak seperti Jesse Wallace dalam Before Sunrise, spontan, dan melakukan semuanya seperti di film-film—pelan-pelan mendekat ke bibirnya, menciumnya perlahan, menyentuh lehernya. Dan mengakhiri pagi itu dengan basah di bibir. Tapi Sarah tetaplah Sarah, itu tak akan terjadi. Dia hanya suka melihat orang tergoda. Titik.

“Masih sama.”

“Jadi?”

Aku hanya mengangkat bahu, mencoba mencerna semuanya. Kami melanjutkan olahraga kami, Sarah hanya berjalan, duduk menungguku di sebuah bangku yang menghadap langsung ke danau luas di tengah trek lari. Botol airnya sudah habis lebih banyak dari yang kubawa. Dari kejauhan kulihat dirinya fokus pada ponsel, senyum menghiasi bibirnya. Tapi aku tahu itu pria yang berbeda.

“Gaya apa lagi yang kamu eksplore?” tanyaku persis di depannya, ia buru-buru mengunci ponselnya. Kuraih botol minumku, membuka tutup—menatap Sarah. Ia belum menjawab sampai kuminum air lemon dalam botol itu.

“It’s obvious, sar.”

“Dan kamu tahu siapa?”

Sarah terdiam, aku mengangguk.

“Yuk cari makan!” Sarah bangkit dari kursinya, langkahnya cepat—ia malu. Harus balik menggoda untuk melawan penggoda.

“Aku juga udah lihat yang satu itu,” ucapku mengiringi langkahnya.

“Stop it,” pipi Sarah memerah.

“Detail…”

“Ha?” Langkah Sarah terhenti, dia melihat orang-orang sekitar, seperti sedang merangkum informasi paling rahasia, ia setengah berbisik. “Are fucking serious?”

Aku hanya mengangguk, lalu melempar senyum… Sarah? Melanjutkan langkahnya yang buru-buru.

Kadang kupikir, orang-orang yang hanya ingin ditemani adalah manusia paling buruk dan membosankan di dunia ini. Mereka tak punya niat untuk mengenalmu, tak punya niat untuk menjadikanmu teman—apalagi teman dekat. Dia sama sekali tak berhasrat membangun bonding—hal paling penting antar dua manusia.

Hanya kebetulan saja, di antara orang yang selalu pergi dan menemaninya, hanya aku yang tersedia. Dia mencari siapapun di luar pertemanan yang sudah dibentuknya—yang saat itu barangkali sedang sibuk-sibuknya—siapapun, tak penting dia orang dari mana, hanya untuk menemaninya, karena ia tentu tidak bisa dan tidak berani sendirian. Mereka lemah jika harus sendirian.

Sarah tak begitu. Ya meskipun dulu dia adalah salah satu manusia itu. Kami banyak membagi cerita dan pikiran masing-masing, jadi kupikir hidupku akan baik-baik saja saat aku memiliki seseorang yang mau menerima dan menampung hal-hal buruk dariku, hal-hal aneh paling privat, atau hal-hal yang tak biasa dibicarakan.

Meskipun aku tahu, aku tak akan punya kesempatan. Namun untuk saat ini, aku bersyukur. Setiap hari. Sarah ada di sana. Dengan segala sifat buruknya.

“Ada yang harus aku omongin.”

“Apa?”

“Aku gak bisa lihat apa yang bakal terjadi sama aku lima tahun ke depan.”

“Maksudnya?”

“Semalem aku ngaca, aku penasaran aja, aku ngelihat mataku sendiri. Technically sama kayak aku ngebaca kamu, atau yang lain.”

“Tapi di depan cermin?”

“Iya.”

“Terus?”

“Aku cuma bisa lihat kehidupanku tiga tahun lagi.”

“Kiamat?” Sarah dengan satu sifatnya. Lebay.

“Atau mungkin kematianku sendiri.”

“Jangan bilang gitu…”

“I know, tapi aku penasaran, kenapa cuma sampai di tahun ketiga.”

“Emang apa yang kamu lihat?”

Aku memeluk Sarah. Tak menjawab apapun. Ia pun tak memaksaku, hanya membalas pelukan itu. Sesuatu yang selalu kami lakukan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar