Tuesday, October 10, 2017

Recitativo #3


Ada dua hal yang ingin kuceritakan tentang apa yang terjadi semalam. Dua hal yang memberikan saya perspektif lain soal wanita, tentang bagaimana jalan pikiran mereka, tentang bagaimana seharusnya saya bisa bijak menyikapinya. Apakah kamu percaya, saya baru saja menyakiti perasaan seorang wanita. Entah dalam kesadaran atau tidak. Saya menyesal, karena menyakiti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling saya hindari setelah semua yang sudah dilalui.

Masalah pertama sebetulnya sepele, bahkan agaknya tidak bisa disebut sebuah masalah. Kata-kataku menyakiti seorang wanita, membuatnya harus merespon dengan sesuatu yang sebetulnya tidak perlu. Aku memang sedikit memberi jarak pada semua wanita yang kukenal, saya tidak ingin ada jauh di dalam hidup atau pikiran mereka. Tapi bodohnya itu yang saya lakukan semalam. Membunuh kebaikan seorang wanita hanya dengan sebuah kalimat yang tidak perlu kuucapkan.

Saya harus meminta maaf, itu yang terbesit pertama kali dalam pikiran setelah tahu respon wanita itu. Tidak ada pikiran lain, ini salah saya—tidak mampu menerjemahkan ekspresi seseorang. Di dalam bilik ponsel, suaranya mengartikan dua hal; suara seseorang yang malas mendengar apa pun dariku atau suara seorang wanita yang sedang merasa kelelahan karena begitu banyaknya masalah yang ia hadapi.

Tapi saya cukup senang, wanita itu dengan lapang dada menerima permintaan maafku. Saya punya pengalaman tentang berbuat kesalahan pada seorang wanita di masa lalu, yang membuatku sampai saat ini tidak lagi mampu berbicara dengannya bahkan hanya untuk saling tatap. Ini berat, karena menyakiti perasaan adalah hal paling rendah yang mampu dilakukan seorang manusia. Tapi untuk memulihkan perasaan sakit itu tentu butuh waktu.

Lalu masalah kedua, dalam kesedihanku ada rasanya saya ingin tertawa. Tawa kebodohan setelah berulang kali berpikir tentang apa yang terjadi. Semalam saya memimpikan kamu… Lagi. Hal yang dalam doaku selalu ingin kuhindari, mimpi selalu memberikan saya sudut pandang lain tentang kehidupan. Mimpi seperti dimensi lain yang berdiri sendiri, memiliki waktu dan ruang pandang yang berbeda.

Biasanya saya tidak pernah mampu melihat wajah seseorang dalam setiap mimpi malamku. Tapi kali ini, mimpi itu terasa jelas, saya menerima pesanmu. Apa yang ingin kamu katakan namun tidak sanggup bibir itu bersuara. Kenapa? Apakah kamu sedang ragu? Ya, mungkin kamu sedang meragu. Hal yang sudah kurasakan sejak dulu. Saya memimpikanmu dalam durasi waktu yang cukup lama, saya melihat kamu memeluk kekasihmu, sambil berucap di depanku; “Apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah kesalahan besar.”

Ya memang benar! Itu yang juga ingin kuucapkan sejak lama. Inti dalam mimpi itu adalah tentang bagaimana kamu ingin mengucapkan selamat tinggal… Sekali lagi. Setelah pertengkaran hebat yang pernah kita lalui dan setelah kamu meninggalkanku karena rasa bersalahmu. Saya menunggu saat-saat ini, saat di mana perasaan sepenuhnya hancur berkeping. Saat di mana bahkan saya sendiri tidak lagi mau menatanya ulang—kembali menjadi perasaan yang utuh.

Yaa, bagaimana pun, saya hanya penulis yang hanya mampu menerjemahkan perasaan lewat kata-kata, dan mungkin nanti kata-kataku telah kehilangan nyawa. Ia kehilangan napasnya sendiri. Tapi  apa yang telah saya lalu di dunia sebelum ini bersamamu adalah keindahan lain saat semesta sepenuhnya berpihak. “You give me dejavu.” Sialnya begitu.

Ini yang membuat saya semakin yakin, hidup menyendiri jauh dari orang-orang adalah pilihan tepat. Saya telah lelah—menyerah dengan janji-janji yang diucapkan manusia. Mereka selalu mengulangi kesalahan yang sama. Sadar atau mungkin tidak kita seringkali menyakiti perasaan orang lain. Kita tahu tapi kita tidak peduli. Maafkan saya jika setelah ini saya menghilang—berubah dalam wujud yang lain.


----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar