Wednesday, September 5, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati (Cinta yang Merah)



Bisakah kamu membayangkan menjadi seseorang yang telah melalui semuanya sendirian selama hampir empat tahun setelah patah hatimu yang paling hebat, paling karam, dan paling kelam. Coba bayangkan, kamu tak punya gairah untuk mengenal orang baru, membuka obrolan, apalagi ada di sebuah hubungan baru setelah semua yang terjadi padamu. Kamu memilih menarik diri, menjadikan dirimu sendiri sebagai korban yang tak diketahui siapa-siapa, rasa sakit yang terus-menerus ada, lebih kamu pilih untuk dipelihara.

Kamu terbiasa melakukannya sendiri, terbiasa hidup tanpa rasa kasih atau sayang, kamu terbiasa untuk tidak meminta bantuan pada siapa pun, karena kamu tak lagi percaya pada siapa-siapa. Coba bayangkan ketika seseorang mencoba masuk ke duniamu, mengenalmu. Kamu tetap tak tertarik, tetap tak bergairah, karena bagimu orang itu sama saja—tak ada beda dengan yang terakhir. Atau kamu bahkan berpikir untuk tidak punya hubungan pada siapa pun, tidak ingin menikah—mengutuk dirimu sendiri.

Lalu lama-kelamaan kamu berpikir sendiri bahwa mungkin kamu terlalu mengekang dirimu sendiri, sudah kelewat batas menilai bahwa semua orang sama saja, terlalu sering membandingkan orang-orang pada satu manusia yang telah dengan kesadaran penuh membuatmu jatuh hingga dasar jurang. Kamu berpikir untuk membuka hati namun rasanya sulit, semesta tak lagi memihakmu, perasaan itu terus coba kamu bangun—memang benar membangun optimisme butuh tenaga apalagi di antara orang-orang yang sengaja melemahkan diri—tak optimistik.

Kamu mencoba membaur, berteman pada siapa pun, mengenal semua orang, membuka obrolan dengan orang-orang di sekitarmu, kamu menguji dirimu sendiri. Seberapa banyak kamu membuang waktu untuk menghakimi diri sendiri, seberapa meruginya kamu karena telah terlalu keras kepala, dan tak lagi percaya bahwa cinta adalah kekuatan besar, dan karena itu, ia perlu dikendalikan. Kamu menceritakan kisahmu pada orang-orang yang akhirnya kamu beri kepercayaan, kamu merasa tenang dan nyaman untuk memuntahkan semua kisah yang lama menjadi bebanmu.

Saat kamu mulai percaya pada dirimu sendiri, kamu merasa semesta sepenuhnya memihakmu, seperti memelukmu perlahan, mengelus lembut kepalamu, dan menyanyikan lagu penenang dengan pelan di kedua telingamu. Kamu merasa siap untuk membuka diri, meski di dalam hati kecilmu masih ada sedikit perasaan ragu, merasa takut kejadian empat tahun lalu akan datang dan membunuhmu sekali lagi. Kamu malu-malu mengungkap dirimu yang baru.

Kamu ingin memulai hidup biasa, mulai terbiasa pada hal-hal yang memang dilakukan orang lain; mencintai, dicintai, berbahagia, atau sekadar berpelukan dan berciuman. Lalu satu temanmu menceritakan temannya, kamu tertarik pada seseorang di dalam cerita temanmu itu. Tanpa sadar senyum selalu merekah setiap temanmu menyebut nama orang itu, ada percikan di dalam diri yang awalnya masih terlalu kecil. Lalu kamu mencoba berusaha mengenalnya, pertama hanya melalui sosial media karena di dalam dirimu masih ada rasa tak percaya diri. Kamu mulai mengikutinya, mencari semua tentangnya, detail hidupnya, dan itu membuatmu tambah terpesona.

Kamu sangat bersemangat saat kamu tahu orang itu meresponmu dengan baik. Kamu menemukan orang baru yang sanggup membuatmu pelan-pelan membuka diri. Tanpa sadar kamu selalu menceritakan banyak hal padanya, meskipun kamu baru saja mengenalnya. Bagimu ia seperti malaikat yang diturunkan tuhan hanya untuk kamu seorang. Hari-harimu diisi olehnya, kamu bersemangat untuk membuka sebuah hubungan yang membuatmu merasa tenang dan nyaman. Rasanya ia adalah orang itu, yang kamu butuhkan sejak dulu, lalu kamu merasa dia tidak datang terlambat, meskipun keberadaannya secara realistis sangat terlambat.

Kamu berusaha membujuk temanmu agar orang itu bisa bertemu denganmu. Kamu ingin merasakan apakah debar di dadamu dan getar di tubuhmu senyata itu. Kamu ingin merasakan bagaimana perasaanmu diluluhkan seketika, kamu ingin merasakan lagi hati yang hidup setelah empat tahun mati tanpa penghuni, tanpa seseorang yang mampu dan berani memeliharanya. Temanmu mengiyakan, iya tahu dari raut mukamu, kamu sedang berada di dalam sebuah cinta yang menyala merah, meski kamu masih tersesat di dalamnya. Kamu sudah sering mengobrol hanya melalui ponsel, kamu ingin merasakan kenyataan yang tak kabur sama sekali. Dan hari itu tiba.

“Saat aku mencoba menatapnya untuk pertama kali, ia melebarkan senyumnya, memiringkan kepalanya, menatapku tajam namun lembut, ia menahan senyumnya beberapa detik, sampai satu kata muncul dari bibirnya. Mata di balik kaca mata bundar itu menyentuh lekuk pipinya, menambah semesta yang manis. Aku terpesona, ia menyerahkan seluruh tawa dan senyumnya pada detik yang sama. Dengan aku yang lemah dan tak mampu berbuat apa-apa lagi, hanya terus berusaha menyimpan debar di dada.” Kamu menulis pertemuan pertama itu dalam sebuah buku yang biasa kamu bawa ke mana-mana. Sepanjang jalan pulang senyum di bibirmu terus menukik seperti tendangan bebas Tsubasa yang imajinatif dalam serial kartun Jepang. Bedanya ini nyata.

Saat kamu sampai di rumahmu yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya, karena terletak di kota yang berbeda. Hatimu menggerakkan untuk memberi kabar padanya bahwa kamu sudah sampai di rumah dengan aman. Ia senang mendengar itu, waktu itu pukul satu pagi, dan kamu bertanya kenapa ia belum tidur padahal sebelum berpisah kamu melihat ia tampak mengantuk. Ia hanya menjawab bahwa bentuk matanya memang seperti itu, dan menambahkan sebuah kalimat pada ruang obrolanmu “You need to know me so well,” katanya.

Kamu merasa ini waktunya jujur, bahwa teman-temanmu sering menggodamu bahwa mereka mendorongmu untuk bisa memiliki hubungan lagi, teman-temanmu mendorongmu supaya kamu dan dirinya bisa menjadi sepasang kekasih. Betapa senangnya kamu ia menjawabnya dengan sukacita, ia mengamini perkataan teman-temanmu. Jantungmu berdebar di dingin malam yang menusuk lembut kelopak matamu. Kamu memberanikan diri untuk bilang apakah ia mau. Dengan malu-malu ia menjawab, seperti langit abu-abu, ia menunjukkan ketertarikannya juga padamu 

Setelah itu kamu menyadari, ia punya kisah yang hampir sama, lama sendiri karena pernah patah hati hebat hingga membuatnya kelam dan gelap. Kamu merasa punya kesamaan, bahwa ia juga sedang berusaha membuka hati, dan ia membuka hatinya lebar-lebar untukmu. Lagi-lagi kamu hanya mencoba untuk jujur, bahwa masih ada perasaan takut. Ia memahamimu sepenuhnya, ia juga merasakan tapi ia sepenuhnya ingin melawan.

“Because I need someone to love me. Aku lihat ada ketakutan-ketakutan yang berusaha kamu tutupi dan berusaha kamu lupain dan gak mau kamu obrolin waktu kita ketemu… But if, if you need someone to talk about everything. I’m glad to be here for you,” katanya, yang kamu baca dengan pelan, tanpa sadar kamu mengusap air mata yang menetes membasahi pipimu. Dan kamu membenarkan itu, tanpa keraguan. Lalu dia bilang akan menunggumu keluar dari rasa sakit, kamu senang mendengar itu. Ia menunggu untuk perasaanmu. Akhirnya, ia mengatakan “I love you,” sesuatu yang sudah lama tak kamu terima.

Lalu kamu yakin bahwa ia adalah pendamping hidupmu untuk selamanya, kamu ingin serius, meski jujur kamu tak terburu-buru untuk menikah karena banyak target hidup yang belum kamu capai, kamu mecoba jujur padanya. Dan betapa bahagianya kamu bahwa dia setuju dengan apa yang kamu pikirkan, bahwa ia juga memikirkan hal yang sama. Tapi akhirnya kamu tahu, segala sesuatu tak sesempurna yang kita kira. Kamu benar-benar menyadari perbedaan agama menjadi satu pertanyaan yang menggema di pikiranmu. Kita tak mungkin mengabaikan itu.

“Sebenarnya yang jadi pertanyaan itu soal agama, aku pernah kan cerita ke kamu kalau mamaku pengen aku mulai serius sama orang. Tapi mamaku bebasin aku sih, segala risiko aku yang nanggung karena aku yang jalani.” Akhirnya kamu mengirim pesan itu, seketika tubuhmu melemah, kamu tak bersemangat membahas hal ini. Lalu dia mengaku sedih, kamu bertanya kenapa ia sedih. Sejujurnya ia sedih ketika cinta yang sudah terbuka untukmu harus dipertanyakan lagi hanya karena produk manusia yang disebut agama.

Kamu menunggu balasan pesanmu selama tiga menit. Ia tak kunjung merespon, dan sepenuhnya kamu paham. Kamu memutuskan mengirim sebuah pesan sekali lagi, “Sebenarnya bukan masalah agama, sih. Yaa aku gak tahu nanti kita kedepannya gimana. Cuma aku punya niat kalau bisa serius, bisa gak nanti keluargamu terima aku, dan keluargaku terima kamu. Itu yang aku pikir. Kita perlu cari solusinya bareng-bareng.”

“I love you,” balasnya, dan hanya dengan kata itu, ia berhasil membuatmu luluh—bahagia. Ada senyum yang terbit sempurna di bibirmu. Dan kini hidupmu sepenuhnya berbeda. Hanya karena satu orang yang mampu mengguncangmu. Lalu kau memikirkan satu hal, terus dan terus. Bahwa cinta dan kasih sayang adalah nikmat semesta alam, ketika ia jatuh kepadamu; kamu tak perlu mempertanyakan lagi, cukup merasakan sepenuh hati dan menikmatinya.



-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar