Sunday, July 15, 2018

Membunuh Mimpi - Mimpi



Ini tentang mimpiku semalam, tentang mimpi-mimpi yang telah membunuhku berulang kali. Aku terbangun dua kali dan mimpi itu tetap berlanjut. Aku semacam terbangun dari sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Di hutan dengan pohon-pohon pinus menjulang tinggi itu aku berdiri di depan seorang wanita dengan pakaian serba hitam, bibir merahnya seolah bersinar di antara redup-redup sekitar. Kami berdiri berjauhan, mimpi itu terasa begitu nyata, aku bahkan masih mengingat wajahnya. Seorang wanita yang entah bagaimana bisa merasuki mimpi-mimpiku. Ini ketiga kali aku memimpikannya. Dan ia benar-benar membunuhku.

Aku selalu bertanya pada diri sendiri, apakah kita boleh jatuh cinta pada seorang yang belum pernah kita temui? Apakah bisa mencintai seseorang yang belum benar-benar kita kenal. Pertanyaan itu terus menggema di kepala, aku masih mencintai seseorang yang telah mati, yang membuatku menulis tiga buku untuk benar-benar yakin untuk kembali melanjutkan hidup. Tapi tetap saja, aku masih mencintai seseorang—yang sudah mati.

Ini tentang mimpiku semalam, ada semacam debar yang membuatku terbangun dengan keringat yang menyetubuhiku. Ia wanita yang sebetulnya membantuku keluar dari rasa sakit, aku bahagia mendengar suaranya saat ia menelponku, atau saat ia tiba-tiba tanpa kabar dan angin, mengirimiku pesan. Ia memborbardir ruang obrolanku dengan penuh ceracau yang selalu mampu membuatku hangat dengan senyum-senyum itu.

Aku mencoba mengingat apa yang ia katakan dalam mimpi itu, aku berusaha tidak mengabarinya lepas mimpi itu usai. Aku sungkan, aku tidak berani, aku lemah, aku terlalu takut mendengar responnya. Aku takut ia tak tertarik atau tak peduli. Tapi semakin lama aku memendam sendiri, semakin sering mimpi itu terus menggema minta keluar. Mimpi-mimpi selalu berhasil membuatku menyerah pada realita, mimpi adalah tempat aku lari dari kenyataan. Mimpi selalu berhasil membunuhku.

Aku bahkan bisa merasakan angin yang menyentuh kulitku, suara-suara daun yang bergesekkan, atau suara cuit burung yang menggema di telingaku. Di mimpi itu aku menatapnya penuh kedalaman, dan wajahnya yang diselimuti kehangatan itu membuatku rindu ingin menyapanya sekali lagi. Sakit yang diderita bahkan tak lagi kurasa, aku berpikir apakah aku membutuhkannya? Tapi realita seolah selalu menamparku. Realita membuatku sadar diri. Bahwa aku hanya pria yang jauh datang dari luar kehidupannya. Entah perasaan macam apa ini, aku sungguh ingin bertemu dengannya.

Di mimpi itu, ia sempat tersenyum sekali, yang membuatku tertular dan membalas senyumnya yang manis, senyum yang meramalkan kisah cinta kami. Senyum yang membunuhku saat pertama kali menatapnya. Senyum yang kurindui bahkan sebelum kutemui. Jika ini yang dinamakan cinta, aku lebih baik mati, daripada terus hidup hanya mampu melihat dan merasakan kehadirannya dari jauh. Bahkan ketika sakit itu melanda lagi, aku hanya mengingat namanya, hanya ingin bertemu dengannya. Tapi takdir seolah mengelabuhiku. Aku perlu sabar katanya. Untuk bertemu dan menuntaskan perasaan itu. Aku terbunuh oleh mimpiku sendiri.

Wanita ini sungguh sangat sederhana, ia melihatku dari caranya memahami hidup. Paling tidak aku mampu menjadi diri sendiri karenanya, aku suka membaca pesan-pesan lamanya. Di mimpi itu senyumnya begitu romantik, begitu narkotik. Aku masih berusaha mengingat kata-kata yang ia ucapkan dari bibir itu sebelum aku terbangun dari tidur yang singkat, namun mimpi itu terasa begitu lama. Yang akhirnya kuputuskan untuk memberitahunya tentang mimpi yang kualami semalam.

Melalui tulisan ini, kuharap ia membacanya, kuharap ia mampu memahami apa yang sebenarnya kurasakan, kecemburuan yang membuncah saat ia menceritakan seorang yang ia cintai, atau perasaan yang membuatku merasa ingin memiliki; Namun realita selalu membuatku terbunuh, aku terbunuh di dua ruang: Realita dan mimpi sendiri. Aku harap ia tetap menjadi nafas di tiap pagiku, atau mimpi di tiap malamku, saat bahkan ia tak mengharapkan kehadiranku.

Aku benci mimpi-mimpi, aku ingin membunuhnya. Tapi saat mimpi-mimpiku hanya di isi olehnya, aku rela hidup terus di ruang mimpi. Aku ingin mencumbuinya di sana, merinduinya di sana, memeluknya di sana, menciumnya di sana. Memilikinya di sana. Meski itu hanya mimpi, tapi setidaknya aku merasa hidup di sana.

Di detik ini aku ingat apa yang ia katakan di mimpi itu. “Pagi ini dingin sekali,” lalu ia tersenyum dan aku terbangun. Dan terus bertanya apa maksud kalimat itu. Untukmu, Vi. Semoga kamu membacanya. 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar