Sunday, January 24, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 5


Semalam aku bermimpi, langit yang berbintang memanjakan mataku membentuk siluet wajah Ranum. Bintang-bintang berubah bak aktor di panggung teater, bergerak acak dari bentuk lain ke bentuk yang lainnya. Menghadirkan pertunjukan yang menjadikan Ranum sebagai pemeran utama. Itu mimpi pertamaku pada malam itu, aku terbangun—sosok Ranum tampak nyata. Tengah malam di Belanda sangat dingin, selimut ikut merasakan kebekuan akibat angin, lama aku tersenyum sendiri mengingat mimpi yang tidak sepenuhnya menjadi ingatan. Ponsel di samping bantal seakan berteriak—ku ambil ponselku, kubuka file foto yang dikirimkan Sean tempo hari. Foto Sean dan Ranum yang tersenyum lebar. Lagi-lagi aku senyum sendiri. Membelai rambutnya dari layar ponsel. Ranum memang bagai bintang sirius—membutakan mata, bintang yang terletak di rasi canis major. Friedrich Wilhelm Bessel pernah menyimpulkan bahwa bintang sirius memiliki pasangan, lalu hampir dua dekade berjalan Alvan Graham Clark menemukan pasangan sirius yang redup—sirius b. Jika Ranum bagaikan sirius aku ingin menjadi bumi untuknya, yang dekat dalam sitem bintang.

Limabelas menit setelah tebangun, aku memberanikan diri—mengirimkan pesan untuk Ranum. Beberapakali menghapus pesan lalu mengetiknya lagi, mengganti pesan yang lebih tidak mengagetkan Ranum ketika dia membacanya.

Ada bintang di mimpiku malam ini.”

“Aku aku melihatmu menjadi siluet bintang di mimpiku.”

“Ranum aku sayang kamu.”

“Ranum malam ini dingin ya.” SENT

Bodoh! Pesan macam apa itu.

Aku melanjuktan tidurku, menutup selimut cepat-cepat, membuat dingin berubah hangat. Langit-langit kamar jadi kanvas, membayangkan melukis wajah Ranum—beberapa detik setelahnya mataku mulai gelap sebelum dikacaukan oleh dering ponsel. Satu pesan masuk—ini dari Ranum. Dia belum tidur, atau mungkin sama denganku terbangun—memimpikanku.

“Aneh”

Seperti dugaanku, pesan bodoh yang kukirim ditanggapinya aneh. Berkali-kali aku mencoba membalas pesannya.

“Sorry, salah kirim.”

“Hahaha, belum tidur Ranum?”

“Iya ya aneh, pagi gini udah pasti dingin lah.”

Aku memutuskan tidak membalas pesannya. Aku melanjutkan tidurku.

Belum lama aku mataku tertutup, ponselku berdering lagi. Aku mecoba membiarkannya di dering pertama ponselku lalu menutup mata. Ponselku berdering lagi—aku melihat ponselku. Dua pesan dari Ranum.

“Kamu mimpi buruk ya?”

“Sama aku juga niih.”

Bulu tengkukku berdiri, jantungku bedebar. Ranum membalas pesanku lagi, kali ini dua kali, aku memutuskan melupakan rasa kantukku, mencoba terjaga. Dua menit berlalu aku masih menatap pesan dari Ranum. Aku harus berhati-hati membalas pesannya, untuk menjaga percakapan.

“Aneh”

Niat balas dendam, tapi ini bukan saatnya. Aku percaya dalam keadaan seperti ini—setiap orang pasti berubah dari sifat yang dibawanya setiap hari. Keadan tengah malam seperti ini membuat orang-orang jadi lebih jujur. Jadi kita bebas bertanya apapun dan pasti dijawab dengan jujur. Karena alam bawah sadar kita menguasai tubuh yang setengah mengantuk.

“Ranum mimpi apa?”

Sambil menunggu Ranum membalas pesanku, aku bangkit dari kasurku menuju dapur untuk membuat kopi. Aku membuat Colombian Milds yang tersisa di Coffee Makerku salah satu varian kopi arabica dari Kolombia, Kenya dan Tanzania. Jenis kopi arabica yang telah dicuci. Sebagai penikmat kopi yang punya banyak gerai kopi di seluruh Belanda—aku memang terbiasa membuat kopi untukku sendiri.

Aku berdiri di depan meja dapur dengan dua tanganku yang menyentuh ujungnya. Ponselku tepat di samping kopiku. Ponselku berdering setelah aku meminum kopiku. Satu pesan dari Ranum.

“Dokter melarangku minum—minuman beralkohol, padahal aku bukan pecandu alkohol. Mimpiku jadi aneh, besoknya dokter itu meninggal ditusuk prajurit berkuda, anehnya prajurit berkuda ini patung—bukan real prajurit berkuda yang bawa pedang.”

Aku membacanya pelan, sembari sesekali meminum kopiku. Tertawa sedikit diakhir pesannya.

“Ha? Serius?”

Aku meninggalkan dapur membawa kopi dan ponselku menuju ruang tengah, lalu meletakkannya di meja kopi yang berada di samping sofa putih. Menyalakan TV lalu duduk di sofa putih yang berada di samping meja kopi. Ponselku berdering berbarengan dengan nyala TV.

“Serius, kira-kira maksud mimpinya apa ya?”

Aku tidak mempedulikan siaran TV, pesan dari Ranum menyita pikiranku untuk membalas pesannya.

“Mungkin kamu harus ganti profesi jadi prajurit berkuda, hahaha.”

“Eh, apaan aneh banget. Kalo kamu mimpi apa, Rain?”

“Mimpi jadi prajurit berkuda yang nusuk dokter.”

“Rain!! Seriusan ah.”

“Mimpiin kamu nih, Ranum.”

“Rain!! Udah dibilangin, yang serius ah.”

“Eh, ini serius Ranum. Nggak bohong.”

Sudah setengah jam sejak aku mengirimkan pesan terakhirku, Ranum belum juga membalasnya, kopi di cangkirku sudah habis. Siaran TV berubah jadi kumpulan semut hitam dan putih dengan suara yang memekikan telinga.

Aku membuka mata, Langit sudah terang, cahaya matahari menembus jendela kaca dengan tirai putih bermotif kincir angin. Aku tertidur di sofa putih dengan TV yang masih menyala, aku melihat ponsel di meja kopi samping sofa putih. Ranum belum juga membalasnya. Seketika tubuhku melemah, tergeletak tanpa daya...



(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar