Friday, June 22, 2018

Connecting


Aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang terlihat seumuran denganku di dalam pesawat yang menuju ke Bali. Aku tersenyum ketika dia menemukan nomor tempat duduknya setelah bingung mencari dan berkali-kali melihat boarding pass di tangannya. Setelah beberapa detik dia meletakkan barang bawaannya di bagasi atas, dia duduk dengan senyum antusias yang mendarat di mataku. Gincu merah muda di bibirnya terlihat cocok dengan bentuk bibir dan kulit putihnya. Warna matanya terlihat terang tanpa garis merah yang biasanya ada di pinggir bola mata.

“Hai” tangannya antusias menjabat tanganku.

“Oh, hai” aku tersenyum menyambut jabat tangannya.

“Mau liburan?” perempuan itu melepaskan jabat tangannya.

“Iya, Ubud.”

“Ubud? Sama dong, aku juga mau ke sana.”

“Liburan juga?”

“Iya, sekalian jenguk nenek. Sendirian aja?”

“Iya nih, sendiri. Kamu juga?”

“Tadinya sendiri, sekarang udah duduk berdua sama laki-laki yang sama-sama mau ke Ubud,” dia tertawa kecil.

“Haha, ohiya aku Leo” aku menjabat tangannya.

“Aku Carina” dia tersenyum.

Carina memakai T-Shirt bermotif garis horizontal berwarna putih—biru yang ditekuk di ujung lengan T-Shirt. Memakai celana jeans yang juga ditekuk di ujungnya. Celana jeans yang berlubang di beberapa bagian itu sedikit menggangguku, paha putihnya tidak bisa kupungkiri terlihat oleh mataku. Carina memakai sepatu dr. Martens warna merah maroon dengan tiga lubang tali, tanpa kaos kaki. Membawa tas hitam kecil, jam tangan cassio warna cokelat dan beberapa gelang menghiasi tangan kirinya. Setelah beberapa menit dalam keheningan dan saling diam, Carina mengambil ipod dan earphone hitam dari tasnya.

“Suka musik apa?” tanya Carina.

“Relatif, tapi paling suka musik jazz sih.”

“Louis Amstrong?” Carina memakai earphone hitamnya.

“Iya, tapi aku paling suka Jimy Rushing.”

“Really? Jimy Rushing? Nenek aku suka banget sama Jimy Rushing” Carina melepas earphone hitamnya.

“Ohiya?”

“Iya, gara-gara nenek, aku juga jadi suka Jimmy Rushing.”

“Aku masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie Quintet.”

“Aku tahu! Blues After Dark kan?” Carina antusias.

“Iya, Perancis 1959” aku tersenyum menatapnya.

“Gendut, botak, hitam manis, suaranya bagus gemesin kalo lihat dia jalan di video-videonya” Carina tertawa lepas.

“Haha, sssstttt. Jangan ketawa keras-keras,” telunjukku mengacung di depan bibir.

“Ohiyaya, ssstttt,” telunjuk Carina ikut mengacung di depan bibir.

“Mau dengerin lagi?”

“Boleh” Jawab Carina.

Aku mengambil Ipad di tasku, lalu membuka file video yang sudah kudownload. Memakai earphone di telinga kiri lalu memakaikan earphone di telinga kanan Carina.

“Terima kasih” Carina membuka rambut yang menutup telinganya, menggiringnya ke belakang telinga.

“Sama-sama, Carina.”

Aku baru mau menekan tombol play, Carina sudah mendahuluiku. Menekan tombol play lalu mencubit jariku. Aku hanya tersenyum, Carina juga. Aku dan Carina melihat video itu bersama, hanya berdua. Sesekali Carina berkomentar lucu soal tubuh Jimmy Rushing yang gendut. Tangan kiriku yang menopang punggung Ipad mulai goyah, “Capek, Leo?” Tanya Carina. Tangan kanan Carina ikut menopang punggung Ipad tepat di bawah tanganku. Tangan kami bersentuhan, beberapa detik setelahnya jari-jari Carina mulai bergerak di punggung jari-jariku. Aku meliriknya yang tersenyum dengan matanya yang masih terpaku pada video. Jari-jari Carina masih bergerak mengelus jari-jariku. Aku membiarkannya.

“Nah, selesai juga videonya,” kataku, Carina menarik tangannya.

“Yah, kok udah selesai” keluh Carina.

“Haha, emang cuma segitu,” aku memasukan Ipad ke dalam tas.

“Sekarang, kita dengerin lagu-lagu yang ada di Ipodku ini ya” Carina menunjukkan Ipodnya padaku.

“Boleh, kita lihat seberapa bagus musikalitasmu.”

“Haha, oke. Kita lihat bareng, Le—O” balas Carina.

Carina memakaikan earphone di telinga kiriku, lalu aku memegang tangannya membantu memakaikan earphone, aku sengaja melakukannya, agar Carina merasakan apa yang aku rasakan ketika ia menyentuh tanganku tadi.

“Udah?” tanya Carina.
“Play,” jawabku.

“Lagu pertama nih, Leo,” Carina tersenyum menatapku.

“Asiik, Billie Holiday.”

“Gloomy Sunday, Leo. Lagu wajib sebelum aku tidur.”

“Jadi, sekarang kamu mau tidur?” tanyaku bingung.

Belum Carina menjawab pertanyaanku, matanya sudah terpejam. Aku masih terus mendengarkan lagu dari Ipodnya. Sudah lagu keenam setelah Gloomy Sunday milik Billie Holiday berhasil membuat Carina tertidur. Pundakku berubah hangat, melihat kepala Carina tersandar halus. Aku melihat Carina nyenyak dalam tidurnya. Lima belas menit lagi pesawat akan mendarat. Aku masih membiarkan pundakku dikuasai Carina. Jari-jariku menyentuh rambutnya, keningnya, pipinya, bibirnya. Carina terbangun, membuatku cepat-cepat menarik tangan.

“Aku ketiduran ya?” tanya Carina.

“Iya, Carina. Billie Holiday berhasil bikin kamu tidur.”

“Haha kamu, iih. Berapa lama aku tidur?”

“Setengah jam, mungkin,” aku tak yakin.

“Lama juga ya.”

“Kita udah mau mendarat, Carina. Jangan lupa safety belt.”

“Thank you, Leo.”

Pesawat sudah mendarat, Aku dan Carina turun dari pesawat bersama. Sebelum mengambil barang aku meminta nomor handphone Carina. Carina memberikannya dengan senang hati.

“Kamu dijemput siapa, Leo?” tanya Carina.

“Sepupuku. . . Kamu Carina?”

“Itu” Carina menunjuk sesorang yang melambaikan tangan ke arahnya, “Suamiku. Aku duluan ya, Leo.”

-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar