Friday, April 23, 2021

membantu seorang pembunuh mencapai orgasme


 

Benedict Adinda membunuh adik kandungnya, Benedict Maura, setelah mengetahui bahwa Maura adalah dalang dari kematian ibunya. Adinda menggorok leher Maura dengan pisau kater berkarat yang ia temukan di gudang rumah. Benedict Adinda merencanakan pembunuhan selama empat belas hari sebelum kematian Maura. Ia memilih tanggal 23 April sebagai hari kematian Maura karena tepat di hari itu Maura berulang tahun yang ke 25.

Benedict Adinda yang sehari-harinya hanya tidur dan mendekam di rumah mulai mengikuti aktivitas Maura mulai dari lari pagi tepat pukul enam hingga menonton series kesukaan Maura sebelum Maura pergi tidur. Adinda tidak perlu bekerja, ia adalah pewaris utama kekayaan keluarga Benedict yang menguasai 85% properti di kota ini. Konon keluarga Benedict juga menjual narkoba dan ganja pada orang-orang di pinggiran kota. Adinda mengetahuinya saat ia tidak sengaja mendengar percakapan ayahnya dengan seorang tamu dari jauh saat ia hendak pergi mandi dengan handuk merah muda di bahunya. Ia lalu mendengar percakapan itu hampir satu jam dan lupa bahwa awalnya ia hanya ingin pergi mandi.

Mengetahui fakta itu, Adinda lantas memborbardir ayahnya dengan banyak pertanyaan, Adinda tampak tenang, ia justru mulai membuka negosiasi, ia ingin keuntungan dari penjualan narkoba dan ganja masuk ke kantongnya. Ancaman Adinda bukan main-main, ia menginginkan bagi hasil 50%, ayahnya lantas menolak mentah-mentah, namun Adinda adalah perempuan yang kuat dan kokoh, ia tidak mudah ditaklukkan. Saat itu ia mengambil ponsel di saku celananya dan memasukan nomer polisi, ia menggertak ayahnya. Tentu ayahnya tetap tenang, ia tidak percaya apa yang akan terjadi selanjutnya. Merespon ayahnya yang tetap diam dan justru menantang, Adinda lalu benar-benar menelpon, belum sampai pada dering kedua ayahnya sigap meraih ponsel Adinda dan mematikan panggilan itu.

Hanya dalam lima menit, Adinda mampu menyelesaikan negosiasi yang membuatnya tidak perlu keluar rumah untuk bekerja. Ia memuaskan nafsu hedonnya dari uang hasil bagi rata bisnis haram itu, ia membeli semua keperluan mulai dari tas mahal yang hanya ia pakai setahun sekali, hingga sepatu motif macan yang bahkan tidak pernah ia pakai, hanya menjadi pajangan di rak-rak tinggi yang ada di kamarnya. Benedict Adinda hanya keluar rumah untuk belanja atau menyewa pekerja seks laki-laki untuk menuntaskan nafsu birahinya.

Iya, di kota ini apapun yang dibutuhkan ada, termasuk para pria yang mencari uang tambahan dari menjajakkan tubuhnya, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa semester akhir yang kalap karena menerima uang banyak dengan mudah sehingga meninggalkan kuliahnya. Adinda tidak berbeda dari perempuan kebanyakan, ia juga memiliki fantasi yang selama ini hanya tertanam di kepalanya, ia tahu tidak banyak tempat untuk perempuan bebas memuntahkan isi kepalanya tentang seks, seperti yang dilakukan para pria di setiap kolom komentar selebgram-selebgram seksi dengan payudara yang meronta dari balik dress ketat.

Adinda selalu mengikat partner seksnya, ia tidak hanya mengikat kedua tangan di ranjang, namun juga kedua kaki, membuatnya merasakan ilusi kekuasaan, menjadi penguasa di atas ranjang di malam yang tegang. Ia suka melihat prianya merengek dan memelas, itu meningkatkan gairahnya seribu kali lipat. Benedict Adinda tidak suka pada pria yang terlalu berisik saat ritual magis itu dilakukan, Adinda benci pria cerewet, ia hanya butuh pria untuk mendesah keras hingga tidak mampu menahan kenikmatan yang ia beri.

Biasanya kenikmatan itu hanya bertahan semalam, lalu Adinda berganti pria yang lain, sampai akhirnya ia bertemu seorang pria yang meremukkan hatinya sejak pertama kali ia melihatnya di apartemen miliknya di pusat kota. Adinda tidak pernah berhubungan badan selain di apartemennya, yang khusus ia sewa hanya untuk melakukan kenikmatan itu. Ia bertemu seorang pria yang membuatnya merasa bukan perempuan paling menggoda, pria itu bahkan tidak tampak tertarik pada pakaian seksi yang malam itu Adinda pakai. Ia melakukan berbagai cara, namun pria itu tetap tidak bergairah. Bahkan saat kuluman-kuluman membasahi seluruh tubuh pria berambut cepak dengan hidung mancung itu, Adinda mulai merasa hilang akal dan menyerah, pria itu hanya diam dengan tatapan kosong, tidak ada desahan yang menggema dan membentur dinding-dinding seperti biasanya.

Normalnya, Adinda tidak peduli pada nama-nama setiap pria yang ia sewa. Namun malam itu, pria di depannya menyebutkan nama, Adinda mengingat dengan jelas nama itu, Raja Santana. Adinda tanpa bertanya menyadari bahwa pria yang ia sewa malam itu adalah anak seorang pengusaha terkenal saingan bisnis ayahnya. Selain memiliki properti yang secara presentase tidak sebanyak Keluarga Benedict, namun Santana, ayahnya, memiliki properti di jantung kota, tempat-tempat yang tidak pernah tidur. Apartmen milik Adinda adalah salah satu properti milik keluarga Santana. Juga perusahaan lain dan industri ditribusi yang dimonopoli keluarga Santana.

Raja Santana tidak sedang mengalami hari yang berat, ia tidak sedang sedih, Adinda bertanya-tanya mengapa Raja Santana berada di apartemennya malam itu, ia juga tidak kekurangan uang sehingga harus melakukan pekerjaan semacam itu. Raja Santana lalu menyampaikan maksudnya setelah ia memakai kembali celana yang Adinda buka. Maria Benedict meninggal, katanya. Belum sempat benar-benar mencerna ucapan Raja, Adinda dilanda kebingungan akut, ada suara-suara bising yang keras terdengar di kepalanya. Jantungnya berdebar kencang sesaat Raja memegang lengan dan mengelus punggungnya. Adinda duduk lesu di ujung ranjang, lalu mulai menangis, dan Raja memeluknya.

Dibanding ayahnya, Adinda lebih dekat dengan ibunya. Karena sama-sama sering berada di rumah, membuatnya sering membuka percakapan, bicara dan bercerita apapun. Ibunya jenis ibu rumah tangga biasa yang dilarang suaminya bekerja, namun Maria Benedict adalah seorang pemberontak, ia tidak ingin dinikahi untuk mendekam di dalam rumah dan melayani kebutuhan suami. Maria Benedict lalu membuka sebuah salon yang dalam tiga bulan menjadi salon paling sering dikunjungi orang-orang di kota. Salon itu memasar golongan menengah ke atas, salon itu berada di lantai atas sebuah mall, dan dari situ kita bisa melihat seluruh pemandangan kota 360 derajat. Salon itu ia kelola sendiri, dibantu Adinda yang lebih sering mengurus keuangan, karena pekerjaan itu bisa ia bawa ke rumah.

Maria Benedict tewas di salon miliknya, Raja Santana berada di sana menemani ibunya menata rambut untuk pergi kondangan. Kegaduhan itu terjadi saat Raja Santana yang kuliah fashion designer dikagetkan dengan ledakan pistol pertama yang ditembakkan ke atas saat ia sedang membaca majalah fashion kenamaan ibu kota. Seluruh pengunjung reflek merunduk bersamaan, seorang pria dengan tattoo gambar spongebob di lengan kiri menarik rambut Maria Benedict dan menyeretnya keluar dari ruangannya. Pria itu menyuruh Maria Benedict duduk bersimpuh di lantai. Raja melihat kejadian itu dengan sangat jelas, tampak raut ketakutan muncul di wajah Maria Benedict.

Lalu seorang perempuan muncul dengan hodie hitam yang menutupi kepalanya, ia memegang revolver kaliber 22 di tangan kananya, moncong revolver itu diarahkan tepat ke kepala Maria. Perempuan itu membuka hodienya, dan Raja Santana mengenali seketika, Maura Benedict membunuh ibunya sendiri, ia memukul kepala Maria dengan gagang revolver, menjambak rambutnya dan mengeluarkan pisau kater dari saku hodie. Dari belakang Maura menggorok leher Maria tanpa ampun, gorokkan itu tidak mulus karena karat yang mulai muncul pada pisau, sempat tertahan beberapa kali, namun akhirnya Maura berhasil menuntaskan hingga hampir setengah bagian leher.

Maura dan komplotannya pergi setelah menembakkan beberapa peluru ke atap-atap. Maura sempat melihat Raja Santana beberapa saat. Maura sama seperti orang-orang di kota yang mengetahui Raja Santana hanya dari namanya saja. Raja Santana tidak pernah sama sekali mengenalkan diri ke publik dan menunjukkan wajahnya. Tampaknya keluarga Santana mengerti bahwa tidak dikenali adalah pilihan aman untuk bertahan hidup di antara kehidupan bisnis yang saling sikut bahkan saling bertukar nyawa.

Malam yang panjang untuk mendengar fakta kematian ibunya, Benedict Adinda lantas pulang tanpa membalas Raja. Seminggu berkabung Adinda masih belum bertemu adiknya, Maura. Ayahnya terlihat normal, tampak tidak merasa kehilangan, dan Adinda membenci realita itu. Hari kedelapan, Adinda menghubungi mucikari yang biasa menyediakan pria-pria pemuas nafsu untuknya. Adinda ingin bertemu orang terakhir yang ia pesan, ia tidak menyebut nama Raja. Muncikari itu menyanggupi.

Kamis malam, Raja dengan kaos putih longgar dan celana bahan berwarna hitam muncul di apartemen Adinda.

“Aku hanya ingin ditemani,” ucap Adinda, menyesap rokok kretek di tangan kananya. Raja tidak menjawab, ia duduk di sudut ranjang, tidak jauh dari tempat Adinda duduk.

“Bagaimana bisa kau mengetahui aktivitasku di sini?” tanya Adinda setelah mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

“Well, kau tidak pernah menemui muncikarimu,” Adinda terdiam, ia melihat Raja Santana, ada keinginan untuk mematikan rokok, namun Adinda tidak ingin menunjukkan respon kagetnya. Ia lalu kembali menyesap rokoknya dalam-dalam.

“Kau harus balas dendam,” lanjut Raja Santana setelah terdiam beberapa saat.

“Sedang dipikirkan.”

“Maura membunuh lebih sadis dari banyak pembunuhan yang pernah kulihat, adikmu memegang revolver, tapi memilih pisau kater untuk menggorok leher ibumu. Seolah itu pertunjukkan kolosal.”

“Aku sedang merencanakan pembunuhan, aku harus membunuhnya dua minggu lagi, dan kau harus membantuku.”

“Membunuh bukan pekerjaanku.”

“Tapi kau harus membantuku, kau yang memberitahuku pertama kali.”

“Kalau kau menyuruhku menyediakan pria-pria, itu bisa kulakukan. Pekerjaan mudah.”

“Kau harus membantuku, atau semua orang akan mengenalimu,” Adinda mengarahkan ponsel pada Raja, lalu memotretnya. Raut muka Raja menjadi tegang, tidak adalagi ketenangan di wajahnya. Adinda menyesap lagi rokoknya, sesapan terakhir dan ia mematikan rokok itu pada dasar asbak. Ia meminum satu gelas air mineral hingga habis tidak tersisa.

Mata Raja awas mengikuti pergerakan Adinda, ia melihat lekuk tubuh Adinda pada balutan blus putih dan rok span hitam di atas lutut, Adinda berdiri di depan Raja, memegang kepalanya, mejambak rambut lalu membenamkan kepala Raja pada payudaranya.

“Sebelum membunuh, mari kita nikmati dulu malam ini, Raja Santana,” ucap Adinda di antara desahan dan sentuhan juga gigitan di putingnya. Malam baru saja dimulai, dan Raja tahu ia tidak akan berdaya, dan ia membenci itu.



Semarang, 23 April 2021

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar