Sunday, October 22, 2017

Theia: Tentang Kota dan Pikirannya


Malam itu aku terpaut di ruang tunggu stasiun, aku duduk pada sebuah bangku dengan bantalan berwarna merah di sudut kanan pintu masuk peron. Seorang wanita gelisah, earphone putih menempel di telinganya. Matanya terus tertuju pada layer ponsel, sesekali aku bisa menangkap sorot matanya, seperti ada yang diambil dari dalam diri, kantung matanya memerah, ada tangis yang baru saja mendiami sisi itu. Wanita itu menatapku.

Aku balas tersenyum, ada perasaan yang ikut diselimuti saat pandang mata itu jatuh tepat pada sepasang mataku, senyumnya berubah saat ia menatapku untuk kedua kalinya, ada keriangan di sana, aku melihat ia seperti menemukan pergolakan baru yang lebih membuatnya merasa ada dan dihargai. Wanita itu bangkit berdiri, ia merapikan bawaannya lalu melangkah—menghampiriku. Jantungku berdebar, ia terus tersenyum dalam langkahnya itu.

“Can i…” tanya wanita itu persis di depanku.

“Boleh,” balasku tersenyum.

“Thankyou,” wanita itu duduk tepat di sampingku, ia meletakkan barang-barangnya di bangku samping kanannya. Aku terdiam melihatnya merapikan barang bawaan yang sedikit banyak, satu koper dan tas, dengan beberapa kantung plastik—aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

“Theia,” ia mengulurkan tangannya—aku membalas singkat.

“Zahid,” senyumku.

“Theia or Thea?” tanyaku, kesulitan mengeja.

“Theia. Pake i setelah e sebelum a,” ia membenarkan letak duduknya—menatapku serius.

“Achso…”

“Achso?”

“Achso itu maksudnya ‘Ohgitu’ dalam bahasa Jerman.”

“Achso,” Theia tersenyum menggangguk.

“Jadi penuh Achso kita… Eh btw, Theia itu apa artinya?”

“Wah panjang nih kalo dijelasin, ada kaitannya sama astronomi… Jadi gini, ada yang namanya, hipotesis tubrukan besar, artinya gini… Bulan terbentuk dari puing-puing yang tersisa dari tubrukan antara Bumi dan benda seukuran planet Mars, sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Nah, objek yang menabrak bumi itu sering disebut Theia. Nama Theia diambil dari mitos Titan Yunani, Theia itu ibu dari Selene, dewi Bulan,” aku terperanga mendengar penjelasannya.

“Oke…” kataku mengangguk pelan.

“Rumit kan?”

“Enggak kok, nama yang indah. Cocok—sesuai sama orangnya.”

“Gombal nih?”

“Enggak dong. Buat apa? Serius itu…”

“Oke oke, kalo namamu?”

“Hmm Zahid… Kalo dalam KBBI sih artinya ‘orang yang telah meninggalkan kehidupan yang ada hubungannya dengan keduniaan’.”

“Widih aku dari Yunani, kamu arab,” Theia menggoda.

“Maknanya tuh, hidup hanya untuk beribadah, bertapa, dan sebagainya. Nggak ada urusan lagi sama kehidupan dunia.”

“Asik, berat banget namamu…” Theia masih menatapku.

“Iya sekarang udah satu ton,” ada tawa yang lepas di antara kami.

Keretaku masih beberapa jam lagi, bayang-bayang malam telah sepenuhnya pergi. Ini dini hari yang dinginnya menusuk hingga ke tulang. Aku dengan flannel biru yang ditekuk masih merasa kedinginan. Theia memakai jaket merah tebal, ia tampak santai—merasa hangat, meski aku terus berusaha lepas dari dinginnya ruang tunggu itu.

Suara-suara kereta berlalu-lalang, pengumuman keberangkatan dan petugas kebersihan yang mondar-mandir jadi pemadangan yang kami lihat bersama. Setelah satu kereta pergi ruang tunggu menjadi sepi. Beberapa menit setelah itu keramaian datang lagi, mereka menunggu keberangkatan kereta selanjutnya.

“Kamu mau ke mana?” Theia memecah keheningan.

“Jakarta,” kataku singkat, sengaja tidak bertanya balik—aku tidak terlalu ingin mengetahui urusan orang lain.

“Mau ngapain?”

“Main-main aja.”

“Aku juga Jakarta, cuma bedanya ini aku balik,” Theia berusaha mencairkan suasana.

“Ohiya? Gimana Semarang? Menyenangkan?” tanyaku pensaran.

“Ya begitulah… Aku nggak menemukan apa-apa di sini, itu yang perlu aku catat. Kota ini nggak memuaskanku. Seperti ada yang hilang dari kota ini, entah apa. Aku juga kurang paham, biasanya aku selalu bisa merasakan koneksi setiap aku ada di sebuah kota yang aku datangi. Tapi di Semarang, perasaan itu hilang, aku kesulitan menerjemahkan perasaan aneh ini… Mungkin kamu bisa bantu?”

“Perasaan kita sama, kota ini dipenuhi orang-orang sakit—kasihan. Mereka tidak tahu kalo dirinya tidak tahu, seluruh sudut kota mulai diwarnai pelangi, sejak ada kampung itu. Rasanya seperti seisi kota punya penyakit latah. Kelatahan-kelatahan itu tidak disadari sebagai sebuah penyakit yang nantinya bikin orang-orang alpa bahwa kebahagiaan mereka itu imitasi, cuma sementara. Bahagia mereka cuma dipermukaan bukan di dalam pikiran—di dalam hati.”

“I know… Itu yang juga aku pikirkan sejak sampai kota ini. Ya tapi gimana, mengubah masyarakat sama sulitnya memahami kenapa tuhan gak mau ngomong padahal dia tahu dia bisa… Kamu sendiri gimana?”

“Apanya?” tanyaku memastikan.

“Kenapa masih hidup di kota ini?”

“Kota ini butuh seorang revolusioner, ia harus berada di tengah-tengah masyarakat—mengubah pola pikir dan cara bersikap… Ini penting, karena kota ini akan terus tertinggal kalo masyarakatnya bingung, mana kemajuan besar, kita ini sedang jalan di tempat tapi dibungkus sama pencitraan pemimpinnya, terlihat seolah kemajuan besar.”

“Tapi, pencitraan kan penting.”

“Iya, tapi mau sampai kapan?”


Theia terdiam, ia hanya tersenyum menatapku. Sampai suara pengumuman dari pihak stasiun—kereta telah tiba. Kami bangkit bersama, melangkah menuju pintu pemeriksaan tiket. Tiba-tiba Theia memegang tanganku, mengelusnya lembut. Aku tersenyum melihat matanya yang cerah—berkaca-kaca. Ia jatuh terlalu dalam pada percakapan itu. Dan aku hanya menanggapinya biasa. 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

1 comment:

Ayo Beri Komentar