Sunday, February 14, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 8


Pagiku menjadi candu. Semalam aku memimpikan Rain... Lagi. Setelah kejadian di Dam Square. Tidak kuduga Rain sangat berani. Untuk seorang yang tampak tertutup—introvert Rain sangat berani menyapaku, menjabat tanganku pagi itu. Aku tidak tahu secepat apa jantungnya berdetak saat itu, yang pasti jantungku terasa mau copot, permukaan tangannya yang halus membuatku kehilangan kendali, Sean melihat pipiku yang memerah pagi itu. Aku malu, kalau Sean melihat salah tingkahku pasti Rain juga melihatnya dengan jelas.

Kejadian kemarin membuatku mengerti sisi Rain yang selama ini tidak terlihat, sisi yang tertutup oleh personanya yang kharismatik, Rain punya selera humor yang sama denganku. Lelucon yang dia keluarkan pagi itu membuatku merasa bahagia, sudah lama sekali aku tidak tersenyum dihadapan seorang pria sejak kejadian di Tropea Beach. Kejadian itu membuatku harus menjaga jarak dengan semua pria yang mendekatiku, termasuk Rain. Tapi, pagi itu merubah semuanya. Aku yakin Rain benar-benar mencintaiku. Atau setidaknya dia memang benar-benar ingin memperjuanganku.

Pagi itu, ketika aku dan Sean akan pulang, Rain mengucapkan hal yang membuatku bergetar. Dia mengajakku kencan, sesuatu yang sangat disukai kebanyakan perempuan, ketika seorang pria berani mengucapkannya langsung tepat di depan mata, itu tanda bahwa ada sesuatu yang mengganggu si pria dan ingin dia selesaikan. Butuh keberanian untuk seorang pria berbicara langsung pada seorang wanita yang belum menjadi apa-apa dalam hidupnya, apalagi ajakannya pagi itu membuatku terasa tenang, aku bisa merasakan ketulusannya, senyumnya membuatku merasa nyaman, tatapannya meneduhkanku. Aku tidak menolak ajakannya, aku yakin malam ini akan menjadi malam terindahku, atau setidaknya akan menjadi malam yang tak terlupakan.

Aku masih tertahan di kasurku, di balik selimut putih yang selalu menemaniku setiap malam. Pagi ini, aku akan mengantarkan ibuku ke bandara, Sean akan menemaniku. Ibu akan pulang ke Indonesia bersama saudara yang kebetulan sedang berada di Belanda setelah dua minggu berlibur di Praha. Alzheimer benar-benar membuat ibu lupa siapa aku. Anna Paulowna sudah tidak seindah dulu. Hamparan sawah tulip tidak bisa menutupi kesedihanku atas apa yang terjadi pada ibu. Seakan dunia menjadi hitam-putih ketika seseorang yang kita sayangi tidak lagi mengenal kita. Hidup terasa sepi—sendiri tanpa cahaya yang biasanya menyinari jiwa seorang anak.

“Sean, bangun. Jangan lupa temani aku ke bandara.” Aku mengirimkan pesan untuk Sean, lalu bergegas untuk mandi dan bersiap-siap. Aku mengecek ponselku, memastikan Sean membalas pesanku.

“Aku ajak Rain ya, biar sekalian ada tumpangan ke Bandara” Balas Sean.

“Oke, ibu udah di Bandara, langsung ke sana aja, nggak perlu ke Anna Paulowna.”

“Oke, aku otw ke tempatmu. Bareng Rain.”

“Aku tunggu.”

Sean memang selalu bisa membuatku tersenyum, sahabat terbaik di hidupku. Mengajak Rain bukan hal yang perlu dirisaukan seperti sebelumnya, apalagi setelah kejadian di Dam Square pagi kemarin. Ini akan menjadi pagi yang seru—bersama Rain dan Sean.

Secangkir kopi, pagi yang cerah di Belanda dan perasaan risau karena sebentar lagi aku akan tinggal tanpa keluarga di Amsterdam, menjadi bumbu pagiku. Terhitung sudah dua hari Ran Fleuriste dan Queens Of Sean tutup, aku rindu memakai celemek bergambar tulip merah, aku rindu berdiri di balik meja kasir, aku rindu roti buatan Sean untuk sarapanku yang aku makan di bawah meja kasir. Aku juga akan merindukan ibu setelah ini.

Bunyi klakson mobil menggema hingga ke telingaku, Rain dan Sean sudah sampai di depan. Tidak biasanya Rain mengendarai Audi. Aku tersenyum, melambaikan tangan—membalas Rain. Sean ada di kursi belakang. Pertanda bahwa Sean ingin aku duduk di samping Rain. Aku membuka pintu depan.

“Hai, Rain—Hai Sean” Aku menutup pintu mobil.

“Pagi Ranum” Balas Sean, Rain hanya tersenyum lalu menginjak Gas.

“Kamu pasti rindu ini” Sean memberikanku roti buatannya.

“Wah, Sean... Makasih yaa, udah tiga hari nggak makan roti sialan ini” Rain dan Sean tertawa.

“Tadi mampir dulu ke tokonya Sean, kata Sean kamu paling suka roti itu” Kata Rain.

“Suka, suka banget. Nih... Tangan orang ini nih yang bikin roti ini jadi enak banget”

“Seenak apa sih. Aku belum pernah tahu rasanya” Kata Rain sambil menatapku.

“Kamu mau?”

“Boleh.”

“Nih. Aku suapin.”

“Ciee, kalian ini, bikin cemburu” Celetuk Sean.

“Hmm...”

“Gimana?” Tanyaku.

“Kamu nggak salah kalo bilang rotinya Sean enak.”

“Iyakan bener. Mau lagi?”

“Boleh banget.”

“Ranum modus!” Celetuk Sean.

“Sini, aku suapin.”

“Aaakkk, Hmm...”

“Eh, itu belepotan gula putihnya.”

“Mana?” Rain melihatnya dari cermin mobil yang ada di atas kepalanya.

“Ini looh” Aku membersihkan gula putih yang menempel di bagian kiri bibir Rain.

“Aahh... Kalian ini” Celetuk Sean—Kami tertawa.

Kami sampai bandara, Ibu duduk disamping paman Ello. Pesawat setengah jam lagi akan berangkat. Aku memeluk paman, menayakan kabar dan memberi salam pada ibu—memeluknya dan mencium pipinya. Ibu bingung menanyakan pada paman siapa diriku. Paman tidak menjawab, paman langsung berpamitan untuk mengalihkan perhatian ibu. Aku menjabat tangan dan memeluk ibu sekali lagi. Meminta paman untuk menjaga ibu dan mengirimkan salam untuk keluarga di Indonesia.

“Well... jangan nangis, Ranum” Sean membasuh air mataku dengan jemarinya. “Masih ada aku sama Rain.” Sean menyentuh kedua pipiku—tersenyum menatapku.

“Ayo, pulang” Ajak Rain. Sean berada sedikit dibelakangku.

Rain menyentuh tanganku—menggenggam tanganku, jari-jarinya mengisi sela-sela jariku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tubuhku bergetar, aku merasa tenang dan nyaman.

“Ranum, selalu ada kesedihan, duka dan airmata. Ingat, tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkan ketiganya. Perpisahan adalah sebuah misteri yang tak terpecahkan, beberapa orang masuk ke kehidupan kita, beberapa yang lainnya pergi begitu saja tanpa alasan. Tapi, pasti ada seseorang yang berniat untuk jadi bagian hidup kita. Tak ada yang bertahan selamanya, Ranum. Kecuali rasa sakit karena kita kehilangan seseorang yang kita cinta.”

“Thanks, Rain” Aku tersenyum menatap Rain—Rain membalasnya.

“Jangan lupa nanti malam yaa...”

“Nggak akan lupa” Aku semakin erat menggenggam tanganya.

“Ciee, kalian...” Celetuk Sean.


(BERSAMBUNG)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar