Peringatan
apa yang sengaja dilakukan Ranum. Antara mencintainya dan menunggu kerelaannya
terhadap apa yang seharusnya dia ketahui. Bahwa aku mencintainya sejak pertama
aku menatapnya, memakai celemek putih dan bibir yang masih menyisakan sisa roti
buatan Queens Of Sean.
Ponselku
berdering.
“Hallo—Sean?”
Aku masih berbaring di sofa.
“Bangun,
Rain. Aku mau pergi bedua sama si Ranum, naik sepeda, Mau ikut?”
“Oke-oke
tunggu, aku siap-siap dulu” Aku bergegas menuju kamar.
“Aku
baru mau keluar rumah, ketemuan sama Ranum di Ran Fleuriste.”
“Terus,
aku gimana?” Aku membuka lemari, diam sejenak menunggu jawaban Sean.
“Ketemuan
di Dam Square ya, nanti aku kesana.”
“Oke”
Aku menutup ponsel, melemparkannya ke kasur lalu mencari pakaian—bergegas menuju
kamar mandi.
Aku
sudah siap, jam di pergelangan tangan kiri. Sepatu Adidas hitam, celana pendek cokelat
dengan saku celana di bagian samping, dan kaus hitam lengan panjang. Ada yang
aku lupa—aku lupa. Aku tidak punya sepeda.
Aku
memutar otak, berpikir keras apa yang harus aku lakukan... Aku ingat banyak orang
yang menawarkan sepedanya untuk di sewakan, aku harus ke Centraal Station.
Tidak terlalu jauh dari rumahku.
Buru-buru
aku menuju garasi, menyalakan Savage Rivale milikku, menginjak pedal gas
sekencang-kencangnya. Menuju Centraal Station dengan jarak yang tidak terlalu
jauh, sekitar satu kilometer, kurang dari lima menit untuk sampai sana dengan
Savage Rivale milikku.
Dari
atas Savage Rivale aku mencari sepeda yang cocok denganku di sepanjang jalan
menuju Centraal Station lalu memarkirkan Savage Rivale ku, setelah melihat
seorang kakek yang menyewakan sepedanya tepat di depan pintu area parkir Centraal
Station.
Kakek itu
menyewakan sepedanya untuk 10 Euro per jam. Aku memberinya 30 euro. Memberikan
kartu identitasku dan kakek itu memberikan kartu namanya padaku. Eugenius Van
Bonifacius, nama yang bagus. Bonifacius—Teman yang baik. Eugenius? Bangsawan.
Aku berdeham. Tersenyum, mengucapkan terimakasih, lalu bergegas menuju Dam
Square.
Jarak
dari Centraal Station menuju Dam Square sekitar 1,5 kilometer. Melewati Holland
International Canal Cruises, agen tur
kapal yang menyediakan layanan untuk para turis yang ingin menyusuri
kanal-kanal di Belanda. Melewati Muse de Sexe. Sebuah museum berisi edukasi sex yang biasanya buka pukul
setengah sepuluh pagi. Tidak jauh dari Muse de Sexe aku juga melewati Vodka
Museum Amsterdam yang tentunya memiliki banyak jenis vodka dari penjuru dunia.
Aku juga belum pernah kesana, jadi aku tidak tahu persis soal Vodka Museum
Amsterdam. Aku juga melewati Beurs Van Berlage, pusat konferensi, menyusuri sepanjang
jalan Damrak memang menyenangkan banyak orang lalu lalang, santai dan tentunya
tidak macet. Ada juga museum seni di daerah Damrak, Body Worlds Amsterdam, yang
baru bukal pukul sembilan pagi.
Bisa
dibilang Dam Square adalah pusat keramaian di Amsterdam, selain letak monumen
nasional yang ada di Dam Square. Juga banyak tersebar toko-toko brand terkenal
dari penjuru dunia, seperti Louis Vuitton Amsterdam Bijenkorf, toko
barang-barang berbahan kulit, entah kulit apa—aku tidak peduli. Aku membeli
dompetku disana. Ada juga butik dari merk terkenal Gucci - Amsterdam de
Bijenkorf. Museum Madame Tussauds juga terletak di sekitar Dam Square, museum
lilin dari tokoh-tokoh dunia, aku pernah bermimpi bahwa akan ada patungku
disana, sebagai pengusaha kopi terkenal di seantero Belanda. Tapi gelar
pengusaha kopi belum cukup untuk jadi penghuni museum ini.
Aku
sampai di Dam Square, mataku menyapu seluruh tempat, mencari Sean dan Ranum
yang mungkin sudah sampai lebih dulu. Aku mengirim pesan untuk Sean, lalu
menuju monumen nasional, memotret Dam Square lewat ponselku. Mengabadikan lalu
lalang para pengendara sepeda dan pejalan kaki. Sampai pada satu titik, kamera
ponselku menangkap datangnya Sean dan Ranum dari arah Rokin. Aku memotret
mereka lalu melambaikan tangan ke arah Sean dengan tatapan ke arah Ranum yang
tampak bingung.
Sean
menuju ke arahku, lalu menjabat tanganku—tersenyum ke arahku. Aku membalas
senyumnya dan bertanya,
“Itu
Ranum kenapa?”
“Ah,
dia. Kaget mungkin” Jawab Sean sambil melambaikan tangan ke arah Ranum,
memintanya untuk ikut bergabung dengan kami.
“Kaget
kenapa?”
“Dia
nggak tahu kalau ada kamu” Sean tertawa.
“Oh
gitu, licik kamu Sean” Aku menampar bahu kanan Sean.
“Iyaa...
Kalau nggak gitu, pasti dia nggak mau ketemu kamu.”
“Bedankt,
Sean.”
Sean
tersenyum, Ranum menuntun sepedanya ke arah kami. Matanya menatap ke jalanan.
Aku terus menatapnya, sampai dia berhenti tepat di samping Sean. Menjabat
tangannya lama. Memberinya senyum lagi ketika dia menatapku. Pipinya memerah.
“Hei,
Ranum. Apa kabar?”
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar