
Filosofi
Kopi 2 adalah film yang pada akhirnya harus saya tulis di blog, setelah sekian
lama tidak menulis review Film Indonesia. Perkembangan film Indonesia yang
sangat pesat sejak 3 tiga atau empat tahun terakhir, tidak diimbangi dengan
kwalitasnya, banyak dari film-film box office yang kwalitasnya justru tidak
bisa dibilang baik. Buktinya film-film yang masuk festival film dalam ataupun
luar lebih banyak film-film yang jumlah penontonnya tak lebih dari seratus ribu.
Filosofi
Kopi 2 benar-benar menjadi film yang memberikanmu kesan baik setelah
menontonnya, persis film pendahulunya. Sejujurnya, saya menonton dua kali dalam
hari yang sama. Filosofi Kopi 2 adalah bukti kecintaan seseorang terhadap
sebuah sinema, yang saya maksud adalah Angga Dwimas Sasongko, selaku sutradara.
Dia tanpa kesulitan mengembangkan cerita dari kecintaannya terhadap kopi, hal
yang dia temui mungkin hampir setiap hari, bersama Jenny Jusuf, Irfan Ramli,
dan dua pemenang sayembara meracik cerita Ben & Jody.
Saat
opening Filosofi Kopi 2 saya tak sengaja mengeluarkan kata-kata umpatan yang
membuat dua orang di samping saya menegur. Umpatan itu adalah bentuk kekaguman
saya pada gambar yang dihadirkan dalam sepersekian detik. Ya, gambar opening
Filosofi Kopi 2 begitu terasa narkotik, ditambah visi kamera dan warna film
yang membuat opening itu masih tergambar dalam pikiran saya, bahkan hingga saya
menulis review ini.
Setelah
scene Ben menelpon bapaknya, kita diajak mengikuti keseruan “Genk Filosofi Kopi”
di gumuk pasir, kamera dibuat slowmo, mengintimkan tokoh-tokoh yang akan
menemani kita di awal film, semacam perkenalan kembali. Dan, ah! Musik di awal
film itu membuat saya benar-benar jatuh cinta. Penonton diajak merasakan
kehangatan persahabatan mereka, yang berkeliling Indonesia menggunakan VW Combi
untuk membagikan kopi terbaik.
Sebelum
Filosofi Kopi 2 rilis, Angga sempat membagikan visi dia dalam pengambilan
shoot-shoot dalam film ini. Angga berujar dengan menjadikan lukisan Edward
Horper sebagai refrensinya. Saya sedikit terkejut, karena sedalam itu seorang
sutradara memaknai sebuah gambar pada sebuah film. Saya sedikit mengetahui
Edward Horper dari bapak saya, karya-karyanya menjadi salah satu yang
berpengaruh dalam seni lukis dunia. Dan ini benar-benar terlihat di Filosofi
Kopi 2, seperti scene Nana berpamitan untuk resign saat kehamilannya, lalu saat
Ben & Jody ditinggal dua barista (saat sebelum Jody membuka jendela combi
dan Ben duduk bersandar pada dinding Combi).
Nyawa
Filosofi Kopi dua terletak pada chemistry 4 karakter utamanya, Tara, Brie, dan
tentunya Ben & Jody. Saya lebih suka menyebut film ini film yang romantis, “Pure
Cinematic Romance” karena gambar dan visi kamera memang terasa begitu romantis,
mungkin karena Angga banyak mengambil shoot-shoot yang “intim”. Romantis karena
motivasi para tokohnya, apa yang terjadi pada mereka, dan tentu juga Musiknya!
List
Soundtrack dalam Filosofi Kopi 2 tak ada yang sia-sia, saya sering melihat
banyak Film Indonesia menggunakan soundtrack dan musik hanya supaya terdengar
keren, hal ini tidak berlaku untuk Filosofi Kopi 2. Musik menjadi bagian dalam
tiap scene, pengadegan dan motivasi tiap tokohnya. Hal ini bisa mempersingkat
durasi, seperti yang dilakukan film ini saat Ben mengalami “loncatan putar
balik” ketika lagu Zona Nyaman dari Fourtwnty “mengudara” di film. Ini efisien,
sangat efisien. Dan itu sangat berhasil dilakukan!
Konflik
film ini bisa dibilang kalo saya boleh lebay, “Konflik tingkat tinggi,” karena
melibatkan harga diri seorang Ben. Untung penulisnya mengakhiri film dengan
sangat manis dan baik “Amazing!” saya akan memaki-maki jika ending tidak dibuat
seperti itu, karena konflik sudah diberi pondasi yang kuat, sayang jika
diakhiri dengan ending yang “formal” dan terkesan kurang “menukik”.

Hanya
saja, ada beberapa detail penyutradaraan yang “luput”. Contoh: Saat Aga
mengajak bicara Ben & Jody saat ingin resign setelah Nana mengundurkan
diri, semacam tertukar nama, entah kesalahan atau apa. Kemudian saat Ben
meminum Enervon C saat sampai di Filsofi Kopi Jogja, karena kamera tak
melihatkan Ben minum, shoot selanjutnya gelas sudah tersisa setengahnya.
Kemudia saat scene reviewer di Filosofi Kopi, pergerakkan Ben & Jody
sedikit menyita perhatian saya, saat shoot diambil dari luar. Detail artistik saat
mobil berplat AB ada di Lampung pun demikian.
Brie
adalah salah satu tokoh wanita dalam sebuah film yang sangat saya cintai. Tara,
saya meyakini Luna Maya pantas mendapatkan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik
melalui Filosofi Kopi 2. Ah, dan Ben & Jody adalah refleksi pasangan
sempurna dalam sebuah film. Benar-benar tak terpikirkan ada aktor yang bisa
menggantikan mereka. Dan Visinema Pictures bersama Angga Sasongko, sekali lagi
membuktikan diri dengan “memberikan” sebuah film yang menjadi salah satu Film
Indonesia terbaik yang kita punya.
Saat
kita bicara tentang sekuel sebuah film, kita seharusnya tidak bicara sebuah
perbandingan—lebih bagus yang pertama atau sekuelnya. Seharusnya lebih kepada
sekuel ini berhasil atau tidak. Dan Filosofi Kopi 2 adalah contoh sekuel film
yang berhasil. SANGAT BERHASIL!
Untuk
siapa pun reviewer yang membaca ini, mari mulai mengedukasi penonton, kita juga
bisa ikut andil dalam memperbaiki kwalitas Film Indonesia dengan tidak
sembarangan mereview sebuah film, setidaknya itu yang saya yakini. Itu yang
ideal untuk saya. Terima Kasih :))
Dan
seperti kata Ben, “Kopi yang enak harus dibagi-bagi”. Film yang bagus juga
harus dibagi-bagi. Mari kita kopiin Indonesia!
#BanggaFilmIndonesia
#AyoFilmIndonesia #FilosofiKopi2
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar