Tuesday, December 19, 2017

Recitativo #5


Ini minggu yang menggairahkan buatku, pertama karena album Payung Teduh – Ruang Tunggu sudah rilis. Mendengar lagu-lagu di dalamnya aku jadi teringat sajak-sajak Pablo Neruda yang membicarakan cinta dan humanisme, juga seperti membaca kalimat-kalimat Haruki Murakami yang tulus apa adanya. Kedua karena seorang wanita tiba-tiba menghubungiku melalui Whatsapp, ia kembali menjadikanku rumahnya untuk curhat. Aku langsung bisa menebak wanita ini baru saja mengalami putus cinta.

Awalnya memang wanita ini sering menceritakan banyak hal, tapi beberapa bulan yang lalu ia memblokir semua sosial mediaku karena mungkin kekasihnya yang posesif atau barangkali dirinya sendiri yang terlalu parno kalau-kalau hubungannya bisa rusak hanya karena satu orang yang tak berniat apa-apa atas dirinya (Baca: Aku). Jujur aku tidak memasalahkan hal-hal semacam ini, karena begitu sering aku mengalaminya.

Aku suka ketika seseorang datang saat ia sedang membutuhkan, artinya aku dibutuhkan, artinya orang itu sempat memikirkan kemungkinan aku untuk menyelesaikan masalahnya atau sekadar bercerita tentang hari-harinya—artinya dia memikirkanku. Aku suka hal-hal sederhana semacam ini, mendengarkan celotehan-celotehan kecil dari orang lain, meski hati sendiri berulangkali minta diobati.

Para wanita yang patah hatinya adalah makhluk paling rentan. Sialnya banyak pria yang memanfaatkan kerentanan itu. Mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan, bukannya berusaha ikut mengobati rasa sakitnya, mereka justru mengambil alih perasaan yang seharusnya disembuhkan lebih dulu sebelum masuk dunia dan hubungan yang baru. Mungkin dari sana istilah “pelarian” ditemukan dan muncul ke permukaan.

Aku membenci pria-pria semacam ini, mereka tidak bertanggung jawab, entah pikiran mereka ada di mana. Mereka tak memiliki batas yang seharusnya dimiliki setiap orang, bukannya malah menunggu orang menunjukkan batasnya. Pria-pria semacam ini harus dijauhi atau bila perlu dimusnahkan dari muka bumi. Aku tidak sedang bercanda untuk hal ini.

Adalagi teman-teman kelas yang sungguh sangat menyebalkan karena pikirannya yang sempit, mereka tak memiliki kemampuan analisis purna tapi lagaknya berasa yang paling cerdas. Mereka menelan mentah-mentah setiap kata dari seseorang yang dituakan. Padahal jika mereka mampu melihatnya dari sudut pandang lain, sesungguhnya pikiran kita sedang dipermainkan.

Belakangan aku sering bertemu para pengajar yang ujung-ujungnya seperti mendoktrin, mepropagandakan sesuatu, mereka membicarakan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ilmu yang seharusnya dan seperlunya disampaikan. Mungkin benar kata bapak, radikalisme sekarang disampaikan lewat bangku-bangku sekolah atau kuliah melalui pengajar yang juga radikal dan mungkin otaknya sering masuk ke selokan.

Sialnya kebodohan-kebodohan macam ini bisa sangat mudah kita temui pada wanita-wanita. Entah apa yang sedang terjadi di pikiran dan hati mereka. Seolah mereka tidak kokoh, tidak memiliki idealisme yang seharusnya sudah menempel pada tiap orang sejak ia dilahirkan. Kita mungkin sering melihat seorang wanita yang bernafsu untuk dinikahi atau ingin memiliki pacar lewat kode-kode yang disampaikan lewat sosial medianya. Mereka mungkin tak berpikir bahwa seorang pria akan menikah ketika mereka siap dan ketika wanitanya memang pantas untuk dinikahi. Maka dari itu pantaskan dirimu, bukannya justru merendahkan diri seperti hewan melata.

Minggu ini juga jadi minggu yang membuat saya banyak tertawa, seorang wanita tiba-tiba entah dari mana, analisis semacam apa menganggap diri saya seorang Gay hanya karena saya mendukung kemerdekaan kaum LGBT. Dunia memang bisa hancur lebur jika pemikiran-pemikiran macam ini dibiarkan berkeliaran di sekitar kita, orang-orang yang tak paham apa-apa tapi berlagak paling tahu segalanya hanya untuk dibilang pintar, padahal tololnya bukan main.

Saya mendukung kemerdekaan mereka bukan berarti saya mendukung praktek perzinahan, danlagi narasi-narasi yang terus digaungkan soal “kumpul kebo” disampaikan oleh orang-orang yang menurut sepenglihatan saya justru orang-orang yang alim. Pertanyaannya jika orang-orang gay disebut kumpul kebo, lalu teman-temanmu sepasang kekasih yang suka melampiaskan nafsunya di kamar kos kau sebut kumpul apa? Kumpul tai? Atau kumpul asu? Biasakan memahami segalanya bukan dengan klaim tertutup atau cuma ikut-ikutan orang lain, ingat kita punya otak—itu dikasih gratis oleh Tuhan. Maka pakailah!


Sekian.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar