Sunday, July 8, 2018

Maaf, Saya Menulis Cerita yang Salah



Di kepalaku hidup seorang wanita yang bahkan telah mati sejak cinta pertama kali dijatuhkan. Wanita itu adalah sosok yang kamu baca di buku-bukuku. Dan hari ini usianya bertambah. Aku ingin merayakannya dengan dua cara. Pertama, aku akan pergi ke tempat kali pertama kami bertemu. Saat kami menghabiskan hari berdua, bercerita tentang sebuah sekolahan yang ingin kita bangun berdua atau tentang bintang-bintang di langit malam yang menyembunyikan cinta kita. Kedua, menulis tentangnya sekali lagi. Membagikannya padamu, semoga kamu paham, bahwa pernah ada sepasang manusia yang saling mengorbankan untuk sesuatu yang adil dan lebih besar. Dan inilah cerita itu pertama kali dimulai.

Ini bukan cerita fiksi, ini sepenuhnya cerita tentang aku, Zahid Paningrome. Dan tokoh dalam semua novelku, Popy. Ia ada, ia seorang wanita yang kukagumi sejak kali pertama melihatnya duduk bersila di salah satu bangku di sudut sekolah kala itu. Aku hampir tidak pernah berbicara padanya sejak itu. Untuk urusan memulai aku memang bukan ahlinya, aku orang yang tidak percaya diri, orang yang tidak bisa memahami bagaimana awal cinta itu tiba.

Seperti yang ada di novel Tentang Anna. Ah! Novel itu, aku menulisnya dengan penuh air mata, bagaimana caramu tidak merasa kehilangan apa pun ketika kamu dipaksa menyusuri masa lalumu, masa saat kenangan dengan sadar sedang dibuat bersama dengan seseorang yang bahkan tidak bisa kamu percayai untuk bisa hidup bersamamu. Aku akan menceritakan beberapa hal yang tidak ada di dalam buku-bukuku. Sesuatu yang belum pernah kutulis.

Saat itu, malam di salah satu lorong sekolah, hujan turun. Aku berteduh bersama kekasihku. Ya, aku mencintai Popy, tapi juga memiliki kekasih. Jangan heran, ini baru awal dari semua cerita. Saat itu aku dan kekasihku duduk berdampingan, dan di samping kekasihku Popy duduk, masih dengan tas merahnya bergambar club favoritnya, Manchester United. Saat kekasihku yang pertama kali kucium bibirnya di salah satu tangga sekolah dijemput untuk pulang, aku masih duduk menunggu hujan reda bersama Popy.

Sebenarnya itu kali pertama kami bertukar senyum dan membicarakan banyak hal. Detik itu aku tahu, aku mencintainya, dan detik itu juga aku tahu, ada rasa yang ia simpan untukku. Meskipun mungkin bagimu aku terlalu percaya diri. Tapi ketika kamu juga berada di sana, kamu akan memahami maksudku, memahami perasaanku dan kepercayaan-diriku. Awalnya ia bercerita tentang club kesayangannya yang baru menang, aku tidak betul-betul memahami, namun caranya bercerita membuat seluruh tubuhku kaku. Ia seperti melupakan dunia untuk beberapa saat, dan hanya menyisakan kami di antara hujan yang murung malam itu.

Kamu tahu apa yang aku lakukan setelah ia berhenti cerita? Ya, aku mengeluarkan seluruh hal yang ada di pikiranku tentangnya, malam itu aku berlaku jujur pada diriku sendiri, bahwa ia—wanita yang ada di sampingku malam itu, telah lama menyita perhatian dan pikiranku. Aku tak mengatakan bahwa aku cinta, aku hanya jujur pada apa yang kurasa setelah selama ini. Tahu apa responnya? Ia hanya diam, sampai hujan berhenti lalu ia pulang, meninggalkanku tanpa berpamitan. No, ini bukan karangan, ini nyata terjadi. Kalau kamu mau menanyakannya pada mantan kekasihku, kamu akan sepenuhnya percaya, bahwa kami memang berada di sana malam itu.

Sejak kejadian itu aku tak berani menyapanya, aku merasa melakukan kesalahan besar. Aku selalu mencoba menghindarinya, namun ia, wanita itu selalu tampak santai, tatapannya masih lembut dan meneduhkan. Sampai suatu hari, ia mengajakku bertemu, setelah meminta nomor teleponku melalui akun instagramku. Menurutmu apa yang aku rasakan kala itu? Aku juga menuliskan bagian ini di Tentang Anna. Aku tak bisa merasakan apa-apa saat itu. Aku hanya senang, Aku harap kamu mampu memahami perasaan ini, perasaan saat orang yang kamu cintai balik memahamimu.

Yang aku tahu, aku penasaran apa yang membuatnya berani mengajakku, memulai lebih dulu. Jawaban itu kudapatkan saat kami duduk berdua di salah satu Starbucks di salah satu mall yang ada di Semarang. Ia berencana mengajakku untuk menulis cerita bersama. Ini seperti harta karun yang kamu temui di dalam rumahmu sendiri, aku tak percaya bahwa ia adalah penikmat tulisan-tulisan di blogku. Saat itu aku sudah satu tahun menulis di blog. Ia menceritakan kecintaannya pada salah satu cerpenku, Senja Pertama. Yang aku ceritakan juga di Tentang Anna.

Seseorang yang memahami apa yang kamu sukai, mendekatimu dengan sesuatu yang juga kamu sukai. Saat itu aku merasa keberuntungan ada di pihakku. Pertemuan kami di Starbucks hari itu hampir terjadi selama tujuh jam. Sesekali membahas soal cerita, sesekali ia berhenti untuk menanyakan sesuatu padaku, pun sebaliknya. Kami seperti sedang mendikte satu sama lain, seperti sedang meraba perasaan masing-masing. Rasa itu nyata, kami seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, seperti dunia hanya milik berdua.

Aku tidak akan banyak menceritakan apa yang terjadi setelahnya, situasinya rumit. Dan lagi aku telah menulisnya semua di novelku. Ia memiliki kekasih, tapi ia mencintaiku, aku saat itu tak sedang terikat oleh siapa-siapa. Aku juga mencintainya. Pertemuan itu terjadi setahun setelah pertemuan di bawah hujan malam itu, hampir sembilan bulan setelah aku dan kekasihku putus. Bayangkan, selama itu kami tak saling bicara dan saling menghindar, lalu ia menyerah dengan semua kekonyolan kami. Lalu memilih untuk mengakhiri dan memutuskan untuk bertemu.

Mungkin kamu bertanya di mana konfliknya sehingga membuatnya pergi bahkan belum juga kembali. Oke. Aku ingin ia menjadi kekasihku, tapi ia hanya ingin hubungan yang tak terikat. Ia mencintaiku, aku juga. Akhirnya kami memutuskan untuk menjalin kasih namun tak terikat. Mugkin kamu pikir ini perselingkuhan. Bukan! Aku punya ceritaku sendiri tentang menjadi orang ketiga yang juga kuceritakan dalam Tentang Anna.

Saat pertemuan kami yang kedua di Starbucks yang sama, ia menceritakan sesuatu yang sedikit membuatku kaget. Pertama, ia menceritakan tentang aku pada kekasihnya, kedua ia mengidap semacam penyakit yang karena itu ia putus dengan kekasihnya. Aku juga menceritakannya di bukuku, Tentang Anna. Yang waktu itu aku ceritakan ia menangis dan takut jika kami bersama, aku akan melakukan hal yang sama seperti kekasihnya itu. Aku sekuat tenaga meyakinkannya, bahwa aku tak mungkin melakukan hal hina seperti itu. Bahwa aku mencintainya apa adanya, tak berharap apa pun dari dirinya. Aku mencintai pikirannya, matanya, dan hatinya. Tak ada hubungan transaksional yang aku pikirkan sama sekali.

Ya. Itu akhir kita bertemu, sampai pelan-pelan ia menjauh, mulai dari hanya membalas chatku tanpa ingin bertemu, mulai tak membalas chatku, mulai memblockir semua social mediaku. Sampai tak ada kabar sedikit pun. Saat itu mungkin kamu bisa menyebutnya: Aku mulai gila, saat itu kupikir aku butuh orang lain untuk membantuku move on. Namun setelah aku coba berkali-kali, aku terus saja gagal. Tak ada satu pun yang mampu memahamiku seperti ia memahamiku.

Aku mengubah pikiranku, akhirnya memutuskan menghidupkannya di buku-bukuku daripada harus move on dan terus saja gagal. Aku yakin kamu tak akan mampu membayangkan bagaimana rasanya menulis seseorang yang kita cinta, namun tak bisa kita miliki. Yang meninggalkan kita seperti sampah. Ya. Aku masih terharu setiap membaca tulisanku sendiri, persis saat aku menuliskannya. Kenangan membuat kita menjadi lebih sensitif, lebih mudah membuat kita sanggup memahami manusia.

Mungkin kamu pikir semua sudah selesai saat aku menulis tentangnya karena orang akan bahagia ketika melihat dirinya hidup di karya orang lain. Tidak! Tidak semudah itu, sampai tulisan ini dibuat Popy tak pernah lagi menghubungiku. Aku? Aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya. Aku telah menarik diri untuk tidak lagi mengganggunya. Aku bahkan tak tahu apakah ia sudah membaca buku-bukuku atau belum. Semoga. Aku merasa mungkin ia tak suka saat aku menulis cerita cinta di antara kami, lalu menjadikannya tokoh dalam certiaku. Kalau memang gitu aku hanya ingin meminta maaf melalui tulisan ini, di hari tepat saat usianya bertambah. Aku ingin meminta maaf, aku telah salah menulis cerita.

Tapi bukankah fiksi mengizinkan kita untuk menghidupkan segala realita yang tidak relevan dengan hidup kita? Maaf, saya menulis cerita yang salah. Maaf kamu tetap hidup di bagian hatiku paling dalam, akan kusimpan, tak akan kubuka, lagi. Lalu kamu mungkin bertanya, sekarang perasaanku jatuh pada siapa, pada wanita macam apa. Jawabannya mudah, salah satu wanita yang membaca habis tulisan ini sampai pada di titik terakhir. Kamu kah itu?




--i love you, R--
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar