Tuesday, August 21, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati. (Semesta yang Telanjang)



“Aku udah di lobby.”

“Kamar 1206 yaa, Lantai 12.”

Membaca dan membalas pesan itu jantungku berdebar, ada luput yang terlanjur menghitam pekat tak paham arah. Senja hampir tiba, aku sudah satu jam menunggunya. Ada kerinduan yang membuncah hingga ubun-ubun rasanya hampir pecah. Aku membayangkan apakah di dalam kapsul perak itu ia ikut berdebar, atau apakah ia merapikan pakaiannya juga make-upnya. Kami sepakat membuat semuanya jadi punya arti sebelum lagi-lagi ia pergi.

“Aku udah di depan pintu,” aku membaca pesannya setelah cukup lama mataku terus terpaku pada ruang obrolan itu. Aku beranjak, sedetik kemudian—sebelum aku menggenggam gagang pintu, suara ketukan lembut terdengar. Jantungku mulai tak karuan, aku merapikan rambut sebelum membuka pintu.

Senyum itu, dengan gincu merah muda dan make-up tipis juga rambut pendeknya yang menutup hingga leher, ia definisi sempurna sore itu. Ia bediri di depan pintu, menatapku beberapa detik, lantas masuk—masih dengan senyum itu, aku menutup pintu—memutar kunci dua kali.

Ia memakai rok hitam longgar selutut dan kaos tanpa lengan warna hitam yang tak sepenuhnya menutup perut. Ia mengambil remot TV, membesarkan volume, TV menyiarkan chart lagu terkini—mataku mengikuti gerak-geriknya sampai ia berhenti dan pandanganku tertumbuk pada matanya. Ia tersenyum sekali lagi, aku membalasnya hangat.

“Di luar masih kerasa panas,” ia membuka kaosnya, kulihat bra hitamnya menampung semesta kaumnya yang rasanya hampir tumpah. Ia melemparkan kaosnya ke arahku—menutup pandanganku sejenak, aku mencium aroma lavender, harum semerbak. Otakku merasa tenang seperti seorang anak yang diceritakan sebuah dongeng malam oleh ibunya. Lalu ia mengikat rambut yang tak panjang itu.

Ia menyusuri tubuhnya sendiri, tangan itu lembut menyentuh kulit—sengaja menggodaku. Ia sesekali melirikku yang mulai tak bersuara, mulai tak tahu harus berbuat apa. Ada surga di depanku, ada pertunjukkan teater terbaik yang tak mampu ditolak pria mana pun di dunia. Aku perlahan mendekat, duduk di sampingnya, senyumnya menggoda, ia hanya memberiku punggungnya. Aroma lavender itu makin kuat, aku terpejam sesekali—menghirup aroma yang mulai kukenali dan akrab dengan hidungku.

Ia memegang kedua tanganku, ia arahakan tanganku yang gemetar itu pada pinggulnya, ia jatuhkan di sana, lalu ia tinggalkan, seperti anak kecil tanpa orang tua di dingin malam Ibu Kota, aku terdiam, ia mulai menggeliat. Aku tak kuasa menahan rindu yang detik itu pecah, aku menyusuri lekuk tubuhnya, menciumi jenjang lehernya yang langsat. Menghirup aroma rambutnya, aku terhempas pada ruangan serba gelap, dengan hanya ditemani suara-suara yang membuat roma tubuhku hidup setelah lemah sendiri.

Aku malu-malu, ini kali pertama aku menyerahkan seluruh tubuh dan jiwaku pasa seorang wanita, ia yang kucinta dan tak terjemahkan apa pun. Ia yang menjadikanku sederhana, ia yang berhasil membuatku keluar dari gelap yang meronta lama, ia yang menarikku dari sendiri yang mencekam, ia wanita yang membunuhku pada tatapan pertama. Seolah wanita itu tahu, ia menuntun satu tanganku meremas gumpalan takdir bagi tiap wanita itu, ia merintih saat untuk pertama kalinya remasan itu juga menggetarkanku, ia sengaja—berusaha menarikku pada permainan itu.

Saat irama mulai merona membentuk nada yang utuh dan indah, aku mulai lupa semuanya, lupa pada segala hal yang membuatku berpikir seratus kali atas ajakannya kali ini. Aku lupa kebingungan dan rasa khawatirku. Aku telah jatuh terlalu dalam, meremas terus, makin keras dan cepat, suara-suara itu menggema, mebentur dinding-dinding, dengan alunan musik instrumental yang kebetulan diputar TV di kamar hotel itu.

Ia berusaha membuka kait branya, hingga benar-benar lepas dan kini semesta itu benar-benar telanjang, ia berpaling menatapku, melingkarkan tangannya pada leherku dan aku masih bemain-main di alam itu. Ia menjambak lagi, keras hingga aku kesakitan, namun rasanya sakit itu tak seberapa. Ia mencium basah bibirku, bermain-main hingga lidah kami bertemu di persimpangan saat keringat mulai mengucur pelan-pelan, saat tubuh kami mulai basah berdua. Saat tanganku mulai nakal membuka roknya dan berusaha menangkap apa yang ada di sana. Ia melepas cepat kaos yang kupakai tanpa ingin melepas ciuman yang makin basah itu.

Sebelum aku berhasil menerka dunia apa yang ada di balik rok hitamnya, ia sudah menyentuh semestaku, semesta yang lama diam dan dipendam, semesta yang disukai wanita namun tak berani diungkap cuma-cuma, semesta yang menyatukan kita semua. Ia mengelusnya lembut seperti penyayang kucing pada peliharaannya. Ia melepaskan bungkus luar semesta itu, hingga seluruh luar angkasa tampak bersinar terang dan ia tersenyum menggodaku. Ia bagai melihat rasi bintang orion, si pemburu dunia lainnya, ia bermain-main pada semestaku dan menggigit bibirku yang basah. Ia masih senang dengan itu hingga rok dan penutup dunianya yang lain tanggas—lepas. Aku tak buru-buru seperti apa yang ia lakukan, mulai cepat dan keras dengan tangan-tangannya yang seolah tanpa lelah.

Aku makin menggigil, aku melihat ia makin panas, makin keras dan ganas. Sampai pada hening ruangan itu, TV berhenti memutarkan lagu-lagu dan berganti acara lain. Ia melepaskan ikatan kami, ia berbaring pada ranjang dengan sprai putih yang berkilau. Di depan mataku ia membuka lebar-lebar dunianya, hingga semesta kami saling tatap dan saling tunggu. Muncul dipikiranku tentang lubang hitam pada konsep semesta yang berbahaya dan sulit diterjemahkan, aku berulang kali menatapnya yang dengan tangan-tangannya masih memainkan dunianya yang sempit itu.

“Sorry,” tubuhku melemah.

“Kenapa?” ia bangkit.

“Kita setuju gak sampe sana,” aku duduk di tepi ranjang.

“Kupikir kamu gak serius,” ia memelukku dari belakang, kembali memainkan semestaku yang mulai tidur.

“Aku gak bisa.”

“Kenapa?” tanyanya masih bermain-main.

“Pacarmu,” kata itu menghentikannya—ia menjauhiku, aku menatapnya, melihat rasa kecewa yang menyelimuti wajah cantiknya.

“Aku gak mau jadi yang kedua, aku inget kamu pernah juga melakukan ini sama pacarmu, kamu terbuka sama aku soal itu,” ia diam. Menatapku lalu turun dari ranjang, mengambil satu-satu pakaian yang jatuh di lantai dan memakainya. Ia masih diam, aku memohon padanya untuk duduk sebentar dan membicarakan resah yang masuk tanpa ketuk ke tubuhku.

Aku memaksanya, ia menjauh—menolakku. Tiga menit sejak semesta kami saling sapa dan tinggal bertemu, hingga ia keluar membanting keras pintu. Aku membuatnya marah, membuatnya sakit, membuatnya patah hati.

----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar