Thursday, March 15, 2018

Bahas #LoveForSale



Film dibuka dengan kebiasaan tokoh utama, Richard. Gambar itu memberitahu kita bahwa tokoh ini terjebak pada rutinitas pagi hari, bangun, “galer”, mengecek ponsel, menyapa tetangga. Gambar juga menunjukkan ruangan yang terlihat berantakkan. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang akan penonton lihat sepanjang film, pendekatan sederhana tanpa perlu banyak urusan artistik yang rumit tapi menjadi efektif dalam mendukung performa film.

Lalu, salah satu yang saya suka, adalah pendekatan kamera dalam adegan selanjutnya. Saat Richard & teman-temannya keluar dari sebuah tempat nobar bola. Kita sebagai penonton benar-benar masuk dalam scene itu, karena kamera yang memosisikan diri menjadi “manusia.” Long shot semacam itu agaknya sedikit sulit apalagi dengan melibatkan beberapa karakter dalam satu frame. Pendekatan ini sekali lagi untuk membuat penonton merasakan kenyataan cerita yang relevan dan dekat dengan keseharian kita.

Kemudian pelan-pelan Love for Sale mengajak kita mengenali dunia Richard, ia tidak buru-buru untuk mencapai inti, atau konflik. Film ini menempatkan penonton sebagai teman, ia memeluk kita perlahan, memberi kehangatan yang pelan-pelan dan tidak mungkin kita tolak karena kelembutannya dalam bertutur—mengutarakan cerita. Kita ditegaskan, bagaimana sifat tokoh Richard. Seolah film ini ingin menyelesaikan urusan sifat dan karakter tokoh Richard sebelum kita benar-benar dibawa masuk pada inti cerita.

Kedalaman Love for Sale dalam bercerita tidak saja tercermin dari uniknya tokoh Richard tapi juga intimidatifnya tokoh Arini, yang membuat saya menjadikan tokoh Arini sebagai salah satu tokoh perempuan favorit dalam sinema. Richard dan Arini menjadi entitas yang kuat dan berwarna, keduanya adalah oase dalam film Indonesia yang mungkin sebelumnya tidak pernah kita temui.

Ibarat pria yang beranjak move on, Love for Sale adalah film yang rentan, bebas, dan loveable. Hal itu sekaligus ditunjukkan dengan terang dan nyata lewat tokoh Richard dan Arini. Rentan karena film-film seperti ini (yang mampu menemukan bentuknya) bisa sangat disukai dan sangat tidak disukai, film ini akan memilih penontonnya sendiri. Bebas karena ia tidak menyimpan dendam dan luka pada apa pun; film ini tidak berusaha mempropagandakan suatu moralitas yang sering banyak kita temui di film-film kita.

Loveable; saat gambar menunjukkan Arini yang tertidur di sofa dan melihatkan jenjang kaki Arini, Richard menutupnya dengan selimut. Ini relevan, sangat nyata, bahwa orang-orang yang lama menyendiri (sulit move on) akan sangat “loveable” pada lawan jenis. Ia menjaga benar-benar sesuatu yang berusaha ingin dia gapai, padahal bisa jadi itu resiko. Tapi begitulah Love for Sale, ia tidak pretensius—apa adanya.

Kita dihadapkan pada kisah cinta yang sebetulnya abstrak. Richard yang digoncang oleh tokoh Arini. Dan Arini yang sangat unik. Tapi keabstrakkan itu ditutupi dengan pergulatan batin di antara keduanya, sehingga kita lupa bahwa sebetulnya hubungan yang dihadirkan sangat abstrak. Kisah cintanya mengalir apa-adanya tanpa kepura-puraan, tanpa meloncat untuk menemukan inti cerita. Ini menjadi menyenangkan karena kita sebagai penonton dibikin nyaman, tenang, dan jatuh cinta.

Cara-cara film menunjukkan lamanya 45 hari sebagai tugas Arini dari Love.Inc juga ditunjukkan sangat baik tanpa dipaksa untuk masuk dalam satu frame utuh. Seperti Raka yang lupa mengganti tanggal, atau Richard yang bertanya tanggal pada Pak Syamsul. Intinya, film ini tidak buru-buru dalam menyampaikan detail-detail cerita. Tanpa perlu bertentangan dengan aspek-aspek bercerita.

Juga komedi di Love for Sale sangat segmented, saya suka saat adegan Richard datang ke rumah orang tua Arini di Depok yang kemudian menjadi tempat shooting. Saat Richard bertemu ayah Arini, dan dialog di dalamnya seolah meruntuhkan batas antara cerita dengan produksi filmnya sendiri, yang juga dipertegas dengan setting (keriwehan pembuatan film). Dialognya cerdas, menjadi komedi yang sangat “sialan” untuk orang-orang yang mampu menangkap maksudnya.

Lalu, film memasuki babak akhir, saat Arini tiba-tiba menghilang entah kemana, Richard menjadi sangat polos mengira itu hanya candaan Arini. Cerdasnya Love for Sale, menghentikan cerita tentang Arini di titik ini, tidak lagi ditambah apa pun, membuat kita sebagai penonton ikut masuk merasakan kehilangan yang dialami, Richard. Paruh akhir film benar-benar seperti dongeng pegantar tidur, ia manis, indah dan cantik. Menyelami kerentanan Richard yang akhirnya memilih berdamai dengan diri sendiri, dengan simbol memberikan barang-barangnya pada Jaka, Raka, dan Syamsul. Bahwa siapa pun yang selesai dengan perkara move on, hidupnya akan bebas dan merdeka. Ditunjukkan film ini melalui Richard yang berkelana jauh menggunakan motor impiannya.

Tapi, Love for Sale bukan tanpa kekurangan, yang paling kentara adalah ketika saya tidak mampu mendengar dengan baik beberapa dialog dalam film ini, entah karena si tokoh yang terlalu cepat berutur atau proses shooting dan editing suara yang kecolongan. J

#LoveForSale
#BanggaFilmIndonesia


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

1 comment:

Ayo Beri Komentar