Tuesday, September 15, 2020

kita; selalu kembali ke tempat semula.


 

Kita mungkin sama-sama sering membaca atau mendengar sebuah kalimat yang terus berulang kali banyak orang katakan, banyak orang tulis. Bahwa ketika kita ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain, kita juga harus berlaku baik. Berulang kali aku memikirkan untuk memberikan kontra-argumen dari pernyataan itu. Karena dalam hidupku, aku seringkali menemukan seseorang yang memang terlahir dengan sifat suka seenaknya yang menempel pada tubuhnya mungkin sejak dalam kandungan. Orang-orang ini entah hidup dan merasa bahwa segala yang ada di sekelilingnya harus tunduk pada aturan mainnya.

Aku seringkali melihat, menemukan, bahkan merasakan bahwa seseorang tidak mengingat kebaikan-kebaikan (meski kecil) yang diberikan orang lain pada dirinya. Jika kita memegang teguh dengan pernyataan yang pertama; jika kita berlaku baik, berlaku adil pada orang lain, seharusnya kita mendapatkan perlakuan sejenis dari orang itu. Kalau detik ini kamu bilang itu artinya tidak ikhlas atau kita mengharap balasan, tunggu dulu. Simpan pernyataanmu, karena kita sedang akan membedah pernyataan pertama.

Mungkin kamu juga pernah merasakan, berbuat baik pada satu orang, let’s say kita bilang Si A. Kita selalu ada saat Si A merengek, membutuhkanmu, meski sekadar bercerita atau memintamu mendengarkannya. Namun Si A menganggap kamu hanya kutu di rambutnya, antara mengganggu atau dibunuh langsung di awal cerita. Si A tidak pernah menganggapmu ada, bahkan ia tidak mengingat kebaikan-kebaikan kecilmu, yang mungkin sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya, bahkan bisa kubilang sikap dan perbuatan baikmu itu mampu menyelamatkannya dari percobaan bunuh diri.

Orang-orang yang berlaku tidak adil pada sesamanya, mungkin memang sejak lahir punya ego problem yang besar dan tidak terkendali. Alih-alih mengingat kebaikan dengan baik, ia justru melemparmu saat kamu benar-benar membutuhkannya. Di momen ini mungkin kamu biasa saja, karena kamu pemaaf, dan kamu merasa memaafkan membuat tubuh dan jiwamu tenang. Tapi kadang kamu jengkel juga, karena Si A benar-benar hidup seenaknya, ia merasa manusia lain tidak memiliki perasaan, sehingga bebas ia perlakukan seenaknya. Dan menganggap asal perasaanku baik-baik saja, it’s oke. Tidak peduli orang lain.

Beberapa tahun belakangan aku bertarung pada perasaan-perasaan ini, bagaimana jika ada banyak Si A dalam hidupmu. Dan kamu kewalahan mekanisme koping apa yang perlu kamu gunakan untuk setidaknya membuat dirimu tenang, dan tidak meluap-luap. Ada sebuah argumen yang bilang bahwa ketika kamu dewasa ada baiknya semua masalah hidupmu dipendam saja. Tapi coba pikirkan jika masalah hidupmu adalah sebuah debu, yang kamu pendam di dalam sebuah karpet, jika debu itu terus bertambah banyak, karpet itu akan menciptakan bentuk yang tidak rata lagi, debu-debu itu akan menonjol. Ketika itu terjadi kemungkinannya hanya ada dua, orang tersandung, atau orang membersihkannya. Masalahmu tetap tidak selesai meski dipendam sekalipun. Orang yang tersandung akan kesakitan, yang membersihkannya tidak akan peduli selain karpet itu menjadi bersih lagi.

Aku sering menghapus banyak hal saat merasakan amarah yang tumbuh di kepala, aku mematikan notifikasi, aku memblokir banyak orang meski selanjutnya aku akan membuka blokir itu lagi. Atau berhenti mengikutinya di sosial media, meski aku akan kembali mengikutinya setelah amarah itu mereda. Seringkali aku melakukannya secara random. Karena jika aku melakukannya dengan niat hanya pada satu orang, itu berarti amarahku sudah benar-benar meluap karena hanya dipendam setelah sekian lama. Apalagi orang yang membuatmu marah telah berulang kali membuatmu kecewa namun kamu tetap memaafkannya karena kamu tahu kamu tetap perlu bersikap dan berlaku adil juga baik meski orang itu tidak.

Banyak orang yang melakukan itu padaku. Mereka menceritakan segalanya yang membuat pikirannya hampir gila, karena orang lain akan menghakiminya, sedang mereka percaya jika cerita itu diungkapkan padaku, aku tidak akan sama sekali memberi penghakiman, alih-alih memberikan tempat aman. Sayangnya banyak orang memang terlahir dengan sifat keras kepala dan seenaknya, meski berulang kali aku meluapkan emosiku entah secara terang-terangan atau tersirat orang-orang itu akan mengulangi hal yang sama.

Dan aku akan tetap menerimanya karena percaya dengan pernyataan di awal tadi. Bahwa untuk mendapatkan perlakuan baik kita juga harus berbuat baik. Lantas bagaimana jika kita telah berulang kali berlaku dan bersikap baik tapi tidak mendapatkannya seperti yang kita beri ke orang-orang?

Emosi? Mungkin. Tapi untuk orang-orang yang pintar, keadaan itu akan membuatmu belajar mengendalikan emosimu. Belajar bahwa orang-orang bajingan nan gila jelas ada dan hidup di sekitarmu. Orang-orang ini tidak tahu terima kasih, sama sekali tidak memberi belas kasihan pada orang lain. Aturan dalam hidupnya adalah asal perasaan hatinya baik, ia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Namun saat perasaan hatinya kalang-kabut, ia akan mati-matian kembali dan menganggapmu ada sebagai tempat bercerita paling aman. Namun kamu akan tahu apa yang akan selanjutnya terjadi. Kita; selalu kembali ke tempat semula.

Belakangan aku marah pada banyak hal, dan akhirnya meluap, meski luapanku berada pada tempatnya, aku tidak meluapkan pada orang lain. Tapi kita tidak pernah tahu bagaimana respon orang. Aku seringkali diam ketika menulis untuk seseorang, karena aku takut dengan segala respon yang akan muncul. Aku butuh tiga tahun untuk memberi tahu tiga novelku ditulis untuk siapa, butuh setahun untuk mendamaikan diri sendiri bahwa novel keempatku ditulis untuk siapa. Kesamaan dari keempatnya adalah orang-orang yang kumaksud tidak pernah sama sekali membacanya. Setidaknya itu yang aku tahu. Dan aku merasa baik-baik saja, bahwa itu bagian dari respon yang harus aku terima. Artinya orang itu juga sudah move on, dan itu juga yang perlu aku lakukan. Mengikhlaskan.

Namun bagaimana jika kamu terang-terangan memberitahu seseorang bahwa kamu pernah menulis untuk orang itu. Dan sialnya respon orang itu benar-benar menusukmu, menyakitimu, sialnya ini bukan kali pertama ia menyakitimu. Iya, aku sudah mengakomodir mungkin ia juga sedang menjalani hari yang buruk. Aku paham itu. Tapi aku tidak bisa lupa, ia melakukan ini tidak hanya sekali, dua atau tiga kali. Memori itu lebih kencang masuk ke pikiranku daripada keinginan untuk mengakomodir perasaannya.

Aku hanya ingin jujur, oleh apa yang aku rasakan. Dan tulisan-tulisan itu menurutku sama sekali tidak menyakitinya, tapi mengapa ia memilih kalimat-kalimat sebaliknya sebagai respon yang sangat menyakiti. Ya mungkin lain kali aku tidak perlu menjadi jujur, karena kita hidup di antara orang-orang yang lebih suka manipulasi. Aku merasa akan selalu kembali ke tempat semula. Karena aku hanya perlu menulis lagi untuk merasa tenang dan memaafkan perlakuannya, terlebih memaafkan diri sendiri.

Kita; manusia tidak pernah berubah. Kita sudah seperti itu sejak dilahirkan.


Semarang, 16 September 2020

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar