Friday, January 15, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 3


Sejak kejadian di Keukenhof aku sedikit memberi jarak dengan Rain. Bukan karena aku tidak suka dengannya. Tapi, karena ini perlu. Memberi pelajaran bagi pria yang mengatasnamakan cinta untuk mendapatkan orang yang dicintai. Aku tahu Rain terpesona denganku, awalnya aku juga. Tapi, Rain membuat kesalahan, dia terlalu cepat mengungkapkan perasaannya padaku. Membuatku hilang perhatian. Rain pria yang tidak suka basa-basi, padahal aku suka dengan pria yang basa-basi. Basa-basi membuat tingkah para pria bisa ditertawai. Aku suka itu. Aku mendengar kabar bahwa Rain membuka cabang baru Rain Coffee tepat di sebelah Queen Of Sean. Aku mendengarnya dari Sean.

Aku berangkat kerja untuk pertamakali sejak satu bulan yang lalu, Meskipun baru tadi malam aku bertemu Sean di Ran Fleuriste untuk mengobrol tentang bintang-bintang. Aku melihat Rain Coffee dipenuhi para mahasiswa. Tentu saja, Rain Coffee memang selalu ramai, tapi aku belum pernah sekalipun merasakan kopi buatan Rain Coffee. Setelah aku memakirkan sepedaku, aku melihat cctv di Rain Coffee yang dipasang menghadap tokoku. Aku tahu, Rain sengaja memasangnya di situ untuk mengawasiku. Dua hal yang sangat berbeda, jika kedai teh Kakek Winskel dipenuhi orang-orang tua, Rain Coffee dipenuhi anak-anak muda. Kedai teh Kakek Winskel selalu sunyi meski banyak pengunjung, berbeda dengan Rain Coffee yang berisik—memekakkan telinga.

Hari ini langit Belanda sangat cerah, musim panas sudah datang dengan sejuta kenangan yang mengapung di kanal-kanal. Di atas perahu mereka mentautkan hatinya pada seorang kekasih yang melamarnya dengan romantis, membawa tulip yang dibeli dari Ran Fleuriste dan cincin berlian yang dibelinya di pusat kota. Kanal-kanal Belanda memang selalu jadi tempat yang banyak dikunjungi, termasuk wisatawan dari luar negeri. Amsterdam punya lebih dari seratus kilometer kanal. Tiga kanal utama yang terkenal di seantero Belanda. Herengracht, Prinsengracht, dan Keizersgracht, dibangun pada abad ke-17 pada zaman keemasan Belanda. Di sekitar kanal utama ada lebih dari 1500 bangunan monumental yang banyak dikunjungi turis.

Herengracht adalah kanal pertama dari ketiga kanal utama yang berada di tengah kota Amsterdam. Kanal kedua adalah Keizersgracht terletak di tengah kota Amsterdam, di antara Herengracht dan Prinsengracht. Keizersgracht dinamai sesuai dengan nama Maximilian I, Kaisar Romawi Suci. Dan Prinsengracht adalah kanal utama keempat dan terpanjang di Amsterdam. Kanal tersebut dinamai sesuai dengan nama Pangeran Orange.  Kebanyakan rumah-rumah di sekitar Prinsengracht dibangun pada Zaman Keemasan Belanda. Jembatan-jembatan yang berada di kanal Prinsengracht terhubung dengan jalanan Jordaan.

Sudah hampir satu jam aku merapikan tokoku, hal yang memang biasa aku lakukan setiap pagi, mengelap kaca toko, merapikan vas-vas bunga, memberi vitamin dan pupuk untuk mempercepat pertumbuhan bunga. Aku menyukai kegiatan ini, membuatku merasa tenang dan nyaman. Apalagi tokoku persis bersebelahan dengan Queen Of Sean—toko kue milik Sean, toko kue paling enak yang pernah aku temui dalam hidupku. Seperti biasanya aku memberikan satu tangkai tulip putih untuk Kakek Winskel, meskipun Kakek Winskel belum datang aku menaruhnya di vas bunga yang ada di meja kasir. Vas bunga yang khusus digunakan untuk menampung tulip-tulip pemberianku.

Ini hari terburukku, aku mendengar lonceng pintu toko berbunyi. Aku melihat seorang pria bercelana pendek dan memakai kacamata hitam memasuki toko. Aku mulai menyadari pria itu ketika dia melepaskan kaca mata hitamnya. Otakku beku, perdebatan di rongga kecil itu memasuki babak baru, antara kaget dan gelisah bercampur jadi satu. Aku sudah tidak mau lagi menemui pria ini, aku benar-benar sudah melupakannya dan membangun dinding tinggi yang tidak bisa dia lewati. Dinding itu hancur dalam hitungan detik. Sialan, pria dari Tropea Beach itu mendatangiku, tersenyum dan menyapaku.

“Hey, Ranum. Apa kabar?” Dia menjulurkan tangannya, mengajakku bersalaman, aku menolak.

“Kamu?!”

“Iya ini aku, kenapa? Kamu kaget, Ranum?” Dia menarik tangannya.

“Kenapa kamu kesini!”

“Ayolah Ranum aku sudah lama tidak mendengarmu memanggil namaku.”

“Berhenti basa-basi” Untuk pria ini aku tidak suka caranya berbasa-basi, aku muak.

“Ini toko bunga Ranum, apalagi yang akan aku beli selain bunga?”

“Jangan menggodaku.”

“Oh, kasar sekali kamu, Ranum.”

“Apa maumu?”

“Apalagi? Satu buket tulip, Ra—Num.”

“Warna apa!”

“Merah” Dia menggoda.

Aku menyiapkan pesanannya, setengah niat. Mau tidak mau aku harus melayani setiap orang yang membeli bunga di Ran Fleuriste. Aku meyiapkannya dengan cepat, berharap semuanya berlalu begitu saja, aku sungguh muak dengan pria ini. Aku meliriknya, matanya terus menatapku. Dalam keadaan seperti ini aku butuh Sean—sial itu tidak mungkin.

“Ini, satu buket tulip merah.” Aku menaruhnya di meja kasir, untuk dia aku tidak sudi memberikannya langsung.

“Wow, indah sekali bunga-bungamu, Ranum.” Dia menggodaku lagi.

“Jangan lupa bayar!”

“Ini, ambil kembaliannya” Dia memberi 20 Euro.

“Nggak! Aku akan memberikan kembeliannya” Dia mengabaikanku, lalu pergi menuju pintu toko, sesekali menyium aroma bunga. Aku mengejarnya—menarik tangannya ketika sampai di luar toko, dia berbalik.

“Ini kembalianmu.”

“Aku bilang, ambil kembaliannya, Ranum.”

“Stop, buang-buang waktu.” Aku langsung memasukkan kembaliannya di kantong celananya. Dia tersenyum.

“Kamu keras kepala, Ranum.”

“Aku bilang jangan menggodaku.”

“Pegang bunga ini sebentar.” Dia meminta. Aku memegangnya seperti seorang ibu menggendong bayi.

“Bunga itu untukmu, Ranum.” Katanya, sebelum dia pergi melewatiku. Aku bingung dan kaget, apa maksud dia melakukan ini. Aku melihat bunga yang ada di tanganku lalu berbalik dan berteriak ke arahnya.

“Aku nggak suka tulip merah.” Sambil melambaikan bunga di tangan kananku.


(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar