Ada sesuatu yang
hilang sejak satu per satu orang pergi tanpa meninggalkan jejak. Pergi tanpa
memberi arti yang lebih. Pergi tanpa satu kata pun. Semua seolah jadi tanpa
arti, dari semua yang dibangun dengan susah payah, atau yang dibangun hanya
dari melanjutkan sesuatu yang dimulai orang lain. Ada yang hilang dari dalam
dirimu, tapi kamu berusaha keras mencari apa yang kosong, sisi apa yang
seharusnya diisi. Aku bingung, sesuatu hilang bahkan tak kusadari kapan
perasaan ini memulai diri di dalam bagian hidupku. Seolah semuanya terjadi
alamiah, seolah memang hal itu harus terjadi dan bagian dari perjalanan hidup.
Mungkin ada
orang menyebutnya depresi, kekosongan yang lahir dari keramaian tingkat tinggi
yang sebelumnya ada dan dibangun bersama orang-orang sakit yang ibu jarinya tak
pernah berhenti mengonsumsi gossip artis ibu kota. Pernahkah kamu merasa
sendiri—kesepian saat suasana sebetulnya sedang sangat bising-bisingnya. Ini
seperti kamu berada di sebuah kotak kaca, kamu terkurung di dalamnya dan dari
dalam kamu melihat keramaian di luar, keramaian yang terus mengular tanpa
henti.
Barangkali semua
memang dilahirkan dengan epideminya masing-masing, yang disusun seperti sebuah
kepingan puzzle, dan kita selalu kehilangan keping terakhir. Ada kekosongan di
sana yang perlu diisi sebelum bentuk keindahannya bisa benar-benar utuh
dinikmati, tapi apakah kita sanggup menemukan keping terakhir itu sendirian.
Lama-lama epidemimu membentuk sebuah kolase yang indah, namun tetap ada yang
kurang, seperti melihat matahari terbit saat mendung menutupinya dan kamu hanya
bisa melihat sisa-sisa cahaya yang muram terpancar dari balik awan. Kita sebut
apa ini? Kesedihan mendalam? Atau hanya ketidakberuntungan.
Otakmu dipenuhi
berbagai macam pertanyaan, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit,
tentang mengapa cinta tak pernah punya makna yang pasti, atau tentang mengapa sebelum
tidur kita selalu memikirkan orang yang sama. Aku pernah ada di titik sangat
dicintai lalu berakhir sangat tidak dicintai, rasanya begitu membingungkan—aneh.
Kita belajar memahami setiap inci pemikiran manusia, sebelum kita selesai
mempelajarinya kita dihadapkan pada manusia lainnya, yang barangkali bahkan
lebih rumit untuk dibedah. Mungkin karena dinding yang ia bangun untuk menutup
semuanya.
Aku berhenti
menulis sangat lama, sejak yang terakhir benar-benar mengguncangku, aku
mengutuk diri sendiri, mengapa tak pernah benar-benar mampu mencintai seseorang
yang datang, aku selalu mencari rumus yang tepat tapi tak pernah kutemui di
mana-mana. Semesta selalu punya caranya sendiri, meski kadang dengan cara-cara
itu aku tak pernah menyukainya. Aku ingat semuanya, orang-orang yang
menceritakan kisahnya padaku, dan berakhir bahagia karena semuanya selesai
dengan baik. Tapi mereka melupakan aku, selalu ada korban dari setiap
perjalanan, korban dari setiap cerita, menjadi korban karena mendengarkan
adalah caraku mengutuk diri sendiri. Tak pernah mampu mengurus jalan hidup
sendiri, tapi khatam mengurus masalah orang lain. Lalu salah siapa?
Rasa kecewa
barangkali akan menjadi nama tengahku, aku bahkan heran banyak orang membuatku
kecewa, banyak orang berlagak baik menawarkan sesuatu, tapi berakhir menjadi epidemi
yang mengakar keras, tanpa suara, tanpa gerak, bahkan tanpa hembus napas.
Mereka tanpa sadar membentuk sebuah monster yang akhirnya tidak percaya pada
human relationship, saat tulisan ini dibuat barangkali namamu adalah salah satu
nama yang ada di buku catatanku, dan menjadi salah satu nama yang dicoret—dihapuskan
dari memori dan tak lagi ingin kusentuh. Aku heran sendiri, tak pernah ada kata
maaf, seolah hal semacam itu bukanlah sebuah kesalahan. Kali ini aku bingung,
bagaimana bisa membuat kecewa, marah, menyesal, sebal seorang manusia bisa
disebut bukan kesalahan.
Saya hilang
ketertarikan, pada semua hal, pada semua yang datang, pada semua yang
menawarkan romantisme namun sama sekali tidak romantis. Orang harus belajar
cara memelihara manusia lainnya, bahwa jika kau mencintai seseorang buat dia
merasa bebas, yakinkan dia, bukan mengikat dia dengan ikatan yang sempurna dan
bikin sesak napas. Orang harus belajar itu, sebelum menerima kekuatan tertinggi
yang bisa tuhan beri. Seketika cinta jadi tak punya arti karena dibentuk dan
dibawa oleh orang-orang yang tak paham cara memahami manusia, semua berlagak
ingin menjadi yang paling perhatian namun sejatinya hanya bikin muntah. Posesif
adalah senjata nuklir yang mematikan, dan aku muak.
Seperti
mendengar amarah ibu yang tak kunjung henti saat anaknya melakukan kesalahan
fatal, atau sekadar nakal yang sebetulnya bisa dimaafkan dalm satu kata. Tapi
semua itu tak bisa keluar, ia tertahan di ubun-ubun, dan rasanya panas. Kau
selalu butuh seseorang untuk merilis semua yang membuat pikiranmu jadi gila,
kita butuh seseorang yang bisa utuh memahami cerita kita, bukan yang sekadar
ingin mendengar hanya untuk dibilang perhatian, Jari-jari ikut marah, saat isi
kepala keluar seperti muntahan, aku sakit tapi tak kuketahui apa obatnya,
bingung dan mencari namun terus menemukan jalan buntu, di saat yang sama, aku
melihat semua orang tampak senang, tampak tak punya masalah, meski mungkin di
kamar tidurnya seluruh bantal basah oleh air mata. Mereka hanya menemukan
kesenangan-kesenangan kecil.
Saat ditanya apakah kamu bahagia? Hanya ada suara
yang mendengung keras di dalam kepala.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar