Pagiku
menjadi candu. Semalam aku memimpikan Rain... Lagi. Setelah kejadian di Dam
Square. Tidak kuduga Rain sangat berani. Untuk seorang yang tampak tertutup—introvert
Rain sangat berani menyapaku, menjabat tanganku pagi itu. Aku tidak tahu
secepat apa jantungnya berdetak saat itu, yang pasti jantungku terasa mau
copot, permukaan tangannya yang halus membuatku kehilangan kendali, Sean
melihat pipiku yang memerah pagi itu. Aku malu, kalau Sean melihat salah
tingkahku pasti Rain juga melihatnya dengan jelas.
Kejadian
kemarin membuatku mengerti sisi Rain yang selama ini tidak terlihat, sisi yang
tertutup oleh personanya yang kharismatik, Rain punya selera humor yang sama
denganku. Lelucon yang dia keluarkan pagi itu membuatku merasa bahagia, sudah
lama sekali aku tidak tersenyum dihadapan seorang pria sejak kejadian di Tropea
Beach. Kejadian itu membuatku harus menjaga jarak dengan semua pria yang
mendekatiku, termasuk Rain. Tapi, pagi itu merubah semuanya. Aku yakin Rain
benar-benar mencintaiku. Atau setidaknya dia memang benar-benar ingin
memperjuanganku.
Pagi
itu, ketika aku dan Sean akan pulang, Rain mengucapkan hal yang membuatku
bergetar. Dia mengajakku kencan, sesuatu yang sangat disukai kebanyakan
perempuan, ketika seorang pria berani mengucapkannya langsung tepat di depan
mata, itu tanda bahwa ada sesuatu yang mengganggu si pria dan ingin dia
selesaikan. Butuh keberanian untuk seorang pria berbicara langsung pada seorang
wanita yang belum menjadi apa-apa dalam hidupnya, apalagi ajakannya pagi itu
membuatku terasa tenang, aku bisa merasakan ketulusannya, senyumnya membuatku
merasa nyaman, tatapannya meneduhkanku. Aku tidak menolak ajakannya, aku yakin malam
ini akan menjadi malam terindahku, atau setidaknya akan menjadi malam yang tak
terlupakan.
Aku
masih tertahan di kasurku, di balik selimut putih yang selalu menemaniku setiap
malam. Pagi ini, aku akan mengantarkan ibuku ke bandara, Sean akan menemaniku.
Ibu akan pulang ke Indonesia bersama saudara yang kebetulan sedang berada di
Belanda setelah dua minggu berlibur di Praha. Alzheimer benar-benar membuat ibu
lupa siapa aku. Anna Paulowna sudah tidak seindah dulu. Hamparan sawah tulip
tidak bisa menutupi kesedihanku atas apa yang terjadi pada ibu. Seakan dunia
menjadi hitam-putih ketika seseorang yang kita sayangi tidak lagi mengenal
kita. Hidup terasa sepi—sendiri tanpa cahaya yang biasanya menyinari jiwa
seorang anak.
“Sean,
bangun. Jangan lupa temani aku ke bandara.” Aku mengirimkan pesan untuk Sean,
lalu bergegas untuk mandi dan bersiap-siap. Aku mengecek ponselku, memastikan
Sean membalas pesanku.
“Aku
ajak Rain ya, biar sekalian ada tumpangan ke Bandara” Balas Sean.
“Oke,
ibu udah di Bandara, langsung ke sana aja, nggak perlu ke Anna Paulowna.”
“Oke,
aku otw ke tempatmu. Bareng Rain.”
“Aku
tunggu.”
Sean
memang selalu bisa membuatku tersenyum, sahabat terbaik di hidupku. Mengajak
Rain bukan hal yang perlu dirisaukan seperti sebelumnya, apalagi setelah
kejadian di Dam Square pagi kemarin. Ini akan menjadi pagi yang seru—bersama Rain
dan Sean.
Secangkir
kopi, pagi yang cerah di Belanda dan perasaan risau karena sebentar lagi aku
akan tinggal tanpa keluarga di Amsterdam, menjadi bumbu pagiku. Terhitung sudah
dua hari Ran Fleuriste dan Queens Of Sean tutup, aku rindu memakai celemek
bergambar tulip merah, aku rindu berdiri di balik meja kasir, aku rindu roti
buatan Sean untuk sarapanku yang aku makan di bawah meja kasir. Aku juga akan merindukan
ibu setelah ini.
Bunyi
klakson mobil menggema hingga ke telingaku, Rain dan Sean sudah sampai di
depan. Tidak biasanya Rain mengendarai Audi. Aku tersenyum, melambaikan tangan—membalas
Rain. Sean ada di kursi belakang. Pertanda bahwa Sean ingin aku duduk di
samping Rain. Aku membuka pintu depan.
“Hai,
Rain—Hai Sean” Aku menutup pintu mobil.
“Pagi
Ranum” Balas Sean, Rain hanya tersenyum lalu menginjak Gas.
“Kamu
pasti rindu ini” Sean memberikanku roti buatannya.
“Wah,
Sean... Makasih yaa, udah tiga hari nggak makan roti sialan ini” Rain dan Sean
tertawa.
“Tadi
mampir dulu ke tokonya Sean, kata Sean kamu paling suka roti itu” Kata Rain.
“Suka,
suka banget. Nih... Tangan orang ini nih yang bikin roti ini jadi enak banget”
“Seenak
apa sih. Aku belum pernah tahu rasanya” Kata Rain sambil menatapku.
“Kamu
mau?”
“Boleh.”
“Nih. Aku
suapin.”
“Ciee,
kalian ini, bikin cemburu” Celetuk Sean.
“Hmm...”
“Gimana?”
Tanyaku.
“Kamu
nggak salah kalo bilang rotinya Sean enak.”
“Iyakan
bener. Mau lagi?”
“Boleh
banget.”
“Ranum
modus!” Celetuk Sean.
“Sini,
aku suapin.”
“Aaakkk,
Hmm...”
“Eh,
itu belepotan gula putihnya.”
“Mana?”
Rain melihatnya dari cermin mobil yang ada di atas kepalanya.
“Ini
looh” Aku membersihkan gula putih yang menempel di bagian kiri bibir Rain.
“Aahh...
Kalian ini” Celetuk Sean—Kami tertawa.
Kami
sampai bandara, Ibu duduk disamping paman Ello. Pesawat setengah jam lagi akan
berangkat. Aku memeluk paman, menayakan kabar dan memberi salam pada ibu—memeluknya
dan mencium pipinya. Ibu bingung menanyakan pada paman siapa diriku. Paman
tidak menjawab, paman langsung berpamitan untuk mengalihkan perhatian ibu. Aku
menjabat tangan dan memeluk ibu sekali lagi. Meminta paman untuk menjaga ibu
dan mengirimkan salam untuk keluarga di Indonesia.
“Well...
jangan nangis, Ranum” Sean membasuh air mataku dengan jemarinya. “Masih ada aku
sama Rain.” Sean menyentuh kedua pipiku—tersenyum menatapku.
“Ayo,
pulang” Ajak Rain. Sean berada sedikit dibelakangku.
Rain
menyentuh tanganku—menggenggam tanganku, jari-jarinya mengisi sela-sela jariku.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tubuhku bergetar, aku merasa
tenang dan nyaman.
“Ranum,
selalu ada kesedihan, duka dan airmata. Ingat, tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkan
ketiganya. Perpisahan adalah sebuah misteri yang tak terpecahkan, beberapa
orang masuk ke kehidupan kita, beberapa yang lainnya pergi begitu saja tanpa
alasan. Tapi, pasti ada seseorang yang berniat untuk jadi bagian
hidup kita. Tak ada yang bertahan selamanya, Ranum. Kecuali rasa sakit karena
kita kehilangan seseorang yang kita cinta.”
“Thanks,
Rain” Aku tersenyum menatap Rain—Rain membalasnya.
“Jangan
lupa nanti malam yaa...”
“Nggak
akan lupa” Aku semakin erat menggenggam tanganya.
“Ciee,
kalian...” Celetuk Sean.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar