Ia menatap lekat ponselnya, kulihat
bayangan memantul di kacamata bundar kecokelatan. Ada yang ia takutkan. Ada
yang ia tanggung. Seperti sebuah mangga yang siap dipetik, ada banyak
pertanyaan menggantung di kepala, namun senyum canggung terlanjur mengakhiri
peperangan di jari-jemarinya.
“Entah,” ia memegang gelas kopi yang
tinggal setengah, “aku juga ga tahu,” sedotan menempel di bibirnya. Satu
seruput lagi.
“Aku tahu apa yang bakal terjadi.”
“Aku ga tertarik. Simpan aja buat
kamu.”
“Okay…” ya barangkali satu kesempatan
itu tak ia pakai. Kesempatan untuk melihat apa yang akan terjadi di hidupnya
dalam lima tahun kedepan. Aku justru jadi penasaran, masalah besar apa yang
sedang ia hadapi, sampai membuatnya tak berhasrat pada banyak hal.
Setelah satu kejadian membingungkan
satu tahun lalu, aku seperti mendapatkan sebuah kado paling penting sekaligus
mematikan. Ya kau tahu, alam semesta bekerja dengan caranya sendiri, aku bisa
melihat apa yang terjadi pada seseorang dalam lima tahun ke depan hanya dengan
menatap dalam matanya. Dan untuk Sarah, seseorang yang duduk di depanku saat
ini, aku bahkan takut untuk mengakuinya.
Pagi tadi, ia sudah berada di depan
pintu rumahku, menggedor keras, seperti samsak tinju, atau barangkali ia
membayangkan mantan terakhirnya. Dengan setelah running ia bermaksud
mengajakku, meski sejak awal aku tahu, niatnya bukan untuk itu. Sarah tak ingin mengetahui
apa yang kulihat. Tapi dia penasaran. Ia memilih untuk mengetahuinya
sedikit-demi-sedikit.
Kau mungkin sama denganku, membaca
orang adalah keahlianmu. Bahkan hanya dengan satu gestur, kau tahu apa yang
sedang terjadi, atau yang akan terjadi nanti. Sarah memahami kemampuanku dengan
baik, lantas setiap kali kami bertemu ia menyamarkan perasaannya, ia tak suka
aku benar menebak tentang kondisinya. Perasannya. Aku pun tak berusaha
mendorongnya untuk terus terang.
Cerita ini dimulai dari akhir yang
sudah aku ketahui. Hati Sarah luruh sekali lagi, pada seorang pria yang tahun
lalu—sebelum kejadian membingungkan di tahun baru, sudah ia selesaikan. Masalah
pelik, benang kusut. Seperti perputaran jarum dalam jam dinding. Sarah hanya
mengulang kejadian yang sama, cerita yang sama. Rasanya ingin kuledakkan
kepalanya, teriak di depan wajahnya.
Kau akan kembali pada permulaan yang
sama. Jadi tidak pernah ada bedanya. Sama sekali.
“So, dia ngasih cincin.”
Langkahku terhenti. Aku belum melihat
yang satu itu.
“Ngelamar?”
“Cuma ngasih cincin, bukan cincin
lamaran,” Sarah tahu ada yang tak beres, ia melihat wajah datar penuh bingung.
“Aku belum lihat yang satu itu.”
“Serius? Aku pikir kamu udah lihat
semuanya?”
“I think so…”
“Coba tatap mataku lagi,” Sarah
meminta, ia mendekat. Pelan-pelan kutatap matanya, aku tak pernah suka momen
ini. Aku tak pernah tahu apakah hal buruk atau baik yang ada di dalam sana. Apa
yang akan aku lihat, namun dengan Sarah, ada getar di tubuhku. Ada debar tak
normal.
Sarah adalah penggoda, aku tak perlu
dia melebarkan senyumnya seperti itu saat ia menatapku. Sarah tahu itu
kelemahanku, dan Sarah tahu aku tak akan melakukan apa-apa, membuatnya lebih
leluasa. Aku bisa saja berlagak seperti Jesse Wallace dalam Before Sunrise,
spontan, dan melakukan semuanya seperti di film-film—pelan-pelan mendekat ke
bibirnya, menciumnya perlahan, menyentuh lehernya. Dan mengakhiri pagi itu
dengan basah di bibir. Tapi Sarah tetaplah Sarah, itu tak akan terjadi. Dia
hanya suka melihat orang tergoda. Titik.
“Masih sama.”
“Jadi?”
Aku hanya mengangkat bahu, mencoba
mencerna semuanya. Kami melanjutkan olahraga kami, Sarah hanya berjalan, duduk
menungguku di sebuah bangku yang menghadap langsung ke danau luas di tengah
trek lari. Botol airnya sudah habis lebih banyak dari yang kubawa. Dari
kejauhan kulihat dirinya fokus pada ponsel, senyum menghiasi bibirnya. Tapi aku
tahu itu pria yang berbeda.
“Gaya apa lagi yang kamu eksplore?”
tanyaku persis di depannya, ia buru-buru mengunci ponselnya. Kuraih botol
minumku, membuka tutup—menatap Sarah. Ia belum menjawab sampai kuminum air
lemon dalam botol itu.
“It’s obvious, sar.”
“Dan kamu tahu siapa?”
Sarah terdiam, aku mengangguk.
“Yuk cari makan!” Sarah bangkit dari
kursinya, langkahnya cepat—ia malu. Harus balik menggoda untuk melawan
penggoda.
“Aku juga udah lihat yang satu itu,”
ucapku mengiringi langkahnya.
“Stop it,” pipi Sarah memerah.
“Detail…”
“Ha?” Langkah Sarah terhenti, dia
melihat orang-orang sekitar, seperti sedang merangkum informasi paling rahasia,
ia setengah berbisik. “Are fucking serious?”
Aku hanya mengangguk, lalu melempar
senyum… Sarah? Melanjutkan langkahnya yang buru-buru.
Kadang kupikir, orang-orang yang
hanya ingin ditemani adalah manusia paling buruk dan membosankan di dunia ini.
Mereka tak punya niat untuk mengenalmu, tak punya niat untuk menjadikanmu
teman—apalagi teman dekat. Dia sama sekali tak berhasrat membangun bonding—hal
paling penting antar dua manusia.
Hanya kebetulan saja, di antara orang
yang selalu pergi dan menemaninya, hanya aku yang tersedia. Dia mencari
siapapun di luar pertemanan yang sudah dibentuknya—yang saat itu barangkali
sedang sibuk-sibuknya—siapapun, tak penting dia orang dari mana, hanya untuk
menemaninya, karena ia tentu tidak bisa dan tidak berani sendirian. Mereka
lemah jika harus sendirian.
Sarah tak begitu. Ya meskipun dulu
dia adalah salah satu manusia itu. Kami banyak membagi cerita dan pikiran
masing-masing, jadi kupikir hidupku akan baik-baik saja saat aku memiliki
seseorang yang mau menerima dan menampung hal-hal buruk dariku, hal-hal aneh
paling privat, atau hal-hal yang tak biasa dibicarakan.
Meskipun aku tahu, aku tak akan punya
kesempatan. Namun untuk saat ini, aku bersyukur. Setiap hari. Sarah ada di
sana. Dengan segala sifat buruknya.
“Ada yang harus aku omongin.”
“Apa?”
“Aku gak bisa lihat apa yang bakal
terjadi sama aku lima tahun ke depan.”
“Maksudnya?”
“Semalem aku ngaca, aku penasaran
aja, aku ngelihat mataku sendiri. Technically sama kayak aku ngebaca kamu, atau
yang lain.”
“Tapi di depan cermin?”
“Iya.”
“Terus?”
“Aku cuma bisa lihat kehidupanku tiga
tahun lagi.”
“Kiamat?” Sarah dengan satu sifatnya.
Lebay.
“Atau mungkin kematianku sendiri.”
“Jangan bilang gitu…”
“I know, tapi aku penasaran, kenapa
cuma sampai di tahun ketiga.”
“Emang apa yang kamu lihat?”
Aku memeluk Sarah. Tak menjawab
apapun. Ia pun tak memaksaku, hanya membalas pelukan itu. Sesuatu yang selalu
kami lakukan.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar