Tuesday, May 9, 2017

Membunuh Ahok


Harus diakui, orang-orang berani seperti Si Bajingan Ahok pada akhirnya akan menyerah. Keberanian & kejujurannya dibungkam, membuatnya akan diam setelah ini. Persis seperti saya, saat harus menghadapi sidang dan diancam dikeluarkan dari sekolah empat hari sebelum Ujian Nasional.
Ya, dalam sejarahnya saat hanya ada satu orang yang berani bicara dan bertindak sesuai hati nuraninya, pada akhirnya mereka hilang, dibunuh, dipenjarakan. Yang lainnya sekarat! Melindungi diri sendiri, belagak tak terjadi apa-apa. Munir dibunuh, Marsinah dibunuh, Pramoedya Ananta Toer dipenjarakan, Wiji Thukul dihilangkan.
Harus diakui, kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok ini. Negara ini telah di desain untuk membuat orang-orang seperti saya sakit hati. Setiap saat, setiap waktu, setiap detik. Kesadaran memang selalu datang terlambat. Kini, kita semua tahu bahwa diam bukan pilihan yang tepat, bukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Ahok adalah anomali dalam dunia politik di Indonesia. Dia menentang segela bentuk ketidakadilan di masyarakat. Tapi, kebaikannya dibalas dengan hukuman penjara dua tahun yang cacat hukum.
Kunci memenjarakan orang atas dasar penodaan agama hanya satu: Jumlah dan tekanan massa. Kita ambil contoh; Kasus HB Jasin saat menulis “Cerpen Langit Makin Mendung,” atau Aswendo Atmowiloto ditahun 1990. Dua orang ini dilaporkan oleh kelompok massa salah satu agama di negeri ini, dan tekanan di pengadilan membuat mereka harus dipenjara untuk mendamaikan atau menenangkan pelapor. Keadilan dikorbankan untuk mendamaikan segelintir kelompok. Persis saat sidang putusan Ahok.
Sejak 1968 saya mencatat ada 37 nama yang dipenjara karena kasus ini, yang hukum penjeratnya tidak jelas dan sangat lentur. Kepercayaan yang menyatakan penodaan agama sering dipakai oleh kelompok-kelompok ekstrimis dan radikal untuk membungkam debat-debat atau pandangan kritis terhadap keagamaan. Bahkan di Eropa salah satu film berjudul, Das Liebeskonzil (The Council Of Heaven) dicap merupakan bentuk penodaan agama sebagai tindak pidana pasal 188 KUHP Austria.
Mari kembali pada Ahok, saat pidato di Kepulauan Seribu. Apakah Ahok menyinggung Al-Maidah atau menyinggung pejabat-pejabat culas yang bertopeng. Ini pentingnya belajar bahasa, bahkan saya hanya perlu tiga kalimat itu untuk memutuskan Ahok sedang membicarakan manusia sebagai objek kalimat atau ayat. Sangat mudah membedakannya, sangat mudah mengetahuinya. Hanya saja kita yang tidak bisa bersifat objektif. Tidak adil, tidak benar.
Perubahan selalu butuh tumbal. Harus ada yang berkorban atau dikorbankan. Ahok telah melakukannya dengan suka cita, tak ada raut kesedihan yang terlihat, meski kita tahu saat mata kamera tak menyorotnya kesedihan dan kekecewaan yang mendalam sedang dialaminya. Kita perlu bergerak menuju perubahan baru, jangan lagi diam. Buat perubahan semampumu. Aku memilih menulis untuk membuat perbedaan di tengah masyarakat.
Harapan harus tetap ditegakkan meski kita sedang berada di titik terendah hidup. Tuhan tidak diam, dia selalu ada dan kebenaran tidak pernah diam. Indonesia sedang mendewasakan diri, saat inilah kita perlu bersama-sama ikut mendewasakan pemahaman kita, tentang politik, keberagaman bahkan agama sekalipun. Kita hidup di zaman non universal truths, membuat kebaikan tak selalu mutlak. Kita tidak bisa bilang lagi bahwa semua orang baik dan mengajarkan kebaikan. Mari ambil sikap, ketahui nilaimu. Apa yang sudah kamu lakukan.
Saya hanya takut, kasus ini berimbas pada generasi berikutnya yang mulai sangat rentan diserang dan dicuci otaknya. Mereka akan berpikir bahwa jangan membuat perbuahan seperti yang dilakukan Ahok. Sang Gubernur yang dipenjara bukan karena korupsi, bukan karena dia melukai kepercayaan rakyat, bukan karena berkhianat pada janjinya. Tapi karena tekanan massa yang sebetulnya tak tahu apa-apa. Kesalahan yang terjadi pada generasi berikutnya adalah tanggung jawab kita yang hidup di generasi sebelumnya.
Untuk kalian yang biasa mengungkapkan kebenaran meski jadi bullyan kaum mayoritas atau radikal, jangan berhenti menyebar kebaikan dan kebenaran. Jangan takut, jangan biarkan negara ini dikuasai oleh individu-individu congkak yang seenakya sendiri ingin mengubah semuanya yang telah disepakati sejak dulu. Mempelajari agama memang baik, tapi bukan justru menjadikanmu manusia yang tidak baik.
Baru kali ini saya merasakan sakit hati yang paling dalam. Mengetahui negara ini sedang diperebutkan oleh banyak kepentingan, saya kecewa, kejujuran tidak lebih bernilai dari apapun. Percayalah! Kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok. Politik murni memang bikin sakit hati, dia tidak pernah benar-benar membela keadilan. Selalu ada kepentingan setelahnya. Saya takut, setelah ini akan ada Ahok – Ahok lain yang diserang, dikerdilkan, dan akhirnya menyisakan orang-orang jahat untuk bekiprah di dunia politik.
Vonis dua tahun penjara bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut satu tahun penjara, hal yang langka ketika hakim justru memberatkan bukan meringankan untuk peradilan yang tak bisa membuktikan secara hukum, hanya asumsi di atas asumsi. Banyak orang mencoba membunuh Ahok, menyingkirkannya karena takut Ahok bisa menjadi gangguan bagi kaumnya.
Dengan sangat mudahnya kita digiring dengan isu dan opini yang tak jelas sangkut pautnya, isu ini merusak akal sehat. Kita perlu memahami dan berpikir jernih apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mari kita hitung, sudah berapa percobaan yang digunakkan untuk menyingkirkan Ahok? Sudah berapa kali fitnah yang dilontarkan untuk Jokowi? Harusnya kita jadi tahu siapa lawan kita sebenarnya.
Agama memang sangat sensitif, itu yang membuatnya bisa sangat mudah dibungkus dengan sesuatu yang batil. Ketegangan religius dieskploitasi untuk memenuhi tuntutan politik, memecah masyarakat berdasarkan identitas hanya untuk kemenangan elektoral saja. Negara yang majemuk ini sedang diuji. Tuhan sedang menguji kita, seberapa hebat dan kuatnya kita bisa menghadapinya. Jangan pesimis dulu, selalu ada celah. People Power adalah jawaban.
Percayalah Pak Ahok, saya pernah memperjuangkan kebenaran, melawan segala bentuk ketidakadilan, saya diancam, mental saya diuji, ditinggalkan orang-orang karena takut ikut menjadi korban. Saya ada di barisanmu, mengetahui perasaanmu saat ini. Saya sudah berusaha untuk berjuang melalui tulisan-tulisan saya, namun tetap saja ada yang tidak suka. Mereka-mereka ini selalu ada, Pak. Kita cuma perlu kuat, sabar, dan tabah. Ada saatnya yang pernah berdiri paling depan untuk mundur, diam, dan istirahat. Biarkan masyarakatmu yang melanjutkan perjuangan lewat cara-caranya sendiri. Saya menangis menulis ini. Saya yakin Tuhan sedang bersamaku saat ini. Seperti perlindungannya padamu setiap saat. Terima Kasih, Pak.   




Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar