Sunday, January 14, 2018

Recitativo #8


Akhir-akhir ini ada dua gejala yang sedang menjangkiti masyarakat kita, barangkali kita sering menemukan seseorang di sosial media yang postingannya mengarah ke satu subjek pembicaraan yaitu bunuh diri. Yang kedua para wanita muda yang buru-buru ingin menikah. Seolah memang hanya itu yang mereka inginkan. Dua hal ini jika dianalisis lebih jauh punya satu alasan yang menguatkan argumen kenapa dua gejala itu ada. Yaitu: Ketidakmampuan manusia untuk menjalani hidup yang serba tidak pasti.

Mereka lebih tepatnya merasakan ketidaknyamanan di kehidupannya sehari-hari, mungkin karena lingkungan atau barangkali karena dirinya sendiri yang menolak untuk “bergabung” dengan subjek sosial. Padahal merasa tidak nyaman bukan berarti harus mengorbankan dirinya, terlebih lagi jika membenarkan bunuh diri sebagai bentuk pelepasan tubuh pada alam semesta. Bahwa mati bukanlah kehampaan, mati bukanlah lepas dari segala yang ada di alam semesta.

Ketidakmampuan manusia untuk menangkap simbol atau tanda-tanda dari semesta raya menyebabkan pandangan mereka seputar dunia hanya sebatas hitam dan putih, pola pikir yang melulu dari A ke B. Bahwa alam raya adalah ketidakteraturan yang teratur. Sesuatu yang kita anggap tidak teratur dan tidak memiliki pola sebetulnya memiliki keduanya, hanya kita sebagai manusia seiring berkembangnya teknologi rasanya sering mudah menyerah untuk mengampangkan segala hal dan tidak lagi mau ambil pusing.

Ernst Cassirer mengumandangkan kredo bahwa manusia adalah 'binatang simbolik' (animal symbolicum). Dunia manusia adalah dunia yang diciptakan melalui bentuk-bentuk simbolik pemikiran manusia yang bisa kita temukan pada bahasa, filsafat, pendidikan, sains, pakaian, seni, dan/atau apa pun yang bertungkus lumus dengan manusia.

Kecerdasan semiotik erat kaitannya dengan pendidikan, dan pendidikan (seharusnya) erat kaitannya dengan pengalaman yang dialami sehari-hari. Manusia tanpa pengalaman hanya akan menjadi benda yang tak memiliki rasa sekalipun jiwa. Filsafat sekalipun adalah tentang pengalaman; bagaimana kita mampu menangkap “tanda” dari semesta raya. Sedangkan ilmu filsafat sebetulnya hanya sebatas pengantar kepada filsafat sesungguhnya. Ia mengantarkan kita pada pintu yang tertutup, untuk membukanya menjadi tugas kita (dengan pengalaman).

Sayangnya pendidikan kita kini menciptakan manusia dengan pola pikir dari A ke B, padahal untuk menganalisis suatu perkara perlu banyak subjek yang harus diteliti untuk mencapai kesimpulan purna. Pola pikir ini lah yang menjadi sebab kenapa belakangan ini Hoaks berkembang secara membabi buta, ketidakmampuan manusia untuk berpikir secara holistik menyebabkan jatuhnya banyak korban, yang dalam hal ini kita sebuat otak dan pikiran manusia.

Manusia hanya perlu rileks untuk menghadapi realita hidup yang memang terus bergulir. Tidak semuanya harus ditanggapi dengan keparnoan tingkat tinggi, barangkali keparnoan-keparnoan ini juga berasal dari ketidakmampuan orang untuk berpikir menyeluruh. Mereka hanya memandang dunia sebatas hitam dan putih. Bahwa suatu permasalahan pasti hanya punya satu jawaban, padahal tidak bisa langsung dikatakan seperti itu.


Dunia yang mulai sekarat ini menuntut kita untuk tetap menjadi waras. Dan untuk menjadi waras barangkali kuncinya hanya satu; Memahami manusia (sebagai subjek sosial yang perlu ditolong). 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar