Tuesday, July 21, 2020

cerita kita tidak didengar;



Aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; apakah mendengarkan adalah aktifitas paling sulit selama kita mencicipi hidup di dunia? Apakah mendengarkan memang butuh keahlian khusus? Kalau kamu merasa ceritamu tidak pernah didengar, mungkin kita bisa membuat lingkaran, saling berpegang tangan, dan mengucap doa; semoga tuhan selalu mendengar kita. Ada hal-hal yang gak sanggup kita ungkapkan, kadang kita lebih memilih diam karena kita terlalu takut pada respon orang tentang apa yang kita ceritakan. Namun ketika kita pikir ulang, sebetulnya ketakutan kita bukan tentang respon orang terhadap cerita kita. Kita takut orang itu jadi seenaknya, kita percayakan satu cerita pada seseorang, detik itu juga kita was-was cerita itu akan menjadi bola liar sampai pada titik yang mana. Itu mengapa kita lebih sering memilih diam.

Aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; mengapa cerita kita tidak pernah benar-benar didengarkan, ruang-ruang selalu penuh dengan cerita-cerita sampah dari orang-orang yang haus spotlight. Sehingga apa yang kita butuh untuk dengar tertutup oleh kebisingan-kebisingan tanpa arti. Ada banyak cerita yang tidak kita pedulikan, namun pada akhirnya kita terpaksa mendengarkan, karena cerita itu disampaikan dengan sangat lantang. Tidak ada ruang bagi kita untuk menghindar.

Cerita kita tidak didengar, aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; aku menggunakan kata kita sebagai pengganti kata aku. Karena barangkali aku tidak sendirian, orang seringkali jadi seenaknya, ketika ia menceritakan segala yang membuatnya gila, kita mendengar dengan seksama dan hati-hati, karena takut menyakiti. Saat wejangan kita menemukan titik terang dan mampu membuat orang lain tercerahkan, orang itu justru kembali ke sifat aslinya. Iya, yang suka seenaknya. Saat kita membutuhkan dia untuk mendengar cerita kita, orang itu menghilang. Tidak peduli, tidak ingin mendengar cerita kita.

Aku selalu memikirkan hal ini; pada banyak perempuan yang mengaku dirundung hanya karena kekasihnya melanggar apa yang sudah keduanya yakini sejak awal. Aku bisa paham hati wanita selalu menjadi bagian tubuh yang sangat rentan. Mereka bisa sedetik yang lalu mengaku tersakiti lalu sedetik kemudian menjadi seseorang yang paling tidak apa-apa. Ia rapuh dan lupa jalan pulang. Saat kekasihnya menyakiti dirinya untuk pertama kali, ada penolakan dari dalam dirinya; ia tidak percaya pada realita bahwa kekasih yang sangat ia cintai itu mampu melukai perasaannya.

Aku sejujurnya selalu memikirkan ini; mungkin kamu harus pasang telinga baik-baik, mengapa lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang sadar dan mau memberikan kesempatan kedua bahkan ketiga pada sosok yang benar-benar menyakiti dirinya sampai ke tulang. Aku memikirkan ini baik-baik; mungkin karena memaafkan adalah human nature seorang perempuan, seorang ibu. Seperti saat kamu terlibat cekcok pada ibumu, ibumu akan lebih mudah memaafkanmu, daripada ketika kamu terlibat cekcok pada bapakmu. Tapi orang seringkali lupa, tak akan ada aksi tanpa sebab, ketika kata maaf masuk ke otak dan memengaruhi pola bertindak kita, apa yang harus dilakukan setelahnya?

Mungkin saatnya kamu mendengarkan cerita orang lain, karena dirimu yang keras kepala itu, hanya ingin didengar. Saatnya kamu mendengarkan cerita ini. Tidak ada yang baik tumbuh dari perasaan hancur. Balas dendam adalah sesuatu yang pasti, meski tiap orang punya caranya masing-masing. Tiap kali mendengarkan seorang perempuan menceritakan kisahnya, pengalamannya dengan seorang pria yang diakuinya brengsek, aku selalu memasang badan pada dua kemungkinan. Perempuan itu sedang mengalami shock, yang berimbas ia melakukan penolakan pada apa yang terjadi. Itu mengapa lebih banyak perempuan yang berani memaafkan kekasihnya dan kembali bersama. Ia menerjemahkan penolakan itu dengan kembali pada sosok brengsek yang menyakitinya.

Barangkali kita selalu jadi sosok yang tidak pernah sempat mendengarkan cerita orang lain, tapi apakah benar kita sudah benar-benar mendengarkan cerita kita sendiri? Apa yang kita ingin, apa yang kita butuh. Apakah benar pilihan-pilihan itu ada karena kesadaran kita sendiri, atau dipengaruhi oleh mulut orang lain. Atau cara kita bertahan hidup adalah dengan kembali mengarungi cerita yang sama dari awal? Tapi apakah kita berpikir itu artinya kita membuang-buang waktu.

Aku sejujurnya memikirkan hal ini; apa yang harus kita lakukan saat cerita kita tidak didengar? Kita harus merilis semua yang menganggu di kepala, kita tidak bisa selamanya diam pada pengalaman hidup yang merusak kita pelan-pelan dari dalam. Kita butuh sosok oase, yang bersedia duduk dan mendengar cerita kita meski cerita itu mungkin cerita paling sampah yang pernah ada. Namun sampah bukan sesuatu yang tidak bisa diubah. Kita butuh sosok itu, saat cerita kita tidak didengar, ia menjadi sosok yang selalu siap mendengar apapun celotehan yang keluar dari bibir penuh tangis itu.

Namun aku sejujurnya memikirkan hal ini; seorang pendengar pasti juga membutuhkan pendengar yang baik. Kita semua seperti sebuah mobil yang butuh netral untuk berhenti. Kita perlu menetralkan kesedihan kita dulu sebelum melanjutkan perjalanan yang gelap dan terjal. Tapi apakah kita peduli pada sosok pendengar yang selalu ada untuk menampung ceritamu, atau apakah kita sama saja seperti yang lain. Tidak sempat dan tidak ingin mendengar yang lain, asal cerita kita sudah netral dan kita siap berangkat. Tidak ada yang bisa menghadapi kesedihan sendirian. Kita bisa mengambil peran untuk menjadi sosok itu; yang mendengar dan menetralkan apapun yang menganggu kepala.

Namun, sejujurnya aku memikirkan hal ini; apakah saat cerita kita tidak didengar kita boleh memberontak selain menangis? Kesedihan tidak memiliki obatnya, ia adalah virus mematikan yang tidak terhindarkan. Dan manusia adalah satu-satunya penawar ampuh yang bisa menetralkan itu semua hanya dengan mendengarkan.


Semarang, 21 Juli 2020


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar