Sunday, February 7, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 7


Peringatan apa yang sengaja dilakukan Ranum. Antara mencintainya dan menunggu kerelaannya terhadap apa yang seharusnya dia ketahui. Bahwa aku mencintainya sejak pertama aku menatapnya, memakai celemek putih dan bibir yang masih menyisakan sisa roti buatan Queens Of Sean.
Ponselku berdering.

“Hallo—Sean?” Aku masih berbaring di sofa.

“Bangun, Rain. Aku mau pergi bedua sama si Ranum, naik sepeda, Mau ikut?”

“Oke-oke tunggu, aku siap-siap dulu” Aku bergegas menuju kamar.

“Aku baru mau keluar rumah, ketemuan sama Ranum di Ran Fleuriste.”

“Terus, aku gimana?” Aku membuka lemari, diam sejenak menunggu jawaban Sean.

“Ketemuan di Dam Square ya, nanti aku kesana.”

“Oke” Aku menutup ponsel, melemparkannya ke kasur lalu mencari pakaian—bergegas menuju kamar mandi.

Aku sudah siap, jam di pergelangan tangan kiri. Sepatu Adidas hitam, celana pendek cokelat dengan saku celana di bagian samping, dan kaus hitam lengan panjang. Ada yang aku lupa—aku lupa. Aku tidak punya sepeda.

Aku memutar otak, berpikir keras apa yang harus aku lakukan... Aku ingat banyak orang yang menawarkan sepedanya untuk di sewakan, aku harus ke Centraal Station. Tidak terlalu jauh dari rumahku.

Buru-buru aku menuju garasi, menyalakan Savage Rivale milikku, menginjak pedal gas sekencang-kencangnya. Menuju Centraal Station dengan jarak yang tidak terlalu jauh, sekitar satu kilometer, kurang dari lima menit untuk sampai sana dengan Savage Rivale milikku.

Dari atas Savage Rivale aku mencari sepeda yang cocok denganku di sepanjang jalan menuju Centraal Station lalu memarkirkan Savage Rivale ku, setelah melihat seorang kakek yang menyewakan sepedanya tepat di depan pintu area parkir Centraal Station.

Kakek itu menyewakan sepedanya untuk 10 Euro per jam. Aku memberinya 30 euro. Memberikan kartu identitasku dan kakek itu memberikan kartu namanya padaku. Eugenius Van Bonifacius, nama yang bagus. Bonifacius—Teman yang baik. Eugenius? Bangsawan. Aku berdeham. Tersenyum, mengucapkan terimakasih, lalu bergegas menuju Dam Square.

Jarak dari Centraal Station menuju Dam Square sekitar 1,5 kilometer. Melewati Holland International  Canal Cruises, agen tur kapal yang menyediakan layanan untuk para turis yang ingin menyusuri kanal-kanal di Belanda. Melewati Muse de Sexe. Sebuah museum  berisi edukasi sex yang biasanya buka pukul setengah sepuluh pagi. Tidak jauh dari Muse de Sexe aku juga melewati Vodka Museum Amsterdam yang tentunya memiliki banyak jenis vodka dari penjuru dunia. Aku juga belum pernah kesana, jadi aku tidak tahu persis soal Vodka Museum Amsterdam. Aku juga melewati Beurs Van Berlage, pusat konferensi, menyusuri sepanjang jalan Damrak memang menyenangkan banyak orang lalu lalang, santai dan tentunya tidak macet. Ada juga museum seni di daerah Damrak, Body Worlds Amsterdam, yang baru bukal pukul sembilan pagi.

Bisa dibilang Dam Square adalah pusat keramaian di Amsterdam, selain letak monumen nasional yang ada di Dam Square. Juga banyak tersebar toko-toko brand terkenal dari penjuru dunia, seperti Louis Vuitton Amsterdam Bijenkorf, toko barang-barang berbahan kulit, entah kulit apa—aku tidak peduli. Aku membeli dompetku disana. Ada juga butik dari merk terkenal Gucci - Amsterdam de Bijenkorf. Museum Madame Tussauds juga terletak di sekitar Dam Square, museum lilin dari tokoh-tokoh dunia, aku pernah bermimpi bahwa akan ada patungku disana, sebagai pengusaha kopi terkenal di seantero Belanda. Tapi gelar pengusaha kopi belum cukup untuk jadi penghuni museum ini.

Aku sampai di Dam Square, mataku menyapu seluruh tempat, mencari Sean dan Ranum yang mungkin sudah sampai lebih dulu. Aku mengirim pesan untuk Sean, lalu menuju monumen nasional, memotret Dam Square lewat ponselku. Mengabadikan lalu lalang para pengendara sepeda dan pejalan kaki. Sampai pada satu titik, kamera ponselku menangkap datangnya Sean dan Ranum dari arah Rokin. Aku memotret mereka lalu melambaikan tangan ke arah Sean dengan tatapan ke arah Ranum yang tampak bingung.

Sean menuju ke arahku, lalu menjabat tanganku—tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya dan bertanya,

“Itu Ranum kenapa?”

“Ah, dia. Kaget mungkin” Jawab Sean sambil melambaikan tangan ke arah Ranum, memintanya untuk ikut bergabung dengan kami.

“Kaget kenapa?”

“Dia nggak tahu kalau ada kamu” Sean tertawa.

“Oh gitu, licik kamu Sean” Aku menampar bahu kanan Sean.

“Iyaa... Kalau nggak gitu, pasti dia nggak mau ketemu kamu.”

“Bedankt, Sean.”

Sean tersenyum, Ranum menuntun sepedanya ke arah kami. Matanya menatap ke jalanan. Aku terus menatapnya, sampai dia berhenti tepat di samping Sean. Menjabat tangannya lama. Memberinya senyum lagi ketika dia menatapku. Pipinya memerah.

“Hei, Ranum. Apa kabar?”



(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar