Sunday, March 10, 2019

Kolase Epidemi



Ada sesuatu yang hilang sejak satu per satu orang pergi tanpa meninggalkan jejak. Pergi tanpa memberi arti yang lebih. Pergi tanpa satu kata pun. Semua seolah jadi tanpa arti, dari semua yang dibangun dengan susah payah, atau yang dibangun hanya dari melanjutkan sesuatu yang dimulai orang lain. Ada yang hilang dari dalam dirimu, tapi kamu berusaha keras mencari apa yang kosong, sisi apa yang seharusnya diisi. Aku bingung, sesuatu hilang bahkan tak kusadari kapan perasaan ini memulai diri di dalam bagian hidupku. Seolah semuanya terjadi alamiah, seolah memang hal itu harus terjadi dan bagian dari perjalanan hidup.

Mungkin ada orang menyebutnya depresi, kekosongan yang lahir dari keramaian tingkat tinggi yang sebelumnya ada dan dibangun bersama orang-orang sakit yang ibu jarinya tak pernah berhenti mengonsumsi gossip artis ibu kota. Pernahkah kamu merasa sendiri—kesepian saat suasana sebetulnya sedang sangat bising-bisingnya. Ini seperti kamu berada di sebuah kotak kaca, kamu terkurung di dalamnya dan dari dalam kamu melihat keramaian di luar, keramaian yang terus mengular tanpa henti.

Barangkali semua memang dilahirkan dengan epideminya masing-masing, yang disusun seperti sebuah kepingan puzzle, dan kita selalu kehilangan keping terakhir. Ada kekosongan di sana yang perlu diisi sebelum bentuk keindahannya bisa benar-benar utuh dinikmati, tapi apakah kita sanggup menemukan keping terakhir itu sendirian. Lama-lama epidemimu membentuk sebuah kolase yang indah, namun tetap ada yang kurang, seperti melihat matahari terbit saat mendung menutupinya dan kamu hanya bisa melihat sisa-sisa cahaya yang muram terpancar dari balik awan. Kita sebut apa ini? Kesedihan mendalam? Atau hanya ketidakberuntungan.

Otakmu dipenuhi berbagai macam pertanyaan, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit, tentang mengapa cinta tak pernah punya makna yang pasti, atau tentang mengapa sebelum tidur kita selalu memikirkan orang yang sama. Aku pernah ada di titik sangat dicintai lalu berakhir sangat tidak dicintai, rasanya begitu membingungkan—aneh. Kita belajar memahami setiap inci pemikiran manusia, sebelum kita selesai mempelajarinya kita dihadapkan pada manusia lainnya, yang barangkali bahkan lebih rumit untuk dibedah. Mungkin karena dinding yang ia bangun untuk menutup semuanya.

Aku berhenti menulis sangat lama, sejak yang terakhir benar-benar mengguncangku, aku mengutuk diri sendiri, mengapa tak pernah benar-benar mampu mencintai seseorang yang datang, aku selalu mencari rumus yang tepat tapi tak pernah kutemui di mana-mana. Semesta selalu punya caranya sendiri, meski kadang dengan cara-cara itu aku tak pernah menyukainya. Aku ingat semuanya, orang-orang yang menceritakan kisahnya padaku, dan berakhir bahagia karena semuanya selesai dengan baik. Tapi mereka melupakan aku, selalu ada korban dari setiap perjalanan, korban dari setiap cerita, menjadi korban karena mendengarkan adalah caraku mengutuk diri sendiri. Tak pernah mampu mengurus jalan hidup sendiri, tapi khatam mengurus masalah orang lain. Lalu salah siapa?

Rasa kecewa barangkali akan menjadi nama tengahku, aku bahkan heran banyak orang membuatku kecewa, banyak orang berlagak baik menawarkan sesuatu, tapi berakhir menjadi epidemi yang mengakar keras, tanpa suara, tanpa gerak, bahkan tanpa hembus napas. Mereka tanpa sadar membentuk sebuah monster yang akhirnya tidak percaya pada human relationship, saat tulisan ini dibuat barangkali namamu adalah salah satu nama yang ada di buku catatanku, dan menjadi salah satu nama yang dicoret—dihapuskan dari memori dan tak lagi ingin kusentuh. Aku heran sendiri, tak pernah ada kata maaf, seolah hal semacam itu bukanlah sebuah kesalahan. Kali ini aku bingung, bagaimana bisa membuat kecewa, marah, menyesal, sebal seorang manusia bisa disebut bukan kesalahan.

Saya hilang ketertarikan, pada semua hal, pada semua yang datang, pada semua yang menawarkan romantisme namun sama sekali tidak romantis. Orang harus belajar cara memelihara manusia lainnya, bahwa jika kau mencintai seseorang buat dia merasa bebas, yakinkan dia, bukan mengikat dia dengan ikatan yang sempurna dan bikin sesak napas. Orang harus belajar itu, sebelum menerima kekuatan tertinggi yang bisa tuhan beri. Seketika cinta jadi tak punya arti karena dibentuk dan dibawa oleh orang-orang yang tak paham cara memahami manusia, semua berlagak ingin menjadi yang paling perhatian namun sejatinya hanya bikin muntah. Posesif adalah senjata nuklir yang mematikan, dan aku muak.

Seperti mendengar amarah ibu yang tak kunjung henti saat anaknya melakukan kesalahan fatal, atau sekadar nakal yang sebetulnya bisa dimaafkan dalm satu kata. Tapi semua itu tak bisa keluar, ia tertahan di ubun-ubun, dan rasanya panas. Kau selalu butuh seseorang untuk merilis semua yang membuat pikiranmu jadi gila, kita butuh seseorang yang bisa utuh memahami cerita kita, bukan yang sekadar ingin mendengar hanya untuk dibilang perhatian, Jari-jari ikut marah, saat isi kepala keluar seperti muntahan, aku sakit tapi tak kuketahui apa obatnya, bingung dan mencari namun terus menemukan jalan buntu, di saat yang sama, aku melihat semua orang tampak senang, tampak tak punya masalah, meski mungkin di kamar tidurnya seluruh bantal basah oleh air mata. Mereka hanya menemukan kesenangan-kesenangan kecil. 

Saat ditanya apakah kamu bahagia? Hanya ada suara yang mendengung keras di dalam kepala.


-----

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar