Blog post ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh
GIORDANO dan Nulisbuku.com
-----
Sudah setahun aku tak bertemu kamu. Rasanya memang tak ada bedanya. Kesadaran datang terlambat. Aku memilih untuk tetap menaruh
kamu di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang memilih
menetap. Aku bukan pelari
yang kuat mengejarmu hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya
perlu menjadi bagian dari waktu, yang bisa
kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke masa itu. Saat percakapan mempertemukan kita dalam secangkir kopi dengan kesadaran penuh bahagia.
Kopi menjadi
medium bagi orang-orang yang mencari pelarian. Juga menjadi bagian sejarah dalam Revolusi
Perancis di tahun 1789 dan Perang Aceh saat dipimpin Cut Nyak Dhien. Kopi
menjadi medium bagi prajurit membicarakan strategi dan taktik perang. Warung-warung
kopi disulap menjadi tempat rapat dan berdiskusi. Tidak ada satupun penjajah
yang mengetahui taktik ini. Para Prajurit akan menyamar menjadi pengunjung saat
musuh mampir untuk menikmati secangkir kopi. Kopi juga menjadi alasan dimana aku dan
kamu dipertemukan.
Aku ingat
pertemuan pertama kita di kafe itu. Saat seorang pelayan meneriakkan Kopi Menoreh yang
sama-sama kita pesan. Basa-basi menggiring kita dalam meja yang sama. Satu jam
berjalan, kita bicara banyak soal selera musik.
“Suka musik
apa?” Tanyaku serius.
“Relatif, tapi
aku paling suka musik jazz,” Jawabmu, menghirup aroma Kopi Menoreh.
“Louis
Amstrong?”
“Iyaaa, tapi
aku paling suka Jimy Rushing,” Katamu, menambahi.
“Really? Jimy
Rushing? Kita sama berarti.”
“Aku masih
sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie
Quintet,” Katamu, setelah meminum kopi.
“Aku tahu!
Blues After Dark kan?”
“Iyaaa!
Perancis 1959.”
“Kalo, Billie
Holiday?” Tanyaku.
“Gloomy
Sunday!!” Seru kita berdua, membuat pengunjung lain merasa terganggu.
“Lagu
pengiring tidur,” Bisikku.
Dua jam dalam
meja yang sama, kita mulai berani mengenal satu sama lain, saling memuji. Kamu memujiku
sebagai contoh pria yang asik diajak ngobrol. Kita juga bicara soal buku,
film, pandangan politik dan kecintaanmu terhadap kopi.
“Udah berapa
Kopi yang kamu coba disini??” Tanyamu.
“Aku baru
pertama kali kesini.”
“Ohgitu...
Tahu tempat ini dari??” Katamu, mengecap sendok sisa kopi.
“Ada... satu
teman. Dia juga suka banget ngopi.”
“Aku sering banget
kesini... Ya, bisa seminggu tiga kali lah.”
“Ohiya??
Penikmat kopi sejati dong. Paling suka kopi apa??” Tanyaku.
“Waduh, itu
pertanyaan susah,” Senyummu diakhir kalimat.
“Loh, kenapa
emang??”
“Nggak ada
Kopi Indonesia yang nggak enak. Semuanya enak,” Katamu antusias.
“Kalau yang
sering kamu minum?”
“Mandailing,
Yellow Caturra, sama ini,” Katamu sembari meminum Kopi Menoreh
“Apa
spesialnya tiga kopi itu??” Tanyaku serius.
“Mandailling
itu creamy, Yellow Caturra bikin rileks.”
“Kalau
Menoreh??”
“Aku suka
aromanya... Kalau mau,
aku bisa ajak kamu ke perkebunan Menoreh di Kulon Progo,” Katamu menawari.
Obrolan kita
hari itu, membuat kita lupa waktu. Sudah enam jam berjalan, hari sudah gelap.
Kamu memutuskan untuk pulang. Kita keluar dari kafe itu berdua. Saat sampai di
depan tempat mobilmu parkir. Kamu memberikan ponselmu, memintaku mengisi nomor
handphoneku. Setelahnya kamu mengecup pipiku, lalu pergi meninggalkanku yang
senyum-senyum sendiri.
-----
Sembilan Juli. Hari ulang tahunmu. Tiga bulan setelah kita
bertemu. Lewat tengah
malam, kamu mengajakku pergi menikmati kopi yang dijual di pinggir jalan dekat
rumahmu. Warung
kopi langganan selain kafe tempat kita bertemu dulu. Warung kopi dengan tenda
terpal warna biru, tempat kita menepi dari hiruk-pikuk Ibu Kota. Tak cukup satu cangkir,
obrolan kita tak pernah berhenti pada satu cangkir kopi tubruk buatan mas-mas
warung kopi. Aku suka melihat tawamu yang pecah membentur kayu-kayu gerobak
warung itu. Saat kamu
membicarakan lelucon yang tak sama sekali lucu.
“Kenapa Superman
celana dalamnya merah??” Tanyamu, menirukan preman-preman kampung yang sering mabuk
di pos kamling dekat rumahmu.
“Kenapa
tuh??” Tanyaku, sembari menyeruput kopi.
“Karena nggak
pake pembalut,” Tawamu diikuti tawa mas-mas warung kopi yang terdengar aneh.
Setelah empat
cangkir habis, kamu mengajakku ke rumahmu. Aku suka ketika manjamu kambuh. Aku
melihat dirimu apa adanya. Saat kamu tak sungkan menggandeng tanganku. Saat kamu
menghiraukan godaan mas-mas
warung kopi dan genk-genk motor yang nongkrong di ujung gang rumahmu. Aku suka
kamu. Bahkan saat kamu tak memikirkan soal itu. Aku juga suka saat sisi
romantismu muncul.
“Aku suka
saat kamu mengelus rambutku,” Katamu, dalam perjalanan ke rumahmu.
“Aku suka
saat kamu menggandeng tanganku,” Balasku.
“Aku suka
saat kamu mengelus punggung tanganku dengan ibu jarimu,” Katamu, menatapku.
“Aku suka
saat kamu menciumku,” Jawabku, membalas tatapanmu.
“Mau??”
Katamu, menantangku. Senyum kita bertemu. Senyum malu tapi mau.
Rumahmu juga
rumahku, katamu. Meskipun kamu tinggal sendiri, kamu tak pernah lupa mengabari
keluargamu yang menolak hubungan kita. Kamu adalah manusia paling kuat yang
pernah kutemui. Aku bahagia memilikimu. Tidak pernah ada kebohongan diantara
kita. Idealisme kita sama, mencintai dengan sadar tanpa curiga dan kecemburuan.
Kita sama-sama tak mau kedua hal itu jadi racun hubungan kita. Rasa cemburu
bukanlah tanda kecintaan. Rasa cemburu adalah tanda ketidakpercayaan.
Hari itu, tepat
pukul tiga kamu
menarik tanganku, membawaku ke dalam kamarmu. Kamu menggodaku sebelum pintu
terbuka. Kamu membawaku masuk bersama imaji dalam kepala. Saat itu, kita tidak bisa
bohong, dunia benar-benar milik kita berdua. Kamu melepas bajuku tepat ketika
pintu kamar tertutup, bersama ciuman yang terburu, kamu membantuku membuka jeansku. Dalam sekejap kita
sudah telanjang. Kita saling menatap, mengagumi masing-masing, lalu bersama merebahkan tubuh di kasur
kamarmu.
“Aku
mencintaimu, sayang. Kamu satu-satunya pria yang aku cintai di hidupku,”
Nafasmu memburu diantara keringat yang membasahi tubuh.
“Kado ulang tahunmu,” Kataku.
-----
Setahun
mengenal, aku semakin mencintaimu, meskipun keluarga menentang hubungan kita. Tanpamu,
aku seperti menyelami lautan tua tanpa nelayan, seperti menatap awan yang mengambang.
Malam itu kamu mengajakku ke Taman Kota, tempat biasa
kita melepas rindu selain di warung kopi langgananmu dan kafe tempat pertama kita
bertemu. Dibawah lampu taman dan romantisnya
udara malam itu kamu berkata:
“Aku ingin
hidup tua di pikiran dan hatimu,” Lalu kita duduk di bangku taman yang
berdecit,
“Bisakah
secangkir kopi mengobati rindumu??”
Katamu, membaringkan
kepala dipundakku.
“Rindu tak
pernah sampai tepat waktu. Tapi kopi... Kopi selalu ada di waktu yang tepat.
Menghangatkan tubuh yaang lelah, melepas rindu yang merebah,” Jawabku, mencium
keningmu.
“Berapa lama
lagi kita harus menunggu??” Tanyamu.
“Menunggu
adalah situasi paling ambigu.”
“Lalu??”
Tanyamu, melingkarkan tangan di perutku.
“Rinduku tak
mengenal kata menunggu. Rinduku adalah kamu,” Jawabku.
Kamu bangkit
dari pundakku. Menatapku diujung kata itu. Senyumanmu adalah surga kecil
bagiku. Aku bisa merasakan nafasmu yang menyentuh bibirku. Jantung kita
berdegup seirama. Keringat dingin mulai jatuh dari keningmu. Tatapan itu
berlangsung lama. Kamu seperti memberi pesan untukku.
“Maaf,”
Katamu memelas.
“Kenapa??”
Tanyaku lembut.
“Aku nggak
bisa nunggu lebih lama lagi. Aku harus terima lamaran itu. Aku nggak mau
orang-orang membicarakan kita lagi. Aku mau hidup tenang, nyaman tanpa beban
moral,” Tangismu pecah di taman itu. Keningku beradu mendengar ucapanmu.
“Maaf... Kita bukan garis yang ditakdirkan
bertemu.”
Dalam
dinginnya malam, kamu meninggalkanku bersama keheningan yang merajai tubuh.
Ketakutanku tiba. Aku telah kehilanganmu.
-----
Dalam secangkir
kopi rinduku menjelma tangis yang menderu. Rasa pahit yang mengecap di pinggir
cangkir terpaksa kucium. Aku tahu hitamnya kopi tak akan pernah
mengembalikanmu. Seperti perasaan yang entah mengarah kemana. Rinduku terbentur
pekatnya kopi. Bukan soal latte art, kita tahu kopi tubruk adalah kita, kesederhanaan. Orang-orang akan terpikat
ketika mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk bukan perkara kemudahan,
kedahsyatannya ada. Aromanya memikat. Seperti kamu.
Aku rindu
secangkir kopi yang kita minum berdua. Rindu senyumanmu sore itu. Rindu setiap
kata yang keluar dari bibirmu. Bibir yang pernah merasakan keringat di
keningku, juga yang pernah merasakan lembutnya bibirku. Aku tahu perkara ini
tidak mudah, melepaskanmu, merelakanmu disaat cinta telah lama menetap. Aku rindu menatapmu, aku
rindu larut dalam pelukan hangatmu yang tetap terasa bahkan saat kamu tak ada.
19 Juli. Hari
pernikahanmu, juga hari ulang tahunku ke-27, sebuah dilema bagiku. Aku masih percaya kamu
terpaksa menerima lamaran itu. Desakan keluargamu tak bisa ditolak. Aku percaya kamu masih
mencintaiku. Aku juga tahu, aku tamu yang paling kamu tunggu.
Kamu memang beda, hidangan di
pernikahanmu malam ini
juga
tak biasa, tiga jenis kopi favoritmu berada dalam satu meja yang sama.
Mandailing, Yellow Caturra dan Menoreh. Aku bahkan tak lupa janjimu,
mengajakku ke Perkebunan Kopi Menoreh di Kulon Progo.
Aku terus menatapmu yang berdiri di
pelaminan dengan dekorasi serba putih, warna kesukaanmu. Senyummu
masih begitu hangat saat menatapku. Beberapa menit aku menunggu
antrian orang-orang yang memberimu selamat. Kakiku ikut bergerak menuju
pelaminan. Jantungku berdegup cepat, keringat dingin mulai membasahi kening. Aku menyalamimu lalu
berbisik diantara kebisingan tamu undangan.
“Istrimu
cantik sekali.”
Kita tertawa melihat tuxedo yang kita pakai datang dari desainer yang
sama. Katamu, pakaian adalah bentuk manipulasi pertahanan diri.
[END]
Twist ending :D Enggak ketebak.
ReplyDeletethankyuu eva.
Delete"Aku harus menerima lamaran itu" it makes me think that he was really a girl... :v Bye the way, nice...
ReplyDeletethankyuu Juli. Kalo nggak keberatan bisa di share yaa. Makasii seklaiu lagi
Delete