3 tahun lalu seorang yang kukasihi mati karena miom
ganas yang tumbuh di kelaminnya. Saat itu, aku merasakan duka yang belum pernah
kualami. Aku tak tahu lagi bagaimana keluar dari duka itu. Sebelum kematiannya,
ia seolah memberi pesan bahwa setidaknya, ia ingin menulis satu cerita semasa
hidupnya. Ia memilihku untuk membantunya, kita punya cita-cita untuk menulis
sebuah novel dengan nama kita di halaman depan. Lalu pertemuan-pertemuan terus
terjadi.
Kami intense berdiskusi, menciptakan banyak
karakter, ia yang terlalu kebarat-baratan. Dan aku yang tak terlalu suka dengan
gaya itu, ditabrakkan bersama. Ruang jadi seru, ego kami tak ada yang surut.
Namun kami tahu, di sana titik seni tumbuh. Ia memberikan sebuah nama untuk
karakter utama; Namanya Ranum, umur 23 seorang aktivis perempuan yang punya
toko bunga dan kuliah di Amsterdam. Tokoh itu murni dia yang membuat, aku hanya
membantunya sedikit. Lalu aku membuat antitesis tokoh utamanya, yang jadi
penyeimbang. Namanya Sean, seorang perempuan tomboy umur 24 tahun penjual kue
di Amsterdam, tokonya tepat di samping toko bunga milik Ranum.
Kamu yang mengikuti perkembanganku menulis mungkin
langsung bisa menebak bahwa tulisan yang aku maksud ini berjudul "Ran
Fleuriste." yang pada akhirnya hanya menjadi serial di blog sebanyak dua
puluh episode. Saat itu banyak yang mencintai tokoh Ranum dengan segala
kompleksitasnya. Namun di tengah kami berproses menulis ini. Perempuan itu
pergi tanpa kabar, ia tak memberiku kabar apa pun. Aku tahu, saat pertemuan
kami yang terakhir, ia menahan sakit di perutnya hingga tampak ingin menangis.
Aku mengantarnya pulang, tapi ia hanya ingin aku
mengantarkannya sampai ke jalan besar sebelum masuk perumahan tempat ia
tinggal. Sampai sebulan setelah itu, aku sama sekali tak mendengar kabarnya.
Kemudian aku dengar kabar bahwa ia sudah mati karena miom ganas yang tumbuh di
vaginanya, dan hingga detik ini aku belum pernah ziarah ke makamnya. Sungguh
aku tak tahu di mana.
Tulisan kami belum sampai setengah dari target. Tak
ada tenaga untuk melanjutkan kisah itu sendirian. Aku merasa benci pada diri
sendiri. Aku tak memahami apa-apa tentang dirinya, barangkali itu memang
kelemahanku—tak pernah mampu memahami siapa pun. Sampai akhirnya aku memutuskan
untuk merilisnya di blog sebanyak 10 episode. Murni sebagai caraku untuk
menjadi baik-baik saja saat nanti kenangan itu datang kembali. Kalo kamu
mengikuti blogku sejak awal barangkali kamu tau ini; bahwa banyak sekali yang
menyukai tulisan itu. Lalu satu tahun setelahnya kubuatkan 10 episode lagi. Aku
merasa ada pelepasan emosi yang ada di sana, aku merasa sudah baik-baik saja saat
kenangan itu datang kembali.
Ternyata aku merasa tidak cukup baik-baik saja. Aku
merasa perlu memindahkan kenangan-kenangan itu ke sebuah media lain. Lalu aku
menulis novel pertamaku; Dhanurveda. Dengan dia sebagai tokoh utamanya. Pada
titik itu, saat rilis pertama kali, February 2017. Aku merasa benar-benar sudah
ikhlas atas kepergiannya. Setelah merasa ikhlas aku menceritakan masa-masa itu
ke bapak ibuku. Bapak mungkin yang paling sportif, lalu ia menyarankanku untuk
menulis satu novel lagi yang terinspirasi dari kisahku dan perempuan itu. Enam
bulan kemudian Tentang Anna rilis. Tak sulit aku menulisnya, hanya harus
menahan duka itu kembali saat menuliskannya. Bagi sebagian orang pasti paham
siapa wanita itu. Tokoh utama dari babak pertama kehidupan yang membentuku
hingga kini.
Lalu babak kedua dimulai saat proses menulis
Dhanurveda, ada seorang perempuan, ia kuliah di Jerman. Asli Semarang yang ternyata
rumahnya tak jauh dari rumahku. Ia Mengirimiku pesan, bahwa ia sangat mencintai
salah satu tulisanku. Saat itu aku sedang berada di Bandung untuk menghadiri
Festival Film Bandung. Awalnya ia hanya menjadi perempuan biasa seperti yang
lain, yang hanya pensaran bagaimana aku. Lalu pergi tak meninggalkan jejak.
Ternyata ia lebih dari itu. Ia menjadi teman
diskusiku, meski jarak terbentang dua benua memisahkan kami. Sampai untuk
pertama kalinya kami bertemu. Ada debar yang belum pernah kualami sebelumnya.
Kami dekat hingga mengalami masa trans bersama. Selama satu bulan liburannya di
Indonesia, tak ada satu hari pun yang tidak kami lewati bersama.
Tapi ini inti dari babak kedua. Sehari sebelum
kepergiannya lagi ke Jerman, ia mengakui satu hal; bahwa ia telah memiliki
kekasih, dan aku hanya menjadi orang ketiga dari hubungan itu. Saat itu aku
sedang menulis Tentang Anna. Dan bersamaan dengan itu, aku mengalami badai
sekali lagi, patah hati sekali lagi. Merusak tujuanku menulis Tentang Anna yang
awalnya hanya untuk perempuan itu. Lantas di dalam emosi yang masih meluap aku
sekaligus menceritakan pertemuanku dengan wanita Jerman ini. Barangkali
sebagian dari pembaca tulisan ini tahu bagian cerita ini yang sepenuhnya aku
ceritakan di Tentang Anna.
Aku seperti mengalami dejavu, namun badai kali ini
rasanya lebih kuat, aku sudah berharap banyak bahwa wanita Jerman benar-benar
akan menjadi pengganti yang sepadan. Barangkali kamu membaca tulisanku ini. Aku
tidak masalah dengan bagian ceritaku itu, paling tidak aku tahu bahwa kamu
lebih mencintaiku daripada kekasihmu sendiri. Problemnya hanya jarak yang
memisahkan kita. Tak tanggung-tanggung, beda benua, beda agama, dan aku hanya
jadi orang ketiga. Sapa aku setelah ini, paling tidak hanya dengan kata “Hai”
yang membuatku sering begadang saat itu, karena perbedaan waktu yang membuatku
sekadar ingin mendengar suaramu. Maaf aku tak jadi ke Bandung Agustus lalu,
saat kamu memintaku dating ke sana. Putusan itu sungguh berat, di saat yang
sama aku sedang dekat dengan wanita lain. Yang akan menjadi tokoh utama di
babak ketigaku—setelah ini.
Babak ketiga ini akan sangat singkat, tapi sungguh
membunuhku di dalam. Aku pernah membaca sebuah buku tentang bagaimana manusia
sangat rentan katanya “yang lama tidak jatuh cinta pasti kaget ketika akhirnya
kembali jatuh cinta lagi. Ia akan menjadi posesif, terlalu cinta, terlalu
takut, dan terlalu mengikat. Ia akan menuntut menjadi mesra, menjadi sesuatu
yang sebelumnya tidak ia rasakan. Padahal untuk bisa menikmati cinta, kita
perlu ruang, perlu jeda, perlu paham.”
Tepat satu tahu kepergian wanita Jerman untuk
kembali melanjutkan studinya, aku mengenal seorang wanita yang namanya pernah
menjadi salah satu judul puisi di blog ini. Awalnya ia sama dengan wanita lain
yang mengisi ruang-ruang chatku. Cerita tentang masa lalunya, tentang pria yang
pernah menyakitinya. Saat itu ada beberapa wanita yang intense mengirimiku
pesan. Pada satu titik, aku mengabaikan semuanya lalu menetap di satu ruang.
Wanita itu menawarkan kegilaan seteleha pertemuan kami yang pertama tanggal 4
September di sebuah coffeeshop dekat rumahku. Ia wanita yang membuatku begadang
sekali lagi, kupikir ia sedang jatuh cinta. Atau barangkali aku yang terlalu
kepedean.
Kamu perlu mencatat ini “Aku sungguh mencintainya.”
Setelah anggap saja kena tipu oleh si wanita Jerman. Aku seperti menemukan
wanita lain yang rasanya saat berhubungan dengannya aku seperti memasuki
masa-masa tiga tahun lalu—tanpa maksud membandingkannya. Aku hidup—aku menceritakannya
ke ibu & bapakku, ke seluruh keluargaku. Mereka justru menggodaku yang lama
tak mencintai seorang wanita. Kali ini ibuku yang menjaga aku untuk tetap
waras, untuk tidak mendengar yang lain. Untuk stay on the track bahwa wanita
ini memang sepatutnya aku pelihara.
Sampai di sini barangkali kamu paham bagaimana
akhirnya. Kami mengalami pertengkaran hebat, karena aku yang terlalu
menuntutnya, aku yang terlalu cinta, terlalu menginginkan ia baik-baik saja.
Terlalu, semuanya barangkali serba terlalu. Aku berniat untuk minta maaf,
menurunkan egoku hingga ke titik nadir. Tapi ia menolak untuk bertemu aku
seminggu yang lalu, saat kudatangi kotanya. Dan aku menempuh perjalanan pulang
dengan badai dahsyat sekali lagi. Sesekali berhenti untuk menyeka tangis di
pipi. Aku hanya sanggup menulis sampai di sini, karena badai itu masih keras
terasa di dalam. Sekali lagi dejavu itu datang. Mungkin bedanya aku tak lagi ingin
menulis buku. Aku ingin berhenti menulis. Mungkin benar-benar kembali menikmati
tubuh sendiri. Atau sekadar minum es teh buatan ibu.
Terima Kasih :)
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar