Sunday, February 14, 2021

Lily's Valentine.


 

Valentine day’s tiga tahun lalu aku berkeringat setelah mengejar pesawat pagi dimana aku harus pergi untuk merayakan hari anjing ini bersama seseorang yang bahkan bukan kekasihku.

Urutan sumpah serapah terdaftar secara otomatis di dalam kepalaku. Serapah apa yang paling cocok untuk menyumpah seseorang yang telah berhasil membuat 14 Februari sepanjang tiga tahun terakhir di hidupku begitu terkutuk seperti ini. Seharusnya, aku tak meratapi seperti kelinci kecil begini. Tidak di kafé kecil yang ingar-bingar penuh kebahagiaan di hari kasih sayang ini. Mengenang seseorang yang bahkan tak pernah mengenangku.

Aku terus bertanya pada sebuah tanaman di ruang tunggu bandara, bagaimana ia bisa hidup—tegak berdiri di antara lalu-lalang orang-orang yang pergi dengan buru-buru. Apakah tanaman ini punya tuan? Atau apakah tanaman ini merayakan hari kasih sayang? Atau kapan terakhir kali orang mengajaknya bicara? Entah. Lamunanku terhenti saat ponsel di saku celanaku bergetar. Perempuan itu, yang kupikir akan memperbaiki moodku minggu ini mengirim sebuah foto. Foto kencan pertama kita, kencan yang mendadak, karena kita bertemu pada situasi yang tak terduga.

Dalam foto itu ia tertawa lebar, tawa yang masuk dari telinga kanan, mengisi ruang kepalaku lalu keluar ke telinga kiri, yang sampai saat ini masih bisa kulihat dan kudengar jelas dalam mimpiku. Di foto itu, ia memakai gaun pendek selutut warna lila. Kuharap ia masih ingat bagaimana ia mengomel tentang betapa bencinya ia memakai gaun yang warnanya serupa permen karet itu. Atau alasan mengapa ia harus memakainya.

“Lo tahu, nggak, bridesmaids itu bukan budaya kita, budaya kita itu ngantri makanan dua kali di kawinan sahabat sendiri. Nih pegangin piring gue, gue mau ambil makan lagi,” kelakarku. Kuharap, ia juga masih ingat, bahwa ia pernah berkata bahwa pernikahan sahabatnya adalah satu-satunya pernikahan yang tak membosankan untuk dihadiri. Bukan karena ini adalah hari bahagia untuk sahabatnya. Tapi karena di sini, di sinilah dia bertemu denganku.

Waktu itu aku mengantri sate ayam tepat di belakangnya, masih terekam jelas rambut panjang yang ia biarkan tergerai bebas, juga aroma bunga lily yang membuatku berani membuka percakapan.

“Mba suka lily, ya?” tanyaku menepuk pundaknya.

“Sorry?” ia berbalik, dan saat itu, aku merasakan lalu-lalang orang berhenti seketika, musik yang terputar dari speaker besar itu seperti tidak terdengar, hanya dentuman-dentuman keras yang kurasakan. Ia sempurna di balik gaun itu, dengan lipstick merah muda dan mata yang kecokelatan.

“Parfumnya, wangi lily,” senyumku.

“Ohiya, Mas. Mas juga suka lily?” lalu percakapan itu berlanjut sampai sate ayam di piring kita habis tanpa sisa.

Lily, seperti itulah dia. Selalu ada kerapuhan dan ketulusan yang dibalut dalam keindahan, layaknya kelopak bunga lily. Masih segar di kepala, ingatanku berbulan-bulan setelah percakapan yang menggemaskan itu. Juga tentang bagaimana aku meminta izin untuk memanggilnya Lily.

“Kenapa Lily, sih? Karena gue mirip Lily Collins?”

“Itu panggilan sayang… Boleh, kan?” pintaku.

“Dih, emang lo sayang sama gue?” tanyanya sambil berlalu. Kurasa saat itu ia tahu jawabannya. Dan kurasa, ia juga tak ingin aku menjawab pertanyaan itu. Karena tanpa ungkapan apapun itu, aku yakin, ia pasti menjawab “iya.”

Hujan turun pelan-pelan saat petugas bandara memanggil para penumpang untuk segera masuk ke dalam pesawat, Aku membawa tas ransel di punggungku, memakai sepatu adidas pemberiannya di valentine tahun lalu. Aku tersenyum, memberikan tiket pesawatku pada petugas bandara lalu mengucap terima kasih karena petugas itu mendoakan keselamatan dalam perjalananku. Sesuatu yang ia juga lakukan pada penumpang lain. Pesawat itu hanya menempuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di kotamu, Yogyakarta, Tempat kau biasa menepi dari yang hiruk dan pikuk. Kota tempat pertama kali ciuman itu terjadi. Tak akan pernah kulupa, bagaimana kau menjelajahi bibir basahku kala itu.

Aku tak berharap banyak, tak berharap aku bisa merasakan ciuman hangatmu lagi. Tak berharap memelukmu di hari kasih sayang lagi. Melihatmu dan membisikkan tiga kata itu sudah cukup untukku sebelum kau berjalan menyusuri altar menuju pria itu. Pria yang esok pagi akan berdiri di ujung altar, di depan pendeta, menunggumu, dan akhirnya mengucap janji sehidup, semati itu denganmu. Tapi sebelum fajar menyingsing esok pagi, sebelum kau kenakan gaun pernikahanmu yang secantik lily itu, bisakah sekali lagi, untuk terakhir kalinya kau ucapkan tiga kata itu untukku?

Jogja belum begitu ramai pagi itu. Kau menungguku. Kulihat senyum itu, senyum yang sama sekali tak berubah sejak kali pertama kita bertemu. Kau memelukku, bertanya kabarku, dan menawarkan untuk mencari sarapan lebih dulu sebelum kita menuju venue pernikahanmu, hotel di pusat kota, tempat semua tamu undangan menginap. Lima menit pertama kita saling diam, kau menolak tawaranku untuk menyetir. Bahkan di saat-saat itu kau masih memperhatikanku, yang katamu pasti kelelahan karena mengejar penerbangan pertama hari itu. Kita menuju ke sebuah warung pinggir jalan yang menjual nasi ayam, "terlalu pagi untuk makan gudeg," kataku. Nasi ayam itu adalah salah satu saksi kedekatan kita. Lalu untuk mengisi situasi yang kosong karena kita tak saling bicara, aku memutuskan memutar lagu favoritmu.

“Masih inget aja lo lagu kesukaan gue,” aku terdiam mendengar ucapannya. Tentangmu? Memangnya apa yang bisa kulupakan? Bahkan aku masih ingat noda yang menempel di bajumu saat pertama kali kita bertemu.

“Makasih ya udah dateng. Gue seneng,” ucapnya sedikit bergumam. Aku menelan ludah dengan susah payah, berpikir tentang bagaimana aku akan melewati hari ini dan besok, dengan kenyataan bahwa aku akan kehilangan dia selamanya. Bagaimana aku akan menahan keinginan untuk tak berteriak pada pendeta, saat pak tua itu bertanya pada hadirin untuk mengajukan diri ketika ada yang keberatan atas ikatan suci kedua mempelai. “Lily, jangan lakukan itu, aku mohon. Aku sayang kamu. Akulah yang seharusnya mengucap janji suci itu bersamamu,” rasanya aku ingin mengucapkan itu setelah lagu favoritnya berhenti berputar; akan kunyatakan semuanya.

“Pernah kebayang gak sih gue kawin? Gue gak pernah kebayang ketemu orang yang tepat kayak Michael. Ini kali ya yang dinamakan jodoh?” mendengarnya aku terhenyak. Lagu itu berhenti, kita telah sampai.

“Yuk sarapan, gue laper,” dan kata-kata yang telah tersusun rapi itu tak pernah keluar dari bibirku.

Ia merapikan bajunya, melihat pantulan dirinya pada cermin di atasnya. Ia membubuhkan lipstick di bibir mungilnya itu. Ia mencecap bibirnya berulang kali, dan aku masih memikirkan kata-kata yang pada detik itu mulai tenggelam jauh, aku menatapnya saat ia mengecek ponsel untuk melihat beberapa pesan yang masuk. Saat ia memasukkan ponsel itu ke dalam tas, aku menyentuh lengannya, di detik-detik itu kita saling menatap, jantungku berdebar makin kencang, ia mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Saat kulihat matanya terpejam, kusentuh bibir itu dengan jari, jemariku, mengusapnya lembut dan ia makin menempelkan bibir itu pada jemariku. Ia membuka mata, lalu bibirnya mendarat lembut pada bibirku. Pelan, tanpa tergesa. Diiringi lagu Coldplay, Fix You, yang seolah menjadi soundtrack kisah ini, soundtrack dari apa yang terjadi saat ini.

“aku pernah berjanji akan ‘meperbaikimu’ seperti makna lagu ini,” di antara janji-janji lain yang belum sempat kuwujudkan padamu. Aku bertanya dan penasaran, “Beginikah akhirnya?” Michael yang akan menepati janji-janji itu? Haruskah kubiarkan begitu?

“Gue juga, Rey,” ujarnya tiba-tiba, melepas ciuman itu—tangannya menyentuh sebelah wajahku.  “Gue juga sayang lo, dan akan selalu begitu,” matanya melembut, senyumnya tampak rapuh.

“Di kehidupan selanjutnya, temui gue lagi di depan antrian sate, ya… dan bilang langsung ke gue kalo lo sayang sama gue, dan jangan pernah biarin gue pergi selamanya…” aku menyeka titik-titik air mata yang mulai tampak di wajah cantiknya, “tapi di kehidupan ini, please maafin gue… cuma sebatas ini lo bisa sayang sama gue.”

Hari itu, di kota sialan itu, aku tersadar, yang kata orang near death experience, ternyata tak harus selalu langsung berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Menyadari bahwa aku tak bisa memilikinya sudah lebih dari near death experience untukku.

 

 

(Cerita kolaborasi oleh; Lintang @nyebeliiin & Zahid Paningrome)

Ditulis spontan di Kofitiere, saat kami berdua merayakan Valentine’s day yang menyedihkan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar