Tuesday, October 23, 2018

Sebelum K*ta Pergi


3 tahun lalu seorang yang kukasihi mati karena miom ganas yang tumbuh di kelaminnya. Saat itu, aku merasakan duka yang belum pernah kualami. Aku tak tahu lagi bagaimana keluar dari duka itu. Sebelum kematiannya, ia seolah memberi pesan bahwa setidaknya, ia ingin menulis satu cerita semasa hidupnya. Ia memilihku untuk membantunya, kita punya cita-cita untuk menulis sebuah novel dengan nama kita di halaman depan. Lalu pertemuan-pertemuan terus terjadi.

Kami intense berdiskusi, menciptakan banyak karakter, ia yang terlalu kebarat-baratan. Dan aku yang tak terlalu suka dengan gaya itu, ditabrakkan bersama. Ruang jadi seru, ego kami tak ada yang surut. Namun kami tahu, di sana titik seni tumbuh. Ia memberikan sebuah nama untuk karakter utama; Namanya Ranum, umur 23 seorang aktivis perempuan yang punya toko bunga dan kuliah di Amsterdam. Tokoh itu murni dia yang membuat, aku hanya membantunya sedikit. Lalu aku membuat antitesis tokoh utamanya, yang jadi penyeimbang. Namanya Sean, seorang perempuan tomboy umur 24 tahun penjual kue di Amsterdam, tokonya tepat di samping toko bunga milik Ranum.

Kamu yang mengikuti perkembanganku menulis mungkin langsung bisa menebak bahwa tulisan yang aku maksud ini berjudul "Ran Fleuriste." yang pada akhirnya hanya menjadi serial di blog sebanyak dua puluh episode. Saat itu banyak yang mencintai tokoh Ranum dengan segala kompleksitasnya. Namun di tengah kami berproses menulis ini. Perempuan itu pergi tanpa kabar, ia tak memberiku kabar apa pun. Aku tahu, saat pertemuan kami yang terakhir, ia menahan sakit di perutnya hingga tampak ingin menangis.

Aku mengantarnya pulang, tapi ia hanya ingin aku mengantarkannya sampai ke jalan besar sebelum masuk perumahan tempat ia tinggal. Sampai sebulan setelah itu, aku sama sekali tak mendengar kabarnya. Kemudian aku dengar kabar bahwa ia sudah mati karena miom ganas yang tumbuh di vaginanya, dan hingga detik ini aku belum pernah ziarah ke makamnya. Sungguh aku tak tahu di mana.

Tulisan kami belum sampai setengah dari target. Tak ada tenaga untuk melanjutkan kisah itu sendirian. Aku merasa benci pada diri sendiri. Aku tak memahami apa-apa tentang dirinya, barangkali itu memang kelemahanku—tak pernah mampu memahami siapa pun. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk merilisnya di blog sebanyak 10 episode. Murni sebagai caraku untuk menjadi baik-baik saja saat nanti kenangan itu datang kembali. Kalo kamu mengikuti blogku sejak awal barangkali kamu tau ini; bahwa banyak sekali yang menyukai tulisan itu. Lalu satu tahun setelahnya kubuatkan 10 episode lagi. Aku merasa ada pelepasan emosi yang ada di sana, aku merasa sudah baik-baik saja saat kenangan itu datang kembali.

Ternyata aku merasa tidak cukup baik-baik saja. Aku merasa perlu memindahkan kenangan-kenangan itu ke sebuah media lain. Lalu aku menulis novel pertamaku; Dhanurveda. Dengan dia sebagai tokoh utamanya. Pada titik itu, saat rilis pertama kali, February 2017. Aku merasa benar-benar sudah ikhlas atas kepergiannya. Setelah merasa ikhlas aku menceritakan masa-masa itu ke bapak ibuku. Bapak mungkin yang paling sportif, lalu ia menyarankanku untuk menulis satu novel lagi yang terinspirasi dari kisahku dan perempuan itu. Enam bulan kemudian Tentang Anna rilis. Tak sulit aku menulisnya, hanya harus menahan duka itu kembali saat menuliskannya. Bagi sebagian orang pasti paham siapa wanita itu. Tokoh utama dari babak pertama kehidupan yang membentuku hingga kini.

Lalu babak kedua dimulai saat proses menulis Dhanurveda, ada seorang perempuan, ia kuliah di Jerman. Asli Semarang yang ternyata rumahnya tak jauh dari rumahku. Ia Mengirimiku pesan, bahwa ia sangat mencintai salah satu tulisanku. Saat itu aku sedang berada di Bandung untuk menghadiri Festival Film Bandung. Awalnya ia hanya menjadi perempuan biasa seperti yang lain, yang hanya pensaran bagaimana aku. Lalu pergi tak meninggalkan jejak.

Ternyata ia lebih dari itu. Ia menjadi teman diskusiku, meski jarak terbentang dua benua memisahkan kami. Sampai untuk pertama kalinya kami bertemu. Ada debar yang belum pernah kualami sebelumnya. Kami dekat hingga mengalami masa trans bersama. Selama satu bulan liburannya di Indonesia, tak ada satu hari pun yang tidak kami lewati bersama.

Tapi ini inti dari babak kedua. Sehari sebelum kepergiannya lagi ke Jerman, ia mengakui satu hal; bahwa ia telah memiliki kekasih, dan aku hanya menjadi orang ketiga dari hubungan itu. Saat itu aku sedang menulis Tentang Anna. Dan bersamaan dengan itu, aku mengalami badai sekali lagi, patah hati sekali lagi. Merusak tujuanku menulis Tentang Anna yang awalnya hanya untuk perempuan itu. Lantas di dalam emosi yang masih meluap aku sekaligus menceritakan pertemuanku dengan wanita Jerman ini. Barangkali sebagian dari pembaca tulisan ini tahu bagian cerita ini yang sepenuhnya aku ceritakan di Tentang Anna.

Aku seperti mengalami dejavu, namun badai kali ini rasanya lebih kuat, aku sudah berharap banyak bahwa wanita Jerman benar-benar akan menjadi pengganti yang sepadan. Barangkali kamu membaca tulisanku ini. Aku tidak masalah dengan bagian ceritaku itu, paling tidak aku tahu bahwa kamu lebih mencintaiku daripada kekasihmu sendiri. Problemnya hanya jarak yang memisahkan kita. Tak tanggung-tanggung, beda benua, beda agama, dan aku hanya jadi orang ketiga. Sapa aku setelah ini, paling tidak hanya dengan kata “Hai” yang membuatku sering begadang saat itu, karena perbedaan waktu yang membuatku sekadar ingin mendengar suaramu. Maaf aku tak jadi ke Bandung Agustus lalu, saat kamu memintaku dating ke sana. Putusan itu sungguh berat, di saat yang sama aku sedang dekat dengan wanita lain. Yang akan menjadi tokoh utama di babak ketigaku—setelah ini.

Babak ketiga ini akan sangat singkat, tapi sungguh membunuhku di dalam. Aku pernah membaca sebuah buku tentang bagaimana manusia sangat rentan katanya “yang lama tidak jatuh cinta pasti kaget ketika akhirnya kembali jatuh cinta lagi. Ia akan menjadi posesif, terlalu cinta, terlalu takut, dan terlalu mengikat. Ia akan menuntut menjadi mesra, menjadi sesuatu yang sebelumnya tidak ia rasakan. Padahal untuk bisa menikmati cinta, kita perlu ruang, perlu jeda, perlu paham.”

Tepat satu tahu kepergian wanita Jerman untuk kembali melanjutkan studinya, aku mengenal seorang wanita yang namanya pernah menjadi salah satu judul puisi di blog ini. Awalnya ia sama dengan wanita lain yang mengisi ruang-ruang chatku. Cerita tentang masa lalunya, tentang pria yang pernah menyakitinya. Saat itu ada beberapa wanita yang intense mengirimiku pesan. Pada satu titik, aku mengabaikan semuanya lalu menetap di satu ruang. Wanita itu menawarkan kegilaan seteleha pertemuan kami yang pertama tanggal 4 September di sebuah coffeeshop dekat rumahku. Ia wanita yang membuatku begadang sekali lagi, kupikir ia sedang jatuh cinta. Atau barangkali aku yang terlalu kepedean.

Kamu perlu mencatat ini “Aku sungguh mencintainya.” Setelah anggap saja kena tipu oleh si wanita Jerman. Aku seperti menemukan wanita lain yang rasanya saat berhubungan dengannya aku seperti memasuki masa-masa tiga tahun lalu—tanpa maksud membandingkannya. Aku hidup—aku menceritakannya ke ibu & bapakku, ke seluruh keluargaku. Mereka justru menggodaku yang lama tak mencintai seorang wanita. Kali ini ibuku yang menjaga aku untuk tetap waras, untuk tidak mendengar yang lain. Untuk stay on the track bahwa wanita ini memang sepatutnya aku pelihara.

Sampai di sini barangkali kamu paham bagaimana akhirnya. Kami mengalami pertengkaran hebat, karena aku yang terlalu menuntutnya, aku yang terlalu cinta, terlalu menginginkan ia baik-baik saja. Terlalu, semuanya barangkali serba terlalu. Aku berniat untuk minta maaf, menurunkan egoku hingga ke titik nadir. Tapi ia menolak untuk bertemu aku seminggu yang lalu, saat kudatangi kotanya. Dan aku menempuh perjalanan pulang dengan badai dahsyat sekali lagi. Sesekali berhenti untuk menyeka tangis di pipi. Aku hanya sanggup menulis sampai di sini, karena badai itu masih keras terasa di dalam. Sekali lagi dejavu itu datang. Mungkin bedanya aku tak lagi ingin menulis buku. Aku ingin berhenti menulis. Mungkin benar-benar kembali menikmati tubuh sendiri. Atau sekadar minum es teh buatan ibu.

Terima Kasih :)

-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar