"Berhentilah
menatap jendela, Elina. Hujan telah lama reda. Apalagi yang sedang kau pandang,"
Ucap Pak Presiden. Pagi ini Presiden Irak akan datang untuk menandatangani
kerjasama bilateral. Hujan yang tadi datang menyita pandangan Elina. Ini memang
pekerjaan Elina, menatap hujan selain menjaga dan mengawal RI 1. "Saya
sedang menatap sisa-sisa hujan, pak. Aroma tanah yang tercium meredakan rasa lelah
yang datang," Jawab Elina.
Pak
Presiden selalu bersikap santai pada pengawal-pengawalnya, meski para pengawal selalu
bersikap kaku ketika Pak Presiden bersikap santai. Presiden yang dicintai
rakyatnya dengan bukti 80% perolehan suara pada pilpres tahun lalu yang
membuatnya menjadi presiden untuk periode kedua masa kepemimpinanya. Kemiskinan
turun drastis menjadi 4,5%. Rekor untuk sebuah negara yang masih berkembang.
Elina selalu menjadi pilihan Pak Presiden dalam mengawalnya. Pak Presiden
menyebut Elina pengawal pribadinya, meskipun Elina ogah disebut seperti itu.
Elina
perempuan yang jago karate, juara karate dalam Olimpiade Beijing tahun 2008.
Alasan kenapa Pak Presiden memilih Elina untuk menjadi pengawal pribadinya.
Mungkin karena Presiden merasa dirinya lemah, sehingga dia mencari pengawal
pribadi yang mampu membuat dirinya merasa aman. Presiden lemah tapi punya kecerdasan
yang luar biasa. IQnya 160, setara dengan Einsten. Dua kali pindah Sekolah
Menengah Atas karena menentang kepala sekolah yang dinilainya korup dan tak
becus dalam memimpin. Hampir setiap bulan selalu masuk Kantor BK karena
celotehannya yang dia tulis di dinding-dinding sekolah. Siswa yang punya
pengaruh besar terhadap teman-temannya. Dianggap nakal oleh kepala sekolah tapi
dianggap hebat oleh teman-temannya.
Elina
lulusan terbaik Harvard University, visi yang idealis membuat presiden jatuh
hati dengan kecerdasan dan bakatnya. Elina juga sering membantu Presiden dalam
memutuskan segala hal yang dirasa Presiden susah untuk di putuskan. Elina
selalu mempunyai pandangan perspektif yang tidak dilihat orang. Melihat segala
sesuatu dari sisi yang tidak dilihat orang lain. Pengawal sekaligus teman
mengobrol RI 1. Salah satu program kerja Presiden untuk mereformasi pejabat
negara adalah ide dari Elina. Di periode ke dua kepemimpinan Presiden semua
pejabat diganti oleh para ahli dibidangnya bukan dari partai politik. Gebrakan
yang langsung membuah IHSG menguat.
Pasukan
khusus Presiden sedang mengawal kedatangan Presiden Irak. Kali ini berbeda. Ini
tamu khusus Pak Presiden. Presiden Irak datang dari jalur laut untuk
menghindari kejaran media. Elina belum mengetahui perjanjian apa yang akan
dibahas dalam pertemuan kali ini. Pak Presiden belum memberitahu Elina. Sebelum
Presiden Irak, juga sudah datang perwakilan dari Mesir dan Libya yang juga
belum diketahui Elina apa maksud tujuan mereka menemui Pak Presiden. Mereka
membawa sebuah alat dalam koper berwarna perak. Isinya bukan uang karena tidak
mungkin seorang yang diutus kepala negara membawa uang dalam koper untuk
seorang Presiden. Apalagi RI 1 menyatakan dirinya anti korupsi.
"Negara
ini hebat, Elina. Saking hebatnya banyak orang yang berebut untuk bisa menguasai
negara ini. Stabilitas politik sengaja di goncang. Cara mereka untuk membuat
negara ini terus begini" ucap Presdien yang duduk di depan Elina. Presiden
menyangkan dengan banyaknya kepentingan yang tidak memprioritaskan rakyat
diatas kepentingan segalanya.
"Sebenarnya
hal yang paling susah dalam hidup bernegara itu bukan menciptakan sistem. Tapi,
menciptakan sumber daya manusia yang hebat dan idealis, bukan sekedar hidup
tapi tak tahu terimakasih dengan negaranya," Jawab Elina.
"Benar,
Elina. Sangat susah menciptakan itu semua. Sumber daya alam kita melimpah.
Namun sumber daya manusia yang ada belum bisa menyeimbangakan itu semua."
Percakapan Elina dan Presiden tersambung hingga percakapan pribadi. Waktu yang
pas sembari menunggu tamu kenegaraan dari Irak. Pak Presiden sering menggunakan
waktu luang untuk berbincang dengan Elina sekaligus mencuri ide brilian dari Elina.
Pernahkah
kau berpikir bahwa nasibmu tak sebaik nasib orang lain? Elina merasakannya.
Untuk melindungi seorang Presiden adalah pekerjaan yang tak mudah, dibutuhkan
segala bentuk emosi yang bisa dikendalikan secara baik. Nyawa RI 1 mungkin
sedang Elina genggam. Elina hampir ingin bunuh diri karena pekerjaannya yang
penuh resiko diawal masa kerjanya sebagai pengawal Presiden. Nyawanya dan
seluruh keluarganya bisa saja juga ikut terancam. Setelah hampir lima tahun dia
bekerja disamping Presiden, Elina sudah merasa menjadi orang yang paling
beruntung diantara orang di dunia. Bisa ikut memberikan pemikirannya untuk
kemajuan negara. Hal yang Elina cita-citakan sejak dia kecil.
Secara
job sheet Elina bekerja sebagai salah satu pengawal Presiden. Tapi, Pak
Presiden menganggap Elina lebih dari seorang pengawal ataupun atlet karate
hebat. Pernah pada satu kesempatan ketika Presiden blusukan ke wilayah timur
negara, Pak Presiden hanya ingin dikawal oleh Elina. Tahun ini adalah tahun
dimana Presiden ingin membangun wilayah timur dengan membawa Elina agar Elina
bisa memberikan ide dalam perencanaan pembangunan wilayah timur. Bisa dibilang
Elina dan Pak Presiden adalah partner kerja yang ideal. Sangat ideal.
Seorang
pengawal yang lain datang memberitahu Pak Presiden bahwa dalam 15 menit
Presiden Irak akan sampai ke Istana Negara. Pak Presiden nampak santai, belum
mau bersiap-siap menyambut kedatangan Presiden Irak. "Enggak siap-siap,
pak?" Ucap Elina. "Ah, santai saja, Elina. Presiden Irak ini orang
yang santai, tidak perlu hal yang formalitas, lagian kedatangannya tidak akan
diliput oleh media". Elina hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan.
Hal yang biasa ketika Elina menghadapi sifat santai Pak Presiden.
“Sepuluh
menit lagi, Presiden Irak akan sampai pak. Mohon Pak Presiden bisa
mempersiapkan diri untuk kedatangannya” Ucap Elina. Kedatangan Presiden Irak
tidak dikawal oleh tim pengawal Presiden seperti kebanyakan tamu kenegaraan
yang lain. Persetujuan antara Pak Presiden dan Presiden Irak untuk tidak
dikawal, untuk menghindari pemberitaan dari media. Belum diketahui jelas apa
maksud kedatangan Presiden Irak. Mungkin hanya untuk bersilaturahim.
Kurang
dari lima menit Pak Presiden sudah berganti setelan jas hitam dengan dasi merah
gelap. Memang tidak butuh waktu lama untuk Presiden berganti pakaian. Tim
wadrobe kepresidenan sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Peci hitam dengan
lambang negara di sisi kanannya melengkapi setelan jas yang nampak sedikit
kebesaran di tubuh Pak Presiden. Mungkin karena Pak Presiden kurus. Sepatu
hitam kempling, hampir bisa digunakan untuk berkaca. Lencana Presiden di
telinga Jas dan sapu tangan yang berbentuk segitiga menghiasi kantung jas
Presiden. “Lima Menit lagi untuk kedatangan Presiden Irak” Ucap Elina.
“Semua
bersiap, Presiden Irak memasuki gerbang Istana. Standby” Seru Elina kepada
pengawal lain melalui handie talkie. “Mari Pak Presiden” Ucap, Elina dengan tangan
yang mempersilahkan Pak Presiden. Standard protokoler. Membawa Presiden menuju
pintu utama untuk menyambut tamu kenegaraan. Elina berdiri di belakang Presiden
dan Istri, juga menteri dalam negeri. Mobil yang menjemput Presiden Irak
memasuki halaman lobby istana, hingga benar-benar berhenti, salah satu pengawal
membukakan pintu. Pak Presiden menyambutnya dengan cipika-cipiki, formalitas
yang sebenarnya tak perlu dilakukan oleh Presiden, terlebih Presiden berjenis
kelamin laki-laki. Elina melihatnya risih.
“Selamat
malam, Pak Presiden tampak cerah sekali,” Presiden Irak menyalami pak Presiden.
Lumaya lama Pak Presiden bercakap-cakap dalam posisi saling bersalaman. Lalu
menyalami Ibu Negara yang berada persis di samping Pak Presiden. “Gimana sehat,
bu? Belum bosan menemani presiden?” tawa kecil keluar dari bibir ibu negara dan
pak presiden. “Ah tidak, saya selalu setia mengarahkan bapak agar tidak
terjerumus,” ujar ibu negara. Setelah menyalami Pak Presiden dan Ibu Negara.
Presiden Irak menyalami Elina yang berada di belakang Ibu Negara. “Ah, Elina.
Wakil Presiden baru. Orang paling beruntung. Hanya kamu Wakil Presiden yang
dulunya adalah pengawal presiden, Hebat Elina” Presiden Irak memegang pundak
Elina. “Terimakasih, Pak. Saya merasa terhormat menjadi Wakil Presiden baru,” Elina
dengan kaku menjawab.
Jiwa
Elina masih seperti seorang pengawal presiden. Sekalipun dia adalah Wakil
Presiden di periode kedua masa kepemimpinan Pak Presiden. Tapi, terkadang Elina
juga risih ketika Presiden masih memperlakukan dirinya seperti pengawal
presiden. Rasanya Elina ingin menegur. Tapi, keinginannya menegur selalu saja
kandas. Elina lebih ingin menjaga kondisi baik dengan Pak Presiden. Baginya
stabilitas politik adalah salah satu hal yang bisa membuat suatu negara menjadi
negara yang diinginkan banyak penduduknya. Ekonomi, pendidikan dan harga-harga
yang murah adalah keputusan politik. Jika stabilitas politik baik semuanya akan
terpenuhi sesuai keinginan. Sebaliknya, jika politik tidak stabil akan banyak
tawar-menawar di elit politik negeri ini. Lalu terjadilah suap-menyuap dan
korupsi.
“Mari
kita ke ruang tengah” Ajak Pak Presiden. Ruang tengah adalah ruang yang
biasanya dipakai untuk open house. Masyarakat bisa bertemu presiden setiap
malam Jumat, menyampaikan aspirasinya atau sekedar foto bersama Pak Presiden.
Ruangan dengan foto mantan presiden di dinding-dinding penyangga. “Elina,
tolong panggilkan Pak Budi,” Suruh pak presiden, tanpa melihat bahwa Elina
adalah Wakilnya. Pak Budi adalah kepala dapur Istana Negara. Juru masak yang
selalu menyediakan makanan bagi para penghuni Istana dan tamu-tamu kenegaraan.
Juru masak yang terkenal pintar memasak masakan khas daerah. “Siap, Pak
Presiden” Jawab Elina dengan menundukkan kepala.
“Jadi
bagaimana dengan proyek kita, pak?” Pak Presiden, mempersilahkan presiden Irak
menikmati suguhan dari Pak Budi. “Semuanya lancar, kita tinggal menunggu
negara-negara Arab menandatangani nota kesepahaman” Presiden Irak, meminum teh
rempah yang biasa disediakan Pak Budi untuk tamu kenegaraan. Elina berada
diantara mereka berdua. Tapi, sampai setengah jam pembicaraan berlalu tidak ada
satupun diantara mereka berdua yang mengajak Elina berbicara ataupun sekedar
basa-basi yang tidak menarik.
Elina
hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan yang terasa masih sangat lama untuk
sampai ujung pembicaraan. Sesekali Elina menatap pak presiden sembari tersenyum,
hal yang sama dilakukan Elina kepada Presiden Irak. Keadaan yang membuat Elina
merasa tidak ada bedanya antara menjadi pengawal Presiden dan Wakil Presiden,
diperlakukan Pak Presiden seperti pengawal Presiden, Elina merasa ketidakadilan
yang dilakukan Pak Presiden terhadapnya. Tapi, lagi-lagi Elina hanya diam.
Menganggap semuanya baik-baik saja. Menjaga hubungan baik adalah hal terpenting
bagi Elina.
Satu
jam jalannya pembicaraan Elina mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua
Presiden ini. Ada sesuatu yang terasa aneh ditelinganya. Diambilnya telepon
gengam di tas kecilnya, berpura-pura membalas pesan. Elina membuka Sound
Recorder memulai merekam semua pembicaraan yang tampak janggal. Kedua Presiden
ini membawa nama-nama presiden di daratan Eropa dan Amerika, juga nama-nama
negara di semenanjung Arab. Elina melamun, bengong. Sampai semuanya pecah
ketika Pak Presiden meminta saran kepada Elina.
“Bagaimana Elina? Kamu setuju?”
Elina sulit menjawab karena memang dia tidak tahu, hal apa yang sedang
ditanyakan Pak Presiden. “Maaf, sebenarnya apa yang sedang kita bahas, Pak
Presiden?”
“Negara-negara
Liga Arab ingin mengajak kerjasama negara kita untuk membuat senjata pembunuh
massal, Elina,” Pak Presiden mengambil bungkus rokok dari dalam saku jasnya.
“Maksudnya
Nuklir, Pak Presiden?”
“Iya,”
Kata Pak Presiden, mengambil satu puntung rokok.
“Maaf,
untuk apa kita membuat Nuklir, Pak Presiden?”
“Ya,
kamu tahu sendirikan, sudah banyak negara yang mempersenjatai dirinya dengan
alat pembunuh massal itu,” Pak Presiden menyulut rokok yang terapit di
bibirnya.
“Negara
ini aman-aman saja, Pak. Tentram, penduduknya hidup dengan tenang dan damai.
Jadi kenapa Negara kita harus ikut membuat senjata pembunuh massal itu?” Tanya
Elina serius.
“Kamu
tidak paham, Elina. Amerika, Russia, China, Korea Utara dan negara-negara lain.
Mereka siap menjatuhkan nuklir kapanpun sesuka mereka, dimanapun tempat yang
mereka suka,” Asap rokok mulai berhamburan diantara mereka.
“Tapi,
dengan alasan apa pak?”
“Memperluas
wilayah, kejayaan, harga diri Elina. Jadi kalau kita tidak siap, Negara kita
akan hancur seketika tanpa perlawanan,” Pak Presiden mengapit rokok pada
sela-sela jarinya.
“Kalau
begitu perang dunia ketiga bukan hanya mitos? Akan benar-benar terjadi?” Tanya
Elina.
“Begitulah
faktanya, Elina.”
“Tidak
pak, kali ini saya tidak setuju,” Tegas Elina, menggeleng.
“Elina!!
Baru kali ini kamu membelot,” Suara Pak Presiden meninggi.
“Saya
jelas tidak sudi menjual negara ini, hanya karena ketakutan Pak Presiden yang
tidak terbukti dan tidak jelas,” Tegas Elina.
“Keluar,
Elina!! Keluar!!” Bentak Pak Presiden, Muntab.
“Baik,
pak. Terimakasih. Saya permisi,” Elina pergi, berlalu meninggalkan Pak Presiden.
Presiden Irak tersenyum menatap Elina. Elina mengangguk.
Elina
keluar dengan perasaan jengkel, muntab. Wakil Presiden yang tidak dianggap.
Sakit hati yang memuncak, Elina pergi meninggalkan Istana. Pulang ke rumahnya
yang berjarak dua kilometer dari istana. Elina berkendara sendiri, menolak
sopir yang menanyakan ingin pergi kemana. Elina memacu kendaraanya dengan
kecepatan yang tidak biasa, jalanan lumayan sepi. Hanya butuh sepuluh menit
untuk Elina sampai dirumahnya. Elina tertahan di dalam mobil, ditempelkannya
kening pada stir mobil. Elina merasa keputusan Presiden adalah keputusan yang
salah, sangat salah. Elina befikir apa yang harus dia lakukan.
Bunyi
dering pesan masuk di handphone Elina membuatnya tersentak. Belum membuka
pesan, Elina menyadari bahwa rekaman pembicaraan di handphonenya masih
berjalan. Hampir tigapuluh menit, Elina menyimpan hasil rekaman itu, lalu
memutarnya kembali. Dipercepat—diperlambat , mendengarkan lagi percakapan yang
baru saja terjadi di Istana. Elina turun dari mobil masuk rumahnya dengan
tergesa-gesa, menuju meja kerjanya, menyalakan laptop lalu mencari daftar Email
media massa. Koran, majalah, media online, radio, televisi. Elina membuka akun
Emailnya, berniat untuk mengirim rekaman itu melalui email. Elina menuliskan
alamat email itu satu persatu, memindahkan rekaman dari handphone ke laptopnya.
Dengan subjek “Percakapan Pak Presiden dan Presiden Irak”.
Belum
ada setengah jam, seluruh stasiun TV sudah memberitakan soal rekaman yang
dikirimkan Elina, banyak wartawan yang mendatangi Istana untuk mengetahui
kepastian berita itu. Pertemuan Pak Presiden dan Presiden Irak masih
berlangsung, kegaduhan di luar Istana menghentikan pembiacaraan diantara
mereka. Presiden menanyakan kegaduhan yang ada di luar kepada salah satu staff
kepresidenan, “Maaf pak, sepertinya pak presiden harus menonton siaran televisi,”
jawab salah seorang staff presiden. “Ada apa?” Pak Presiden pamit meninggalkan
Presiden Irak untuk melihat siaran televisi.
“Breaking
News, sekarang saya sudah berada tepat di depan Istana Presiden untuk mencari
kepastian atas berita rekaman pembicaraan antara Presiden dengan Presiden Irak,
yang dikirimkan oleh Wakil Presiden. Bisa kita lihat kegaduhan yang ada di
depan Istana, sampai berita ini disiarkan belum ada perwakilan dari istana yang
menemui para wartawan dan memberi penjelasan” Ucap salah satu wartawan dari TV
sembilan. Presiden mendegarkan rekaman yang diputar TV sembilan dengan seksama.
Rekaman belum rampung Pak Presiden langsung menelpon Elina dengan perasaan yang
kalang-kabut.
Lima
panggilan tak terjawab, Elina tertidur di meja kerjanya, handphonenya masih
terus berdering. Elina mulai terbangun setelah dering panggilan ke tujuh
menyentaknya. Telepon dari Pak Presiden. Elina mendiamkan hingga sepuluh kali
panggilan tak terjawab. Elina menyalakan televisi, tersenyum, entah tersenyum
puas atau apa. Setelah ini Elina akan dianggap pejabat pro rakyat karena
menolak proyek senjata pembunuh massal itu. Agaknya Elina menganggapnya seperti
itu. Sekali lagi terdengar panggilan masuk dari pak presiden. Elina menjawab
panggilan itu setelah dering ketiga.
“Bagaimana
Pak Presiden? Sudah melihat kegaduhan yang terjadi? Semua televisi menyiarkan
berita yang sama, prestasi bukan?” Elina terkekeh.
“Elina!!
Kamu bukan Wakil Presidenku lagi!! Jengkel Pak Presiden.
“Kebetulan
pak saya juga mau mengundurkan diri, cukup adil bukan?” Remeh Elina.
“Elina!!
Bodoh!!”
“Oops,
ada yang marah besar” Elina tertawa keras. “Tenang saja pak presiden kegaduhan
ini tidak akan membuat jabatan anda hilang, siapa yang berani menangkap seorang
presiden yang dinilai pro rakyat, presiden yang hanya mencuri ide pembangunan
dari orang lain. Butuh waktu lama untuk para dewan memutuskan anda harus turun
dari jabatan, Birokrasi yang ribet. Presiden sampah, pencitraan teruusss!!” Pak
Presiden muntab, belum sempat dia menjawab, Elina sudah menutup teleponnya.
Perkataan
Elina benar, tidak ada yang berwenang menangkap presiden. Masalah ini membuat
kegaduhan. Demo besar-besaran terjadi di Ibu Kota, meminta Presiden turun dari
jabatannya, ini sudah berlangsung seminggu lamanya setelah rekaman pembicaraan
pertamakali disebar. Elina belum resmi mengundurkan diri, Pak Presiden juga
belum jadi memecat Elina. Ibu Kota luluh lantak, banyak dari penduduk memilih
sejenak keluar dari Ibu Kota. Para Mahasiswa dari seluruh negeri tidak
henti-hentinya berorasi siang dan malam, menganggap presiden menjual negara ini
kepada negara-negara Arab.
Pak
Presiden berpikir keras untuk mengembalikan keadaan negara menjadi normal lagi.
Dua minggu berjalan kegaduhan masih terjadi, Ibu Kota semakin Luluh Lantak.
Istri Pak Presiden menyarankan untuk turun jabatan, ketua umum partai dan
koalisi partai pengusung presiden juga menyarankan hal yang sama. Presiden
semakin bingung, jika dia mengundurkan diri Elina akan menggantikannya. Jika
pak presiden memecat Elina sebelum mengundurkan diri, masyarakat akan semakin
membenci presiden.
Hari
ke enambelas. Pak Presiden memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai presiden, Pukul sepuluh pagi Elina dilantik menjadi Presiden. Tidak ada
pembicaraan antara Elina dan Pak Presiden. Pak Presiden yang kini mendapat
gelar mantan presiden langsung meninggalkan Istana. Seluruh penjuru kota
bergembira kegaduhan berubah menjadi tawa kegembiraan karena perjuangan yang
tidak sia-sia untuk menggulingkan presiden yang dulunya dianggap Presiden pro
rakyat. Pesta diadakan dimana-mana, kembang api dan suara terompet menghiasi
langit ibu kota hingga malam. Enambelas hari yang kelam, perekonomian negara luluh
lantak. Mata uang melemah.
Pukul
sembilan malam, sebelas jam setelah Elina dilantik menjadi Presiden. Elina
meminta staff kepresidenan meninggalkannya sendiri untuk menelpon seseorang.
“Thankyou,
brother. Sedikit kacau tapi semuanya berjalan dengan lancar,” Ucap Elina.
“Dengan
senang hati, Elina,” Balas Presiden Irak.
......
Keren, plotnya ngalir dengan ending yang ngga terduga. Cuma saya sedikit gagal paham sama bagian pendahuluan yang nyatain kalau Elina itu seorang 'pengawal', tapi di bagian selanjutnya malah nyebut Elina sebagai 'wakil presiden'. Kaya ada 'missing link' diantara dua bagian itu. Hehehe.
ReplyDeleteTapi untuk keseluruhan cerita ini keren, saya suka :D
bukan "missing link" itu sengaja. memberitahu tokoh Elina lewat sudut pandang penulis dan lewat cerita yg ditulis penulis. Sengaja mau memunculkan kesan "oh ternyata" pada setiap pembaca. Terimakasih sudah baca, salam kenal.
Delete