Thursday, August 16, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati



Pagi yang dingin menyisakan mimpi yang berat sebelah, aku ingin terus mengingat keindahan di dalamnya, namun semesta memaksaku untuk lupa. Semalam ada yang bilang bahwa ia ingin bunuh diri, dan aku kaget setengah mati. Pertama aku bingung harus berbuat apa, kedua ia bukan teman dekatku. Bisa dibilang kami hanya saling kenal. Aku gagap, tak paham harus berkata apa. Itu yang membuatku masih ingat hingga pagi ini. Tubuhku seolah kram, aku butuh tenang dan nyaman, aku butuh segala sesuatu yang mampu membantuku. Aku butuh pikiran ini untuk istirahat sejenak, aku butuh bingung untuk merenung.

Ia bercerita tentang keinginannya untuk bunuh diri, aku yang hitam dan alpa soal ini sebenarnya takut ketika harus merespon perasaannya, aku belajar dari banyak hal, orang-orang atau tulisan-tulisan, aku berusaha jujur bahwa aku bingung harus apa. Ia dengan perasaan yang tenang dan nyaris tanpa ekspresi mengatakan bahwa ia hanya butuh untuk didengar. Tapi kita selalu tahu, tidak ada yang benar-benar hanya butuh didengar, sejatinya saat kita ada di masa-masa terpuruk kita butuh merasa tenang, merasa baik-baik saja, dan kita memercayakan itu pada seseorang yang bagi kita mungkin bisa membantu.

Aku berusaha untuk membantunya sedikit melupakan kesakitan yang ia rasakan, aku berusaha untuk tetap intim berkomunikasi. Untuk terus menggali apa yang ia butuhkan, aku sudah terjun, setengah badan sudah penuh lumpur, aku tak mungkin mundur, aku hanya ingin dia baik-baik saja, tanpa harus sering memikirkan hal itu. Bahwa sesungguhnya wanita itu punya kecerdasan yang membuatku terpesona, caranya melihat dunia dan memahami manusia lain membuatku jatuh, membuatku nyaman saat membicarakan banyak hal.

Awalnya cara-caraku berhasil, ia bergembira saat kami bercerita, setidaknya itu yang aku rasakan. Aku merasa ia menjadi wanita paling bahagia, paling menikmati hidup, kami seolah menjadi dua manusia yang lupa segalanya, lupa bagaimana ini awalnya terjadi, bahkan aku lupa bahwa aku tidak menyimpan rasa apa-apa. Aku hanya berharap ia baik-baik saja. Bahkan ia sempat mengajakku untuk pergi jauh, menikmati dunia, memahami makna sunyi dan sepi berdua. Aku senang mendengar ajakkanya, aku senang ia bahagia.

“Kita belum pernah ketemu tapi ngobrolnya udah dalem gini,” katanya ketika kami berbicara tentang bagaimana dunia bersikap pada manusia-manusia yang memahami tindakan di luar kendali.

“Set a met?” kataku menawari.

“Boleh.”

“Kamu ada acara Minggu ini?”

“Ah, aku gak bisa kalo Minggu, harus ke gereja.”

“I See, Sabtu malam minggu gimana?”

“Boleh. Tapi yakin kamu mau ketemu aku?” katanya, setelah lama membalas pesanku.

“Loh kenapa?”

“I’m so dark. . .”

“It’s fine, I’m so dark too.”

“Okey. . .”

“Jam tujuh malem yaa,” kataku mengakhiri pesan, dan benar ia tak membalasnya lagi—hari sudah larut.

Duniaku, adalah dunia kata-kata, dunia obrolan. Dunia suara yang langsung keluar dari bibir penuh cerita. Dari situ, aku suka menyelami keunikan manusia, aku suka mendengar berbagai hal yang coba ditawarkan orang-orang, aku bahagia dengan situasi ini, meski segalanya mungkin tak ada arti bagi orang lain. Sejujurnya hanya dengan berdua berbincang, aku bahagia setengah mati, aku tak perlu sulit menerjemahkan bagaimana perasaan orang itu, karena ia ada di depanku, aku bisa membaca kegelisahan setiap orang jika mereka dekat dan tak jauh dari pandanganku.

Tapi Sabtu berubah kelam. Pertemuan itu tak pernah terjadi. Aku duduk di tempat yang seharusnya menjadi awal pertemuan kami, aku berniat untuk memahami segala motifnya, segala rasa sedih dan rasa takutnya, aku berniat memahami seorang wanita yang merasa dirinya tak lagi punya arti di dunia ini. Aku duduk menunggu, hampir dua jam, lalu aku mengirim teks.

“Kita jadi ketemu kah?” tanyaku, setelah berulang kali menghapus pesan yang hendak kukirim. Menyesuaikan kata yang tepat dan pas. Aku sangat menjaga perasaannya.

“Eh, Astaga. Sorry, sorry, aku lupa,” ia langsung membalas.

“Ohyaudah, it’s fine, aku cuma memastikan, soalnya aku harus nganterin ibuku dulu,” kataku berbohong.

“Aku gak yakin kamu mau ketemu aku. . . I’m so dark, seriously.”

“I don’t care,” kataku singkat—pergi dari tempat itu.

“Kok kamu gitu ngomongnya? Jahat banget,” aku membacanya ketika berada di atas kendaraanku, aku bingung, merenung. Seharusnya bukan itu, amarah meredam, aku salah, aku menyakitinya.

“Sorry, maksudku I don’t care, aku bukan orang yang lihat fisik, aku gak peduli itu. Kita sudah janji ketemu dan ngobrol. Aku cuma butuh itu,” aku menunggu tiga menit, duduk di kendaraanku, tanpa menyalakan mesinnya. Ia belum membalas—hingga tulisan ini kamu baca.

-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

2 comments:

Ayo Beri Komentar