“Bagaimana
kata-kata telah membuat banyak orang jatuh cinta dengan mudah, tanpa batasan,
tanpa prasangka.” Kalimat itu adalah kesimpulanku saat Talia pada akhirnya
masuk ke duniaku. Aku tak butuh banyak modus untuk membuatnya mendekat, tak
butuh banyak gombalan tragis yang banyak dilakukan kebanyakan pria saat ini.
Cukup saat Talia membaca salah satu tulisanku, umpan telah dimakan, aku tinggal
menariknya cepat-cepat.
Aku
tak pernah paham bagaimana Tuhan menciptakan konstelasi pikiran para wanita,
dia subtil, namun kesubtilannya terasa dibuat-buat, sekejap menjadi seorang
putri, sekejap menjadi makhluk paling menyebalkan di dunia. Banyak wanita tak
bisa memahami perannya, banyak yang keliru memahami apa itu feminisme.
Kebanyakan wanita terlalu sering mempersempit pemikirannya, tak sadar bahwa di
mata orang lain itu bisa diartikan sebagai golongan terendah makhluk
hidup—sengaja merendahkan diri.
Aku
mengetahui hubungan antara Ed & Talia, mereka terlihat romantis, namun
sejatinya tidak—setidaknya bagiku. Wanita era ini memang perlu membaca tulisan
dari Daniel Defoe tentang “Pendidikan Kaum Wanita,” tulisan itu dibuat tahun
1719 dan masih sangat relevan untuk dibaca. Bahwa ada yang memerjuangkan hak
wanita, hingga harus memertaruhkan nyawa, namun kenyataan sekarang, sejarah itu
hanya menjadi omong kosong, yang sialnya dilakukan oleh kaum itu sendiri.
Aku
ingin merasakan satu peran yang belum pernah kucoba sejak dulu. Dan aku
mengambil kesempatan saat Talia secara tidak langsung menjalin hubungan dengan
Ed. Peran yang tak disukai banyak orang, peran yang membuat banyak orang tak
lagi mau merasakan apa itu cinta. Aku tak menganggap Ed adalah orang ketiga
dalam hubungan kami. Aku harus bilang, orang ketiga itu adalah aku.
Talia
menceritakan semuanya tentang apa pun yang dia lakukan bersama Ed, sejak
berkenalan hingga Talia memutuskan meninggalkan ruang tidur Ed. Talia bercerita
di ruang tamu rumahnya, dengan tangis yang tak bisa ditahan, tangis untuk
membuatku merasa kasihan. Sekalipun tak ada tangis itu, aku tetap tak akan
marah, aku mengerti bahwa wanita adalah makhluk rentan yang pintar
menyembunyikan kerentanan itu.
Kami
duduk berdampingan di sebuah sofa, Talia duduk meringkuk, menyandarkan tubuhnya
padaku. Talia memegang beberapa tisu untuk menyeka air matanya. Aku berulang
kali mencium ubun-ubunnya, mencoba menenangkannya, persis seorang ibu yang
mencium bayi kecilnya. Aku sudah membaca semua cerita Ed & Talia, semua
yang ada di sana belum pernah kami lakukan. dan Talia mengatakan bahwa semua kejadian
yang ada di dalamnya adalah kejadian sebenarnya.
Percakapan
hari itu, di atas sofa cokelat panjang cukup melelahkan bagi Talia, tapi tidak
bagiku. Talia mengubah posisinya, dia berbaring, menjadikan pahaku sebagai
bantalnya. Kami terdiam cukup lama setelah Talia selesai menceritakan semuanya.
Aku sengaja tak mersepon cepat-cepat. Aku suka suasana sunyi ini, situasi di
mana aku bisa mendengar debar jantung Talia. Aku suka situasi di saat dua
manusia saling menunggu siapa yang hendak bicara, siapa yang hendak menatap dan
tersenyum lebih dulu.
Dari
tempatnya berbaring, aku tahu Talia terus tersenyum di saat aku menatap pintu
kayu yang mengkilap. Talia melingkarkan tangannya pada tubuhku. Dan percakapan
itu pun dimulai.
“Jadi,
soal Ed… Gimana dia sekarang?” tanyaku.
“Aku
gak peduli lagi…”
“Semudah
itu?” tanyaku sekali lagi, menatap mata Talia.
“Iya,”
Talia mengangguk menatapku—tersenyum.
“Gimana
bisa wanita sejahat itu, Talia.”
“Maksudnya?”
Talia bangkit, duduk menatapku serius.
“Terus
apa yang kamu cari dari Ed, kalo sekarang kamu udah nggak peduli lagi?” tanyaku
tanpa menatap Talia… Talia terdiam, aku menunggunya menjawab pertanyaanku.
“Kenapa
kamu belum pergi dari aku? Memang apa yang belum kamu dapet dari aku?” kataku
menambahi, Talia masih terdiam.
“Kenapa
kamu bisa setenang ini?” tanya Talia.
“Aku
telah membuktikan berbagai hal tentang bagaimana wanita menyikapi persoalan
cinta. Aku sudah banyak mengalami situasi-situasi yang nggak mengenakan. Dan
kamu tahu apa kesimpulanku? Nggak ada wanita yang benar-benar paham soal ini.
Mereka nggak pernah benar-benar mau memahami.”
“Maaf…”
Talia memelas.
“Kebanyakan
wanita terlalu hebat menafsirkan cinta, padahal sebetulnya mereka egois, mereka
ingin bahagia tanpa perlu berkorban, mereka selalu bernafsu untuk mendapatkan
apa yang dia mau… Kamu kira kata-kata: ‘Semua cowok sama aja’ karena apa?
Karena mereka nggak bisa dapetin apa yang dia mau. Akhirnya menyalahkan orang
lain…”
“Tapi,
laki-laki juga gitu,” Talia menambahi.
“Apakah
aku gitu?” balasku, Talia terdiam sekali lagi—menundukkan kepala.
Talia
memelukku, aku diam tak meresponnya. Dia mencium pipiku—lembut. Aku bisa
merasakan napasnya yang memburu. Aku masih terdiam saat Talia mulai menciumi
telingaku, memainkannya dengan lidah, hingga menyusuri leherku, bahkan aku
masih terdiam saat Talia mulai mencium bibirku. Situasi itu terjadi cukup lama.
Aku hanya memandang langit-langit rumah, dan memikirkan satu hal.
“Talia…”
kataku, Talia tak mengindahkan.
“Talia!”
kataku dengan suara yang sedikit kencang, membuat Talia menghentikan ciumannya
pada perutku. Talia bangkit menatapku.
“Aku
tahu… Sebetulnya kamu butuh ini sejak dulu. Ed memberimu cuma-cuma…”
“Harusnya
kamu juga…” kata Talia menggoda.
“Ed
nggak tahu,” kataku menggeleng.
“Nggak
tahu soal apa?” tanya Talia.
“Nilai
terendah seorang pria, saat mereka nggak bijak memandang wanita,” aku menatap
Talia, begitu dalam, membutanya terdiam cukup lama—menatapku.
“Sekarang
aku tahu, kenapa kamu memilih menyendiri… Aku tahu kenapa banyak orang nggak
suka sama kamu, aku tahu kenapa kamu begitu kerasnya berkomentar soal kami—para
wanita. Aku tahu… Kamu memerhatikan semua hal, aku nggak menyadari itu.”
“Tapi,
bukan berarti aku menolak,” kataku pada Talia, membuatnya tersenyum setelah
beberapa detik menatapku dengan raut muka datar.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar