Monday, November 2, 2015

Terlalu


Aku masih ingat ketika pertama kali kamu mengajakku pergi. Semua terjadi sekelebat, begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa kamu adalah orang itu. Orang yang membuatku menanti di gerbang pergantian. Dalam bias aku mencoba tenang, tidak gegabah menghadapi penantian yang telah habis. Aku tidak ingin hal yang sebelumnya terjadi terulang lagi ketika bersamamu. Aku tidak bisa menahan diriku untuk sabar dan bermain aman, seperti pria yang lain. Kamu selalu jadi hantu yang tidak bisa hilang dari setiap mimpiku. Bahkan jauh sebelum pertemuan itu. Aku selalu kalah oleh tatapanmu, selalu mabuk oleh senyumanmu. Bahkan aku mengerti bahwa sebenarnya aku hanyalah pelarian ketika raga dan jiwamu dipertanyakan oleh sang empunya hatimu.

“Sudah pukul tujuh, mau kemana lagi kita?”

“Kenapa kamu terus menanyakan hal yang sama?”

“Maaf.”

“Aku cuma mau disini, duduk bersamamu, memeluk tubuhmu sambil melihat deretan kapal yang terparkir rapih.”  

“Kita sudah hampir tiga jam disini.”

“Oh, ayolah terus kenapa kalau kita sudah tiga jam di sini?”

“Aku belum menciummu.”

“Aku tahu. So, let me kiss you.”

Ciumannya malam itu membuatku menginginkannya lagi, meski aku hanya dijadikannya pelarian sesaat, dia terlalu neurotik untukku, bibirnya selalu basah setiap bibirku melumatnya. Matanya terpejam, tapi selalu terhenti ketika dia teringat kekasihnya. Rasanya aku Ingin bunuh diri ketika itu terjadi, Aku ada untuknya tapi dia tidak benar-benar ada untukku. Aku bosan mendengar ceritanya tentang pria itu. Aku bosan selalu berpura-pura tertarik dengan ceritanya.

“Berhenti menceritakan pria itu.”

“Kenapa?”

“Karena kamu tidak benar-benar mencintainya.”

“Aku mencintainya!”

“Kalau kamu cinta sama pria itu, harusnya kamu nggak ada disini. Harusnya bukan aku yang duduk di depanmu, sekarang.”

“Jangan buatku menangis, aku nggak sekuat kamu.”

“I’m Sorry. Please, jangan menangis disini.”

“Aku ingin menangis, antarkan aku ke tempat, dimana aku bisa bebas menangis.”

“Nggak perlu jauh-jauh.”

“Di mana?”

“Aku punya dua pundak, dua-duanya rela basah menampung air matamu.”

Kesadaranku hilang malam itu, dua jam dia menangis di pundakku. Pundakku berubah hangat karena air matanya. Aku tidak tega melihatmu menatapku dengan liangan air mata yang tersisa di matamu, membasahi hingga pipi dan bibirmu. Aku selalu ingin memelukmu, menciummu, menghangatkanmu, tapi untuk hal itu kesadaranku masih terjaga. Aku tidak mungkin melakukan itu untukmu, tidak mungkin. Kamu milik orang lain, sampai hubunganmu membaik, aku hanya akan menerima tangisanmu dan ceritamu yang tidak pernah berguna untukku.

“Dia kembali. Aku bisa merasakan kasih sayangnya lagi.”

“Aku turut bahagia, mendengarnya.”

“Terimakasih sudah bersedia mendengarkan ceritaku.”

“Sama-sama, terimakasih juga sudah membasahi pundakku.”

“Terimaksih juga karena kamu bersedia menemaniku dan menampung tangisanku.”

“Sama-sama”

Sungguh? Itukah akhir? Dia pergi, kembali bersama sang empunya hati. Tidak berbalik lagi? Menganggapku sekedar pelarian. Aku pernah menciumnya, kita pernah berciuman, ini terasa aneh, Aneh. Aku ingin dia kembali, aku rindu mendengar suaranya, pundakku rindu dibasahi oleh air matanya. Aku mengharap terlalu dini, mengira semua yang aku lakukan sudah membuat perhatiannya teralihkan untukku. Sekarang, aku sendiri, berdiri diantara buaian bintang. Aku menatapmu dari pinggir dermaga. Menyesali, harusnya, malam ini milik kita berdua. Aku terlalu buru-buru jatuh cinta padamu. Terlalu bodoh untuk berharap bahwa kamu juga mencintaiku. Cintaku sudah lewat dan bayangan harapan yang penuh kegembiraan sudah tidak ada lagi.


Kamu meninggalkanku, aku sadar kamu tidak akan kembali. Sekedar berbicarapun agaknya juga tidak mungkin, melihat matamu dan senyummu adalah hal yang mustahil. Aku sadar, aku terlalu cepat jatuh cinta. Terlalu bodoh untuk mencintaimu dan terlalu berharap kamu mencintaiku. Semuanya serba terlalu. Aku berjanji akan selalu menantimu di gerbang pergantian, meski kamu tidak akan datang. Izinkan aku mendengar suaramu, aku ingin berbisik di telingamu dan berkata, bahwa aku menikmati keterlaluanku dalam mencintaimu.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar