Tuesday, May 30, 2017
Ed & Talia
Pukul tujuh malam, aku datang dan
duduk di bangku besi berwarna merah. Di depanku ada sebuah rak yang memajang
buku-buku. Ini tempat dimana pecinta film sering datang untuk nonton bareng
atau sekadar mendiskusikan sebuah film yang baru mereka tonton. Aku membuka
laptop, seperti biasa, membuka word untuk mulai menulis. Tempat itu belum
dipadati pengunjung. Hanya ada tiga orang yang duduk agak jauh dariku,
berdekatan dengan layar yang biasanya digunakan untuk memutar sebuah film. Dan
seorang wanita yang duduk tak jauh dariku. Wanita itu duduk sendiri, seperti
sedang menunggu seseorang. Matanya sibuk menatap layar ponsel.
Kafe ini didominasi dengan cat
warna putih, beberapa poster film dipajang di dinding-dindingnya. Hujan deras
yang sempat turun mulai reda, berganti dengan gerimis. Lembar word itu masih
kosong, aku tak kuasa menggerakkan jari-jariku. Aku mengetuk meja dengan
jariku, menciptakan bunyi, membuat wanita mungil yang duduk di dekatku
menatap singkat. Ponselku bergetar, satu pesan masuk—aku tak membacanya. Aku
sedang melatih diri untuk tak berdekatan dengan benda kecil itu. Karena dunia
baik-baik saja sebelum ada ponsel.
Beberapa detik ruangan itu sempat
sunyi—senyap. Aku bisa mendengar suara detak jam di tangan kiriku. Wanita yang
duduk di dekatku beranjak dari kursi, sedikit membanting ponselnya ke meja,
dengan wajah kesal dia mendatangi bar, berbicara pada seorang barista. Aku
sempat mendengar percakapan di antara mereka. Setelahnya, wanita itu kembali,
duduk dengan raut muka yang berubah ceria. Layar mulai terang, sebuah film siap
diputar. Aku tersenyum, terpaku menatap layar yang pelan-pelan memunculkan
sebuah gambar. Aku familiar dengan film yang sedang diputar.
Aku menutup laptopku, arah duduk
berganti, berpaling menghadap layar. Wanita itu duduk tepat di depan sebelah
kiri. Rambutnya dibiarkan terurai, dia melipat kedua tangannya di dada. Aku bisa
melihat lesung pipitnya, karena senyum yang sempat tercipta tepat ketika tokoh
utama film itu mulai keluar. Wanita itu mengubah posisi duduknya saat film hampir
berjalan tiga puluh menit, memangku kaki kanan pada kaki kirinya. Aku mulai
sadar, film ini diputar karena permintaan wanita itu. Aku sempat keheranan,
ternyata ada wanita yang menyukai film jenis ini. Aku memberanikan diri
menghampirinya.
“Hey, boleh duduk di sini?” tanyaku
meminta.
“Oh, boleh-boleh,” wanita itu
sedikit kaget, setelah menatapku singkat. Aku duduk, meletakkan tas ransel di
samping kursi, wanita itu bergeser, memberikan ruang untukku.
“Kamu yang request film ini?”
tanyaku menujuk layar.
“Ohiya, tadi bilang ke masnya,”
senyum wanita itu membalasku.
“Emang suka film ini?”
“Iyaa, gak pernah bosen nontonnya…
Ceritanya dapet,” wanita itu setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana yang
tercipta di antara kami.
“Ohgitu… Eh kenalin. Aku, Ed,”
kataku mengulurkan tangan.
“Ed? Aku Talia,” balas wanita itu
menjabat tanganku.
“Ed?” tanya Talia sekali lagi.
“Iya, Ed,” senyumku meyakinkan.
“Cuma Ed?” tanya Talia tak percaya.
“Just Ed,” senyumku pada Talia
membuatnya balas tersenyum.
Setelahnya kami sempat terdiam,
Talia fokus menonton film dan memegang gelas berisi kopi yang sesekali
diminumnya. Aku berulang kali melihat ponselnya bergetar dan menyala, Talia
menghiraukannya, aku tersenyum—mengangguk pelan.
“Ide film ini sebenernya riskan, loh
kalo dibawa ke Indo,” kataku memecah keheningan di antara kami.
“Hmm… Riskan banget, soalnya kan
culturenya beda gitu. Bisa-bisa malah di demo. Dulu aja Jagal gak boleh
diputer, kan. Di demo FPI,” ujar Talia setelah menyeruput kopinya,
“Ohiya ya. Itu yang di demo Jagal
atau Senyap? Aku kok lupa,” tanyaku mengernyitkan dahi.
“Jagal kalo nggak salah, eh lupa.
Udah lama banget itu mah.”
“Kamu tau nggak, film ini diangkat
dari Novelnya Michael Muhammad Knight?”
“Sempet denger. Nonton filmnya doang,
nggak baca bukunya,” Talia mulai melupakan film itu, memalingkan wajahnya,
mengganti posisi duduknya—menghadap ke arahku.
“Aku malah baca bukunya dulu baru
nonton filmnya,” aku mulai berani menatap matanya saat berbicara. Ikut
melupakan film itu.
“Wah, aku aja nonton filmnya dikasih
tau temenku… Sama di bukunya nggak, sih?”
“Garis besarnya, sih sama. Cuma
biasa, ada yang di buku tapi di film nggak digambarkan. Mungkin karena tuntutan
durasi.”
“Berarti antara film dan buku sama
lah, yaa. Gak ada yang di lebih-lebih, kan.
“Cuma memang aku lebih suka bukunya.
Imajinasi Eyad Zahra kurang kena ke aku sebagai pembaca. Masih wajar sih tapi.
Yang jadi Yusef kurang… Cuma yang jadi Rabeya cocok banget. Keren!”
“Iyaaa, gokil sih aktingnya, dapet
banget perannya disitu. Aku suka tiap kata yang mereka ucapin tentang isi
ceritanya. Tentang islam, agama dimata mereka sebagai anak punk. Mereka berani
banget mainin kata-katanya, nancep semua, gitu. ” Talia tersenyum menatapku.
Tepat setelahnya seorang barista mengantarkan kopi untukku. Aku memang tak
pernah memesan, mereka selalu tahu apa yang biasa aku pesan. Satu gelas long
black, lalu aku menyeruput untuk pertama kalinya.
“Kalo udah baca bukunya memang lebih
ngerti watak tokohnya secara detail, sih… Jadi penasaran sama bukunya,” kata
Talia, menambahi.
“Kayaknya, di Gramed lagi banyak
buku-buku import masuk. Coba deh cari, mungkin Ada.”
“Ohiya? Di bagian mananya?”
“Oh, bukan Gramed ding. Toko Gunung
Agung yang di CL… Yang di depan banget, ditaruh di satu wadah besar gitu.
Acak-acakan. Aku nemu, Milk & Honeynya Rupi Kaur di sana,” kataku setelah
mengingat-ingat.
“Wah boleh tuh, itu sampai kapan,
btw? Daripada aku beli terus ke post santa… Harganya berapa?” tanya Talia,
antusias, senyumnya merekah, lesung pipitnya kentara, ada yang luluh dari dalam
diriku.
“Aku sih bulan April kesana…
Harganya di atas 150. Soalnya Bahasa asli, cetakan asli… Post santa yang kamu
maksud toko buku online itu, bukan?” tanyaku memastikan
“Iya bener, aku kalo beli buku
biasanya disana. Kebanyakan memang buku-buku impor… Bisa deh nanti dicoba
kesana kalo free. Dan kalo ada duitnya,” Talia tertawa, tawa itu menular
padaku. Suasana menjadi hangat.
“Harus free dan ada duitnya, yaa.
Itu yang jadi PR,” kataku menggoda Talia. Tersenyum menatap matanya.
“Iya… Kamu bisa dong nemenin
kapan-kapan?” Talia terkekeh.
“Bisa dong… Eh aku minta kontakmu
dulu aja,” ujarku memberikan ponsel setelah merogoh kantung kanan celanaku. Talia
mencatat nomornya, aku melihatnya memainkan jemari di layar ponselku. Melihat
rambutnya yang terurai jatuh—menggantung.
“Nih, WA aja yaa,” kata Talia,
mengembalikkan ponselku.
Setelah percakapan yang cukup
panjang, kami melanjutkan menonton film. Tiga pengunjung lain pergi beberapa
menit yang lalu. Hujan mulai reda, hanya ada kami di ruangan itu, duduk
berdampingan. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, sepatu Talia
sempat menyentuh sepatuku. Beberapa detik setelahnya Talia mengulangi sentuhan
itu.
Dari
situ aku tahu ada yang hendak disampaikannya, aku membalas menyentuh sepatunya,
dua kali, persis seperti seorang yang mengetuk pintu. Talia menoleh manatapku. Aku
tersenyum, Talia membalasnya, lalu berpaling—kembali fokus menatap layar.
Jemariku bergerak, kelingkingku menyentuh kelingking Talia. Talia ikut menggerakkan jemarinya, lalu kemudian, telapak tangan Talia mengadah, persis
seperti seorang yang meminta. Melihat itu, pelan-pelan aku menggandeng
tangannya, jemari kami saling mengisi. Ibu jari kami saling mengelus lembut.
Senyum kami merekah, aku tahu perasaan apa yang sedang bergejolak di dalam
diriku malam itu.
-----

Zahid Paningrome
Web Developer
Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.
Friday, May 19, 2017
Fragmen 3 Langkah
Ruangan itu serba abu, minimalis dengan dekorasi yang sederhana.
Bohlam di atap ruangan ditata secara acak, membentuk bayangan sebuah kelopak
bunga yang memantul di lantai cokelat yang mengkilap. Aku baru saja datang,
pintu kaca yang kubuka berdecit, suaranya mengganggu telinga, membuat beberapa
orang menatapku singkat. Ada yang bilang, ruangan itu adalah tempat terbaik
untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk kota yang makin gila. Aku duduk di
sebuah kursi bar dengan besi sebagai penyangga bantalan kayu tanpa sandaran.
Tempat itu dibagi menjadi empat bagian. Aku berada di ruangan pertama, ruangan
yang letaknya paling depan, berdekatan dengan pintu masuk. Ruangan untuk
orang-orang yang datang sendiri, terlihat dari kursi-kursi solo yang ditata
sejajar di depan bar. Ada dinding pembatas kaca yang memisahkan ruangan
itu dengan ruangan lainnya. Ada meja dan kursi panjang yang menghiasi ruangan
kedua, tempat yang biasa dipakai para eksekutif muda untuk meeting bersama
klien-klien mereka atau para mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah.
Ruangan ketiga ada di lantai dua. Tak ada kursi disana, hanya ada meja-meja dan
karpet untuk pengunjung yang ingin duduk bersila atau selonjor alias tanpa
kursi. Ruangan itu biasa dipakai untuk arisan keluarga, atau tempat
berkumpulnya berbagai komunitas di kota ini, ruangan paling luas di antara yang
lainnya. Ruangan keempat ada di lantai tiga, untuk berada disana kita perlu
menaiki tangga melingkar dengan 23 anak tangga. Ruangan terbuka dengan beberapa
meja berpayung untuk melindungi pengunjung dari panas matahari atau hujan.
Biasanya hanya para perokok yang ada di lantai tiga. Menghabiskan rokoknya lalu
kembali turun.
“Minum apa, Mas?” seorang barista yang sedang mengelap cangkir kopi menawariku.
Belum aku menjawabnya pintu terbuka, suara decitannya masih menggangu telinga.
Aku melihat samar-samar karena pantulan sinar matahari mengganggu pandanganku.
Seorang wanita memakai rok hitam selutut dan blus putih tanpa lengan membawa
tas hitam kecil berjalan mendekat lalu berdiri di sampingku, berbicara pada
barista yang sama.
“Mas biasa, ya,” kata wanita itu. Barista menjawabnya santai, seperti seorang
yang sudah saling kenal. Wanita itu kemudian meninggalkan bar, sempat tersenyum
menatapku. Aku melihatnya berlalu, berjalan melewati ruangan kedua, Kulitnya
yang putih terlihat dari lubang berbentuk oval di bawah leher pada blus putih
yang dipakainya. Wanita itu menuju ke lantai dua.
“Kenapa, Mas?” tanya barista itu sembari sibuk dengan mesin kopinya.
“Tadi siapa, Mas?” tanyaku.
“Oh… Saya sih nggak tahu namanya, tapi dia sering kesini sendiri. Suka duduk di
lantai tiga. Yaa… Jam-jam segini ini dia kesininya, dua atau tiga jam lagi baru
pulang.”
“Ohgitu…” kataku mengangguk pelan.
“Masnya jadi mau minum apa?”
“Samain aja deh, kayak mbaknya tadi.”
“Oke Siap!”
Rambut wanita itu dikuncir, hidungnya mancung, matanya kecokelatan, alisnya tak
digambar seperti kebanyakan wanita saat ini. Sekilas aku melihat tak ada make
up yang dipakai selain gincu merah yang menghiasi bibir tipisnya. Wajahnya
mengingatkanku pada Anna Hathaway dalam film One Day.
“Ini, Mas minumnya,” barista itu memberikan secangkir kopi.
“Itu biar saya yang bawa, ya. Saya juga mau sekalian ke atas.”
“Ohgitu? Oke. Silakan.”
Aku membawa nampan bundar dengan dua cangkir di atasnya, lalu bergegas menuju
ke lantai tiga. Wajahku terlihat dari air kopi di dalam cangkir, seperti sebuah
cermin. Aku sampai di lantai tiga, melihat wanita itu kebingungan, mungkin
karena aku yang membawa pesanannya. Wanita itu mengapit sebatang rokok di
sela-sela jarinya.
“Loh, kamu yang duduk di bawah tadi, kan?” tanya wanita itu, melihatku
meletakkan minuman di meja.
“Kenalin… Abraham,” kataku tersenyum, mengulurkan tangan.
“Renata,” wanita itu menjabat tanganku setelah menaruh batang rokok pada asbak
kayu. Aku melihat api pembakaran pada rokok itu setelah melepaskan jabat
tangannya.
“Kenapa? Baru kali ini lihat cewe ngerokok?”
“Ah
enggak,” kataku menggeleng pelan.
“Rokok?”
Renata mengangkat bungkus rokoknya, menawariku.
“Perokok
pasif,” senyumku, menolak.
“Ah,
I see… Bibirmu masih bersih,” Renata mengangguk pelan, menaruh kembali bungkus
rokoknya.
“Baru
kali ini aku lihat cewe pake rokok kretek.”
“Otentik,”
Renata mengangkat kedua alisnya, menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Renata
melepas heelsnya, kedua kakinya bersandar pada penyangga meja. Aku melihatnya
tampak tenang, sesekali memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Aku
mencoba santai, memulai pembicaraan dan mencairkan suasana.
“Eh,
ini nggak diracuni, kan?” Renata mengangkat cangkirnya, menatapku curiga, lalu
meminumnya. Menunggu beberapa saat.
“Aman,”
senyum Renata menaruh cangkirnya.
“Aku
bukan Jessica,” kataku membuat Renata terkekeh.
“So,
Abraham. Apa yang membawamu kemari?”
“Well…
Aku bisa pergi kalo keberadaanku tidak diinginkan,” kataku setengah berdiri.
“No…
Jangan buru-buru,” Renata menahanku.
“Oke,”
senyumku, kembali duduk. Renata menghisap rokoknya hingga habis, lalu
mematikannya—menekan di asbak.
“Catet
nomormu,” Renata memberikan ponselnya.
“Ha?
Harusnya ini jadi langkah ketiga.”
“Enggak
juga, kita bisa taruh ini di langkah pertama. Sebelum kita masuk ke langkah
berikutnya. Aku nggak mau kamu pergi tanpa meninggalkan apa-apa,” Aku mencatat
nomorku, lalu mengembalikkan ponselnya. Beberapa saat kemudian ponselku
berdering.
“Itu
aku,” kata Renata saat aku membuka ponselku.
“Oke,
saved,” senyumku. Renata menatapku, kami saling tatap untuk beberapa saat. Lalu
aku meminum kopi untuk menghilangkan kecanggungan.
Ada
yang tak biasa dari wanita yang duduk di depanku. Dia dengan mudahnya memikat
hatiku dalam hitungan singkat. Tak perlu banyak hal yang dilakukan. Renata
hanya melakukan satu hal yang tak dilakukan kebanyakan wanita saat ini. Renata
berani memulai, dia percaya bahwa kami ada dalam satu meja yang sama bukan
karena kebetulan, tapi karena mekanisme alam yang sudah ditentukan dari awal
terbentuknya kehidupan di dunia. Hal yang tak pernah disadari banyak orang
terutama wanita.
Dalam
sebuah pertemuan seperti ini, biasanya aku membagi dalam tiga fragmen. Langkah
pertama, berkenalan. Langkah kedua, saling mengenal. Langkah ketiga, adalah
langkah yang bercabang. Ada banyak langkah lagi disana, ada banyak hal yang
harus dilakukan sebelum akhir. Biasanya orang-orang putus asa di langkah ketiga
ini. Langkah ketiga adalah keberadaan. Siapa berada dimana, siapa sebagai apa,
dan siapa menjadi apa.
“Kebetulan
aku sedang riset untuk tulisan terbaruku. Kamu bisa bantu?”
“Oh,
kamu penulis? Boleh-boleh. Apa yang bisa aku bantu?” ujar Renata, terkejut.
“Aku
mau tanya. Kamu cuma perlu jawab jujur, jangan dibuat-buat.”
“Oke,”
Renata mengambil batang rokok, lalu menyalakannya dengan korek gas berwarna
putih.
“Kenapa
kamu harus besikap seperti sekarang sebagai seorang wanita?”
“Hmm…
Pertanyaanmu… Well… Banyak dari kita yang merasa nggak sakit, padahal semua
manusia adalah makhluk yang kesakitan dan butuh obat… Aku tahu arah
pertanyaanmu kemana. Dan sebenarnya pun, aku nggak perlu jawab kamu pasti tahu
jawabanku.”
“Nggak
sepenuhnya. Membaca pikiran orang nggak diartikan sebagai membaca otak manusia.
Kita membaca gerak-geriknya, nada bicaranya, mimik mukanya, raut wajahnya,
intonasinya, caranya berbicara, caranya menatap… Dan aku melihat, kamu baru
saja mengalami hal yang nggak mengenakkan buatmu.”
“Aku
melihat itu juga lewat matamu,” Renata menghisap rokoknya.
“Well…
Pertemuan kita sudah ada yang mengatur. Sekarang terserah kita, mau saling
terbuka atau tetap tertutup—menahan diri,” kataku, meyakinkan Renata.
“Menurutku,
orang yang patah hati persis seperti orang yang fisiknya sakit. Butuh obat
untuk menyenmbuhkan sakit hatinya… Obatnya orang lain. Sialnya, banyak orang
menyebut itu pelampiasan, padahal sebenarnya bukan. Kita secara alamiah bakal
mendekat ke orang lain untuk bisa mengobati perasaan itu. Makanya ketika kita
tahu bahwa orang itu dirasa nggak bisa mengobati kita, kita cenderung mundur
perlahan, terus mengulangi sampai kita ketemu sama orang yang bisa mengobati
kita.”
“Dan
yang bisa membuat kita kembali nyaman,” kataku menambahi.
“Betul,”
Renata mengangguk.
“Menurutmu,
kenyamanan itu datang sendiri atau diciptakan?”
“Diciptakan,
dong,” kata Renata setelah menghisap rokoknya.
“Oke,
kalo kenyamanan diciptakan, berarti nggak perlu dong kita punya tipe cewek atau
cowok yang pantes jadi pasangan kita. Toh, rasa nyaman itu kan yang
menciptakan dua orang yang menjalin hubungan.”
“Aku
kurang setuju. Tiap orang punya perbedaan pilihan dalam hal apapun. Ya…
Karena hidup ini permainan pilihan, kita tetap perlu memilih siapa yang memang
cocok untuk kita.”
“Oke,
kalo tipe cowomu?”
“Baik,
pastinya. Fisik relatif, lah. Yang paling penting mau berkomitmen… Kamu?”
“Aku?
Aku suka perempuan yang terbuka hati dan pikirannya.”
“Maksudnya?”
tanya Renata, penasaran. Jari-jarinya yang mengapit batang rokok berada di
samping telinga.
“Terbuka
hatinya, dia bisa bedain mana yang baik dan buruk. Mana yang harus dia ladeni
dan enggak. Intinya dia tahu, dia harus apa untuk dirinya sendiri,
lingkungannya dan orang lain… Terbuka pikirannya, dia nafsu sama ilmu
pengetahuan sama hal-hal baru yang belum pernah dia pelajari, itu yang bisa
bikin jadi asik ngobrol, lalu kenyamanan datang setelahnya.”
“Fisik?”
tanya Renata, memastikan.
“Aku
cari pasangan hidup, bukan pelacur yang sekali pakai atau artefak langka buat
dipajang. Kita nggak boleh mendiskreditkan sesuatu yang nggak bisa diubah
manusia. Kasihan orang-orang yang terlahir dengan kekurangan di tubuhnya.”
“Tapi
kamu selalu berdoa untuk yang terbaik buat kamu, kan?”
“Itu
pasti,” senyumku, lalu meminum kopi.
“Aku
mau tanya… Dalam masalah cinta, apa yang nggak mengenakkan buatmu?” tanya
Renata setelah aku selesai meminum kopi.
“Banyak
orang meminta dicintai tapi nggak mau mencintai. Banyak orang mengeluh karena
cintanya tak terbalas, padahal disaat bersamaan ada orang lain yang
mencintainya tanpa berharap dicintai. Seharusnya kita belajar untuk mencintai
orang yang mencintai kita, bukan sebaliknya. Cinta itu perkara proses
bertumbuh. Harus tumbuh bareng-bareng, nggak bisa salah satunya, jadinya
pincang.”
“Pengalaman
banget, yaa?” Renata terkekeh. Aku setengah tertawa.
“Itu
yang akhirnya bikin banyak orang memilih menunggu, entah sampai kapan yang
akhirnya dilupakan dan dianggap nggak ada. Nggak ada yang lebih menyakitkan
dari terlupakan.”
“Aku
paham maksudmu, aku juga pernah ngerasain, dan yang kamu maksud itu, memang
lebih sering dilakukan cewe-cewe yang nggak pernah mau dewasa dalam menjalin
hubungan,” Renata menambahi, aku mengangguk.
“Kalo
kamu?” tanyaku.
“Aku
mengutip omongan orang lain boleh?”
“Boleh
dong, barusan juga ada omongan orang yang aku kutip,” kataku menatap Renata.
“Tidak
ada yang menyakitkan daripada mencintai seseorang yang bahkan nggak pernah
menganggap kita ada, padahal kita selalu ada di sampingya.”
“Pengalaman
banget, yaa?” balasku terkekeh. Renata setengah tertawa.
“Aku
mau tanya lagi, tapi kamu harus objektif, yaa.”
“Kok
jadi kamu, sih yang banyak tanya?” keluhku.
“Boleh,
nggak?” Renata menggodaku.
“Fine.
Aku selalu objektif melihat segala sesuatu.”
“Oke.
Menurutmu, kenapa cewe lebih sering dicauhkan? Lebih sering disia-siain?”
“Kenapa?
Hmm… Karena banyak pria cenderung meninggalkan sesuatu setelah mendapatkan apa
yang dia mau. Dia jadi nggak ada ikatan lagi… Jadi jangan buru-buru memberikan
sesuatu yang diinginkan pria, kecuali sudah ada komitmen, kecuali kalo keduanya
nggak mempermasalahkan, dan sama-sama mau.”
“Cowo
gampang bosen, yaa?”
“Nah,
itu ungkapan yang salah. Sebetulnya, justru cewe yang cepet bosen. Iya, kan?”
“Iya
sih, aku ngerasainnya gitu,” Renata menghisap rokoknya, lalu mematikannya.
“Makanya,
cari pasangan yang seimbang.”
“Yaa,
I know… Kita seimbang, btw,” Renata menatapku, aku tersenyum membalasnya.
Biasanya,
langkah kedua bisa dilewati saat keduanya sudah saling terbuka hati dan
pikirannya, tak memberi batas apa pun pada semua kemungkinan yang masuk
kedunianya. Renata dan Abraham sama-sama membiarkan satu sama lain masuk, untuk
bisa mengobati rasa sakitnya. Perkara apa yang harus dilakukan selanjutnya tak
perlu dipikirkan sendiri, karena cinta adalah proses bertumbuh.
Banyak
orang tidak bisa membedakan antara cinta dan jatuh cinta, keduanya berbeda. Apa
yang dirasakan Renata dan Abraham bukanlah cinta, mereka baru merasakan jatuh
cinta, ketika keduanya saling menerima, barulah cinta tumbuh setelahnya.
Perasaan yang datang sebelum jatuh cinta adalah rasa penasaran. Rasa itu keluar
secara alamiah yang pelan-pelan bertanya pada diri sendiri bagaimana
kelanjutannya. Tapi, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana penasaran
mana jatuh cinta. Maklum, kadang cinta jatuh pada orang-orang bodoh.
“Well…
Bisa dibilang kita sudah ada di langkah ketiga. Kita mau apa?” tanyaku,
memberanikan diri.
“Baru
kali ini, aku ketemu orang gila kayak kamu,” Renata menatapku tajam.
“Sama,
baru kali ini aku ketemu perempuan kayak kamu.”
“Kamu
perlu tahu, aku capek sama perpisahan. Percuma sekuat tenaga menjaga hubungan
tapi akhirnya kandas, pisah, dikhianati,” keluh Renata.
“Sama,
aku juga capek.”
“Ih
serius, ah. Jangan bercanda.”
“Aku
juga serius… Kamu tahu nggak? Ada hubungan yang nggak akan berakhir perpisahan.”
“Aku
tahu itu,” Renata tersenyum.
“Jadi?”
tanyaku menatap Renata, wajahku mendekat, persis seperti seorang yang penasaran.
“Kita
bangun fragmen ketiga kita bareng-bareng. Tutup semua percabangannya, bikin
jadi satu jalur, dimana cuma ada kita yang ada di situ… Tapi tanpa ikatan,
karena ikatan justru membatasi kita. Deal?” wajah Renata ikut mendekat, aku
hanya mengangguk.
Kening
dan ujung hidung kami menempel, aku bisa melihat Renata yang tersenyum, melihat
matanya berkedip berulang kali, merasakan debar jantungnya berdebar lebih
cepat, detik berikutnya bibir kami bertemu, lembut tanpa tergesa-gesa.
-----

Zahid Paningrome
Web Developer
Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.
Tuesday, May 9, 2017
Membunuh Ahok
Harus
diakui, orang-orang berani seperti Si Bajingan Ahok pada akhirnya akan
menyerah. Keberanian & kejujurannya dibungkam, membuatnya akan diam setelah
ini. Persis seperti saya, saat harus menghadapi sidang dan diancam dikeluarkan
dari sekolah empat hari sebelum Ujian Nasional.
Ya,
dalam sejarahnya saat hanya ada satu orang yang berani bicara dan bertindak
sesuai hati nuraninya, pada akhirnya mereka hilang, dibunuh, dipenjarakan. Yang
lainnya sekarat! Melindungi diri sendiri, belagak tak terjadi apa-apa.
Munir dibunuh, Marsinah dibunuh, Pramoedya Ananta Toer dipenjarakan, Wiji
Thukul dihilangkan.
Harus
diakui, kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok ini. Negara ini telah di
desain untuk membuat orang-orang seperti saya sakit hati. Setiap saat, setiap
waktu, setiap detik.
Kesadaran memang selalu datang terlambat. Kini, kita semua tahu bahwa diam
bukan pilihan yang tepat, bukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Ahok adalah
anomali dalam dunia politik di Indonesia. Dia menentang segela bentuk
ketidakadilan di masyarakat. Tapi, kebaikannya dibalas dengan hukuman penjara
dua tahun yang cacat hukum.
Kunci
memenjarakan orang atas dasar penodaan agama hanya satu: Jumlah dan tekanan
massa. Kita ambil contoh; Kasus HB Jasin saat menulis “Cerpen Langit Makin Mendung,”
atau Aswendo Atmowiloto ditahun 1990. Dua orang ini dilaporkan oleh kelompok
massa salah satu agama di negeri ini, dan tekanan di pengadilan membuat mereka
harus dipenjara untuk mendamaikan atau menenangkan pelapor. Keadilan
dikorbankan untuk mendamaikan segelintir kelompok. Persis saat sidang putusan
Ahok.
Sejak
1968 saya mencatat ada 37 nama yang dipenjara karena kasus ini, yang hukum
penjeratnya tidak jelas dan sangat lentur. Kepercayaan yang menyatakan penodaan
agama sering dipakai oleh kelompok-kelompok ekstrimis dan radikal untuk
membungkam debat-debat atau pandangan kritis terhadap keagamaan. Bahkan di
Eropa salah satu film berjudul, Das Liebeskonzil (The Council Of Heaven) dicap
merupakan bentuk penodaan agama sebagai tindak pidana pasal 188 KUHP Austria.
Mari
kembali pada Ahok, saat pidato di Kepulauan Seribu. Apakah Ahok menyinggung
Al-Maidah atau menyinggung pejabat-pejabat culas yang bertopeng. Ini pentingnya
belajar bahasa, bahkan saya hanya perlu tiga kalimat itu untuk memutuskan Ahok sedang
membicarakan manusia sebagai objek kalimat atau ayat. Sangat mudah
membedakannya, sangat mudah mengetahuinya. Hanya saja kita yang tidak bisa
bersifat objektif. Tidak adil, tidak benar.
Perubahan
selalu butuh tumbal. Harus ada yang berkorban atau dikorbankan. Ahok telah
melakukannya dengan suka cita, tak ada raut kesedihan yang terlihat, meski kita
tahu saat mata kamera tak menyorotnya kesedihan dan kekecewaan yang mendalam
sedang dialaminya. Kita perlu bergerak menuju perubahan baru, jangan lagi diam.
Buat perubahan semampumu. Aku memilih menulis untuk membuat perbedaan di tengah
masyarakat.
Harapan
harus tetap ditegakkan meski kita sedang berada di titik terendah hidup. Tuhan
tidak diam, dia selalu ada dan kebenaran tidak pernah diam. Indonesia sedang
mendewasakan diri, saat inilah kita perlu bersama-sama ikut mendewasakan
pemahaman kita, tentang politik, keberagaman bahkan agama sekalipun. Kita hidup
di zaman non universal truths, membuat kebaikan tak selalu mutlak. Kita tidak
bisa bilang lagi bahwa semua orang baik dan mengajarkan kebaikan. Mari ambil
sikap, ketahui nilaimu. Apa yang sudah kamu lakukan.
Saya
hanya takut, kasus ini berimbas pada generasi berikutnya yang mulai sangat
rentan diserang dan dicuci otaknya. Mereka akan berpikir bahwa jangan membuat
perbuahan seperti yang dilakukan Ahok. Sang Gubernur yang dipenjara bukan
karena korupsi, bukan karena dia melukai kepercayaan rakyat, bukan karena
berkhianat pada janjinya. Tapi karena tekanan massa yang sebetulnya tak tahu
apa-apa. Kesalahan yang terjadi pada generasi berikutnya adalah tanggung jawab
kita yang hidup di generasi sebelumnya.
Untuk
kalian yang biasa mengungkapkan kebenaran meski jadi bullyan kaum mayoritas
atau radikal, jangan berhenti menyebar kebaikan dan kebenaran. Jangan takut, jangan
biarkan negara ini dikuasai oleh individu-individu congkak yang seenakya
sendiri ingin mengubah semuanya yang telah disepakati sejak dulu. Mempelajari
agama memang baik, tapi bukan justru menjadikanmu manusia yang tidak baik.
Baru
kali ini saya merasakan sakit hati yang paling dalam. Mengetahui negara ini
sedang diperebutkan oleh banyak kepentingan, saya kecewa, kejujuran tidak lebih
bernilai dari apapun. Percayalah! Kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok. Politik
murni memang bikin sakit hati, dia tidak pernah benar-benar membela keadilan.
Selalu ada kepentingan setelahnya. Saya takut, setelah ini akan ada Ahok – Ahok
lain yang diserang, dikerdilkan, dan akhirnya menyisakan orang-orang jahat
untuk bekiprah di dunia politik.
Vonis
dua tahun penjara bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut satu
tahun penjara, hal yang langka ketika hakim justru memberatkan bukan
meringankan untuk peradilan yang tak bisa membuktikan secara hukum, hanya
asumsi di atas asumsi. Banyak orang mencoba membunuh Ahok, menyingkirkannya
karena takut Ahok bisa menjadi gangguan bagi kaumnya.
Dengan
sangat mudahnya kita digiring dengan isu dan opini yang tak jelas sangkut
pautnya, isu ini merusak akal sehat. Kita perlu memahami dan berpikir jernih
apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mari kita hitung, sudah berapa percobaan
yang digunakkan untuk menyingkirkan Ahok? Sudah berapa kali fitnah yang
dilontarkan untuk Jokowi? Harusnya kita jadi tahu siapa lawan kita sebenarnya.
Agama
memang sangat sensitif, itu yang membuatnya bisa sangat mudah dibungkus dengan
sesuatu yang batil. Ketegangan religius dieskploitasi untuk memenuhi tuntutan
politik, memecah masyarakat berdasarkan identitas hanya untuk kemenangan
elektoral saja. Negara yang majemuk ini sedang diuji. Tuhan sedang menguji
kita, seberapa hebat dan kuatnya kita bisa menghadapinya. Jangan pesimis dulu,
selalu ada celah. People Power adalah jawaban.
Percayalah
Pak Ahok, saya pernah memperjuangkan kebenaran, melawan segala bentuk
ketidakadilan, saya diancam, mental saya diuji, ditinggalkan orang-orang karena
takut ikut menjadi korban. Saya ada di barisanmu, mengetahui perasaanmu saat
ini. Saya sudah berusaha untuk berjuang melalui tulisan-tulisan saya, namun
tetap saja ada yang tidak suka. Mereka-mereka ini selalu ada, Pak. Kita cuma
perlu kuat, sabar, dan tabah. Ada saatnya yang pernah berdiri paling depan untuk
mundur, diam, dan istirahat. Biarkan masyarakatmu yang melanjutkan perjuangan
lewat cara-caranya sendiri. Saya menangis menulis ini. Saya yakin Tuhan sedang
bersamaku saat ini. Seperti perlindungannya padamu setiap saat. Terima Kasih,
Pak.

Zahid Paningrome
Web Developer
Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.
Monday, May 8, 2017
Izinkan Aku Menodai Agama(mu)
Izinkan aku menodai agamamu,
aku ingin menemani si bajingan di penjara.
Merasakan dinginnya jeruji besi
Merasakan dinginnya jeruji besi
dan diskriminasi dari penghuni lain.
Izinkan aku
menodai agamamu,
aku ingin melihat si bajingan menangis di balik tembok
Menyesali perbuatannya,
Menyesali perbuatannya,
melihatnya kembali menjadi makhluk suci.
Izinkan aku
menodai agamamu,
agar keadilan bisa dikorbankan untuk sebuah kedamaian
Kedamaian bagi segelintir orang,
Kedamaian bagi segelintir orang,
yang menganggap dirinya tuhan.
Izinkan aku
menodai agamaku sendiri,
aku lelah berada di antara manusia
yang mengaku beragama namun tak tahu apa-apa.
Izinkan aku
menodai agamaku sendiri,
biarkan tuhan memberi hukuman padaku,
bukan hukuman dari hambanya yang sama-sama hina.
Jika pun agamaku
terus dipakai
untuk menghalalkan sesuatu yang haram.
Ya Tuhan,
Izinkan aku untuk tak beragama,
meninggalkannya agar kau tak malu.
Aku bukan bagian
barisan aksi itu,
aku ada di balikmu,
berlindung dan melindungi.
Jika menurutmu aku
salah,
tegur aku,
jangan kau biarkan orang-orang
yang mengaku jadi dirimu menguasai semuanya.
Izinkan aku
menodai agamamu, agamaku, agama kita.
Bukankah kita
sudah bernoda sejak dilahirkan?
Semarang, 9 Mei 2017

Zahid Paningrome
Web Developer
Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.
Subscribe to:
Posts (Atom)