Ranum
menarik tubuhnya, mendorong kedua lengan Rain. “Kenapa kamu menciumku? Ini bukan
kamu” Kata Ranum, menatap Rain.
“Aku
cuma ingin membuka diri, Ranum. Melepas rasa sakit yang terlalu lama aku
pelihara… Sendiri bukan temanku, Ranum... Aku butuh kamu.”
“Aku
nggak bisa—aku nggak sanggup, Rain. Sorry.” Ranum duduk menjauh, di ujung Sofa.
Rain mencoba mendekat. Tapi, Ranum memberi isyarat dengan tangannya untuk
membuat Rain berhenti mendekat. “Aku kira ini bukan soal sanggup atau nggak
sanggup, Ranum. Ini soal aku dan kamu, kita harus mencoba menanam asa sekaligus
melawan ketakutan atas hati yang mulai mengering. Kita sama-sama punya masa
lalu yang menyedihkan. Kamu tahu itu, Ranum.”
“Aku
tahu.”
“Jangan
berkompromi sama masa lalumu, Ranum” Rain memelankan suaranya, mencoba
menenangkan Ranum.
“Eh
jaga bicaramu, Rain!!” Suara Ranum meninggi. “Aku nggak berkompromi... Terus,
kenapa kamu bisa cinta sama aku? Kita belum kenal lama, Rain.”
“Apa
semua hal yang kita rasakan butuh alasan?” Rain menatap Ranum—Ranum terdiam.
“Jelas
butuh lah. Terus… Apa itu cinta?” Tanya Ranum, memecah keheningan.
“Aku
nggak tahu. Apa perlu satu kata itu dicari artinya? Kamu sendiri tahu semua
kamus, semua bahasa yang ada di dunia, nggak ada yang bisa mengartikan satu
kata ini.”
“Kamu
pernah jatuh cinta kan?” Tanya Ranum.
“Pernah—pernah
Ranum, Sekarang aku ngerasain. Kamu kan tahu.”
“Gimana
kamu bisa tahu kalau itu cinta? Apa alasannya?” Ada jeda yang memisah tanya.
Rain terdiam. Menatap Ranum yang penasaran menunggu jawaban Rain.
“Selama
cintamu nggak beralasan dan nggak punya pembenaran, aku cuma awan yang nggak
akan bisa kamu genggam, Rain” Ranum meninggalkan sofa, membuka pintu,
mempersilahkan Rain untuk pergi. Rain bangkit dari duduknya, merapikan setelan
jasnya lalu menuju pintu, tersenyum menatap Ranum. “Memang terasa aneh, mencoba
menjalin hubungan dengan seseorang yang baru disaat kamu masih belum bisa
melupakan seseorang yang dulu” Raut muka Rain berubah, rahangnya mengeras. “Bye,
Ranum.” Ranum membanting pintu setelah Rain keluar dari rumahnya.
Malam
menyisakan air mata untuk Ranum. Apa yang baru saja dia alami adalah hal yang
sudah lama selalu dia hindari. Sebuah perdebatan, pertarungan yang membuat
salah satunya terpaksa mundur dan terpaksa menjadi manusia paling jahat di muka
bumi. Pertengkaran memang cara yang paling hina untuk memisahkan kedua manusia
yang saling mencintai. Kenapa tuhan menciptakan pertengkaran dalam suatu
hubungan. Apakah tuhan benar-benar tidak mengenal cinta. Jika tuhan memahami,
dia tidak akan repot memisahkan sepasang manusia yang saling mencintai, mungkin,
karena tuhan tak pernah tahu rasanya sakit hati.
Lama
Ranum duduk di sofa yang membekas tetes air matanya sejak tadi, ponselnya
berdering. Sean menelpon.
“Hallo,
Sean?” Isak tangis Ranum terdengar di telinga Sean.
“Aku
otw kerumahmu, tunggu” Sean menutup telponnya, bergegas menggenjot sepedanya
menuju rumah Ranum. Rumah Sean dan Ranum tidak berjarak jauh. Hanya melewati 5
blok. Kurang dari satu kilometer.
Ranum
memegang Snifter berisi Red Wine, Monte Alpha di tangan kirinya. Matanya kosong
membayangkan kejadian yang baru saja dia alami. Berpikir keras siapa sebenarnya
yang salah, merebahkan diri di sofa dengan snifter yang menggantung terapit dua
jarinya. Jari-jari tangan kanannya memijat kedua pelipis matanya. Ranum
merasakan pusing yang sangat mengganggunya, Ranum tertidur.
Suara
pintu yang terbuka membangunkan Ranum, Pandangan Sean menyapu seluruh ruangan,
mencari Ranum. Menemukan Ranum yang tergeletak di Sofa. Sean buru-buru
mendatangi Ranum, lalu menampar pipi kanannya.
“Sean!!”
Teriak Ranum, bangkit dari tidurnya, duduk bersampingan dengan Ranum.
“Kamu
mabuk,” Sean merebut Snifter yang dipegang Ranum, meletakkannya di meja. Ranum
hanya bergumam, sambil memijat kedua pelipisnya. Pusing yang melanda Ranum semakin
parah. “Kamu kenapa? Rain telpon aku.” Tanya Sean.
Dalam
setengah mabuk, Ranum menjawab pertanyaan Sean. “Rain? Oh orang itu, aku suruh
pergi,”
“Kenapa?
Dia udah jujur soal perasaannya. Kenapa kamu sia-siain… Kamu tahu, Ranum. Apa
yang akan dilakukan seorang pria ketika cintanya nggak terbalas?”
“Mereka
berhenti mencintai.”
“Kamu
salah. Mereka akan terus mencintai, sampai cintanya terbalas. Pria itu makhluk
paling gila yang ada di bumi, Ranum... Mereka rela melakukan apapun, bahkan
untuk hal-hal yang nggak terpikirkan.”
“Aku
muak, Sean. Mereka selalu mengatasnamakan cinta, padahal cuma untuk memuaskan
nafsu mereka.”
“Kamu
takut, Ranum… Masa lalu membuatmu memelihara rasa takut. Ini Rain, bukan pria
dari masa lalumu, bukan pria yang membuatmu benci Tropea Beach, kalian
sama-sama punya masa lalu yang nggak mengenakkan soal Tropea Beach, apalagi
yang kamu cari, Ranum?”
“Tropea
Beach? Ah iya itu,.. Jangan mengingatkan aku soal tempat itu!!”
“Kamu
belum lupa, Ranum. Kamu nggak mau lupa… Sudah nggak ada kesempatan lagi buat
kamu membuka diri, Rain pergi, dia bilang untuk waktu yang lama. Kamu nggak
akan bisa cari dia lagi.”
“Oh
gitu??” Ranum berdeham.
“Fine!!
Aku pergi, jangan cari aku. Bahkan ketika kamu udah waras dan nggak mabuk
lagi,” Suara Sean meninggi, lalu pergi dengan membanting pintu.
Sean
menggenjot sepedanya kencang, tangisnya meledak, punggung tanganya berulang
kali menghapus air mata di pipinya. Persahabatan mati karena sesuatu yang
sepele. Mungkin memang, hanya beberapa persahabatan saja yang bertahan lama,
persahabatan lainnya berakhir terlalu cepat. Tidak semua persahabatan lahir
untuk bertahan seumur hidup dan mati bersama. Jika kepergian adalah jalan
keluar dari semua permasalahan, yang pergi tidak ingin ditemukan lagi hingga
dia benar-benar ingin ditemukan. Orang-orang lupa bahwa hanya dengan hati
seseorang dapat melihat dengan benar, hal yang terpenting dan benar kadang
tidak terlihat oleh mata.
Dalam
setengah mabuknya, Ranum memikirkan hal yang baru saja terjadi, dua orang yang
dicintai dalam hidupnya benar-benar telah pergi. Ranum menganggapnya hanya
sebuah mimpi, karena tidak mungkin kedua orang itu pergi meninggalkannya,
terutama Sean. Sahabat yang sejak kecil menemani dan menyempurnakan hidupnya.
Ketukan
pintu memecahkan keheningan, pelan-pelan Ranum menuju pintu, mengharapkan Sean
dan Rain yang berada di balik pintu.
“Kamu?”
Ranum memiringkan kepalanya, matanya menyipit melihat pria yang mengetuk pintu.
“Kenapa?” Pria itu langsung masuk tanpa dipersilahkan. Pria itu menutup pintu,
memegang kedua bahu ranum, mendorongnya hingga punggung Ranum menempel daun
pintu.
“Tropea
Beach? Lupakan itu, Ranum, Aku ada di sini,” Jari-jarinya menyusuri pipi Ranum,
Ibu jarinya melewati bibir Ranum. Pria itu membelai Rambut Ranum—Ranum
tersenyum, menempelkan lehernya di lengan Pria itu.
“I
Love You, Ranum” Kedua tangan Pria itu menyentuh lekuk pinggang Ranum, menatap
Ranum, pelan-pelan menempelkan bibirnya pada bibir Ranum. Kedua tangan Ranum
melingkar di leher Pria itu. Ciuman itu terasa tanpa keraguan, Ranum melumat
bibir Pria itu, sesekali mendaratkan lidahnya pada lidah Pria itu, Ranum
meloncat melingkarkan kedua kakinya pada pinggang Pria itu.
Pria
itu membawa tubuh Ranum seperti seorang ibu yang menggendong bayi, Pria itu melepas
kait Bra putih, Ranum, setelah Ranum melepas kaus putihnya, Pria itu merebahkan
tubuh Ranum di atas meja yang berada di depan Sofa, lalu melepaskan baju hitam
polosnya, kedua kaki Ranum masih melingkar di pinggang Pria itu. Pria itu
memburu bibir Ranum lagi, Ranum menahannya. Menatapnya penuh kasih, tersenyum
lalu berkata:
“I
Love You, Marv.”
(TAMAT)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar