Friday, March 4, 2016

Ran Fleuriste #2 Final Episode


Ranum menarik tubuhnya, mendorong kedua lengan Rain. “Kenapa kamu menciumku? Ini bukan kamu” Kata Ranum, menatap Rain.

“Aku cuma ingin membuka diri, Ranum. Melepas rasa sakit yang terlalu lama aku pelihara… Sendiri bukan temanku, Ranum... Aku butuh kamu.”

“Aku nggak bisa—aku nggak sanggup, Rain. Sorry.” Ranum duduk menjauh, di ujung Sofa. Rain mencoba mendekat. Tapi, Ranum memberi isyarat dengan tangannya untuk membuat Rain berhenti mendekat. “Aku kira ini bukan soal sanggup atau nggak sanggup, Ranum. Ini soal aku dan kamu, kita harus mencoba menanam asa sekaligus melawan ketakutan atas hati yang mulai mengering. Kita sama-sama punya masa lalu yang menyedihkan. Kamu tahu itu, Ranum.”

“Aku tahu.”

“Jangan berkompromi sama masa lalumu, Ranum” Rain memelankan suaranya, mencoba menenangkan Ranum.

“Eh jaga bicaramu, Rain!!” Suara Ranum meninggi. “Aku nggak berkompromi... Terus, kenapa kamu bisa cinta sama aku? Kita belum kenal lama, Rain.”

“Apa semua hal yang kita rasakan butuh alasan?” Rain menatap Ranum—Ranum terdiam.

“Jelas butuh lah. Terus… Apa itu cinta?” Tanya Ranum, memecah keheningan.

“Aku nggak tahu. Apa perlu satu kata itu dicari artinya? Kamu sendiri tahu semua kamus, semua bahasa yang ada di dunia, nggak ada yang bisa mengartikan satu kata ini.”

“Kamu pernah jatuh cinta kan?” Tanya Ranum.

“Pernah—pernah Ranum, Sekarang aku ngerasain. Kamu kan tahu.”

“Gimana kamu bisa tahu kalau itu cinta? Apa alasannya?” Ada jeda yang memisah tanya. Rain terdiam. Menatap Ranum yang penasaran menunggu jawaban Rain.

“Selama cintamu nggak beralasan dan nggak punya pembenaran, aku cuma awan yang nggak akan bisa kamu genggam, Rain” Ranum meninggalkan sofa, membuka pintu, mempersilahkan Rain untuk pergi. Rain bangkit dari duduknya, merapikan setelan jasnya lalu menuju pintu, tersenyum menatap Ranum. “Memang terasa aneh, mencoba menjalin hubungan dengan seseorang yang baru disaat kamu masih belum bisa melupakan seseorang yang dulu” Raut muka Rain berubah, rahangnya mengeras. “Bye, Ranum.” Ranum membanting pintu setelah Rain keluar dari rumahnya.

Malam menyisakan air mata untuk Ranum. Apa yang baru saja dia alami adalah hal yang sudah lama selalu dia hindari. Sebuah perdebatan, pertarungan yang membuat salah satunya terpaksa mundur dan terpaksa menjadi manusia paling jahat di muka bumi. Pertengkaran memang cara yang paling hina untuk memisahkan kedua manusia yang saling mencintai. Kenapa tuhan menciptakan pertengkaran dalam suatu hubungan. Apakah tuhan benar-benar tidak mengenal cinta. Jika tuhan memahami, dia tidak akan repot memisahkan sepasang manusia yang saling mencintai, mungkin, karena tuhan tak pernah tahu rasanya sakit hati.

Lama Ranum duduk di sofa yang membekas tetes air matanya sejak tadi, ponselnya berdering. Sean menelpon.

“Hallo, Sean?” Isak tangis Ranum terdengar di telinga Sean.

“Aku otw kerumahmu, tunggu” Sean menutup telponnya, bergegas menggenjot sepedanya menuju rumah Ranum. Rumah Sean dan Ranum tidak berjarak jauh. Hanya melewati 5 blok. Kurang dari satu kilometer.

Ranum memegang Snifter berisi Red Wine, Monte Alpha di tangan kirinya. Matanya kosong membayangkan kejadian yang baru saja dia alami. Berpikir keras siapa sebenarnya yang salah, merebahkan diri di sofa dengan snifter yang menggantung terapit dua jarinya. Jari-jari tangan kanannya memijat kedua pelipis matanya. Ranum merasakan pusing yang sangat mengganggunya, Ranum tertidur.

Suara pintu yang terbuka membangunkan Ranum, Pandangan Sean menyapu seluruh ruangan, mencari Ranum. Menemukan Ranum yang tergeletak di Sofa. Sean buru-buru mendatangi Ranum, lalu menampar pipi kanannya.

“Sean!!” Teriak Ranum, bangkit dari tidurnya, duduk bersampingan dengan Ranum.

“Kamu mabuk,” Sean merebut Snifter yang dipegang Ranum, meletakkannya di meja. Ranum hanya bergumam, sambil memijat kedua pelipisnya. Pusing yang melanda Ranum semakin parah. “Kamu kenapa? Rain telpon aku.” Tanya Sean.

Dalam setengah mabuk, Ranum menjawab pertanyaan Sean. “Rain? Oh orang itu, aku suruh pergi,”

“Kenapa? Dia udah jujur soal perasaannya. Kenapa kamu sia-siain… Kamu tahu, Ranum. Apa yang akan dilakukan seorang pria ketika cintanya nggak terbalas?”

“Mereka berhenti mencintai.”

“Kamu salah. Mereka akan terus mencintai, sampai cintanya terbalas. Pria itu makhluk paling gila yang ada di bumi, Ranum... Mereka rela melakukan apapun, bahkan untuk hal-hal yang nggak terpikirkan.”

“Aku muak, Sean. Mereka selalu mengatasnamakan cinta, padahal cuma untuk memuaskan nafsu mereka.”

“Kamu takut, Ranum… Masa lalu membuatmu memelihara rasa takut. Ini Rain, bukan pria dari masa lalumu, bukan pria yang membuatmu benci Tropea Beach, kalian sama-sama punya masa lalu yang nggak mengenakkan soal Tropea Beach, apalagi yang kamu cari, Ranum?”

“Tropea Beach? Ah iya itu,.. Jangan mengingatkan aku soal tempat itu!!”

“Kamu belum lupa, Ranum. Kamu nggak mau lupa… Sudah nggak ada kesempatan lagi buat kamu membuka diri, Rain pergi, dia bilang untuk waktu yang lama. Kamu nggak akan bisa cari dia lagi.”

“Oh gitu??” Ranum berdeham.

“Fine!! Aku pergi, jangan cari aku. Bahkan ketika kamu udah waras dan nggak mabuk lagi,” Suara Sean meninggi, lalu pergi dengan membanting pintu.

Sean menggenjot sepedanya kencang, tangisnya meledak, punggung tanganya berulang kali menghapus air mata di pipinya. Persahabatan mati karena sesuatu yang sepele. Mungkin memang, hanya beberapa persahabatan saja yang bertahan lama, persahabatan lainnya berakhir terlalu cepat. Tidak semua persahabatan lahir untuk bertahan seumur hidup dan mati bersama. Jika kepergian adalah jalan keluar dari semua permasalahan, yang pergi tidak ingin ditemukan lagi hingga dia benar-benar ingin ditemukan. Orang-orang lupa bahwa hanya dengan hati seseorang dapat melihat dengan benar, hal yang terpenting dan benar kadang tidak terlihat oleh mata.

Dalam setengah mabuknya, Ranum memikirkan hal yang baru saja terjadi, dua orang yang dicintai dalam hidupnya benar-benar telah pergi. Ranum menganggapnya hanya sebuah mimpi, karena tidak mungkin kedua orang itu pergi meninggalkannya, terutama Sean. Sahabat yang sejak kecil menemani dan menyempurnakan hidupnya.

Ketukan pintu memecahkan keheningan, pelan-pelan Ranum menuju pintu, mengharapkan Sean dan Rain yang berada di balik pintu.

“Kamu?” Ranum memiringkan kepalanya, matanya menyipit melihat pria yang mengetuk pintu. “Kenapa?” Pria itu langsung masuk tanpa dipersilahkan. Pria itu menutup pintu, memegang kedua bahu ranum, mendorongnya hingga punggung Ranum menempel daun pintu.

“Tropea Beach? Lupakan itu, Ranum, Aku ada di sini,” Jari-jarinya menyusuri pipi Ranum, Ibu jarinya melewati bibir Ranum. Pria itu membelai Rambut Ranum—Ranum tersenyum, menempelkan lehernya di lengan Pria itu.

“I Love You, Ranum” Kedua tangan Pria itu menyentuh lekuk pinggang Ranum, menatap Ranum, pelan-pelan menempelkan bibirnya pada bibir Ranum. Kedua tangan Ranum melingkar di leher Pria itu. Ciuman itu terasa tanpa keraguan, Ranum melumat bibir Pria itu, sesekali mendaratkan lidahnya pada lidah Pria itu, Ranum meloncat melingkarkan kedua kakinya pada pinggang Pria itu.

Pria itu membawa tubuh Ranum seperti seorang ibu yang menggendong bayi, Pria itu melepas kait Bra putih, Ranum, setelah Ranum melepas kaus putihnya, Pria itu merebahkan tubuh Ranum di atas meja yang berada di depan Sofa, lalu melepaskan baju hitam polosnya, kedua kaki Ranum masih melingkar di pinggang Pria itu. Pria itu memburu bibir Ranum lagi, Ranum menahannya. Menatapnya penuh kasih, tersenyum lalu berkata:

“I Love You, Marv.”



(TAMAT) 
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar