Beberapa
nenek yang mondar-mandir diatas jajaran batu yang tersusun rapi mulai
meninggalkan Vondelpark. Seorang kakek yang duduk menunggu bus, tersenyum. Bus
yang sudah lama ditunggu akhirnya datang. Bus dengan jurusan Groningen itu dipenuhi dengan puluhan
lansia. Kakek itu pelan-pelan naik keatas bus, dibantu oleh seorang kondektur
bus. Mungkin bus itu khusus untuk mengangkut para lansia yang akan pergi ke Residentie Buitenzorg, sebuah institusi
pelayanan kesehatan yang diakui oleh pemerintah Belanda. Melayani kelompok lansia
yang memiliki kesamaan latar belakang dan hubungan dengan Indonesia. Selain di Groningen,
Residente Buitenzorg juga ada di
provinsi Friesland, Drenthe dan wilayah Twente. Aku melambaikan tangan ke arah
para lansia yang ada di dalam bus ketika bus mulai meninggalkan Vondelpark. Mereka membalas lambaianku.
Tersenyum ompong, tanpa ada gigi yang
tersisa.
Aku
mulai membuka tokoku, setelah bunga-bunga yang tersapu angin menjadi lebih rapi
dan kaca tokoku bersih dari remah-remah embun yang menyelimuti karena hujan malam
tadi. Sean juga mulai membuka tokonya. Berbeda denganku, tokonya masih terlihat
berantakkan dengan interior ruangan yang tak jelas posisi peletakkannya. Kakek
Winskel membuka kedai tehnya sembari meletakkan papan menu di depan kedai
miliknya. Sebuah papan tulis kapur berwarna hitam yang disangga pada penyangga kayu,
menyajikan menu dan harga teh yang beraneka macam.
Tak
banyak orang yang berlalu lalang. Truk itu juga belum datang, aku berdiri di
belakang meja kasir berwarna putih yang dihiasi ornamen bunga-bunga yang
berwarna di bagian bawah meja. Di belakangku berdiri ada papan nama besar
bertuliskan “Ran Fleuriste”. Tiba-tiba seorang anak lelaki dengan celana pendek
hitam berhenti berlari, lalu berjongkok tepat di depan pintu Ran Fleuriste. Dia
bersembunyi, anak lelaki lain mencarinya dengan raut muka yang bingung. Anak itu
berhasil tidak ketahuan, setelah anak lelaki lainnya melewati Ran Fleuriste.
Anak dengan celana pendek hitam itu lalu berlari melawan arah anak yang
mencarinya, beberapa detik kemudian dia dikejar, tepat ketika truk penghantar
keperluan tokoku datang. Aku bergegas keluar, membuka pintu Ran Fleuriste.
Lonceng kecil di atas pintu berbunyi. Lelaki gendut yang menjadi sopir truk itu
turun dari truk dengan membawa catatan dan pena kecil yang terselip di saku
bajunya.
“Goedemorgen
Ranum”. Katanya.
“Pagi
juga Uncle” aku menyalaminya sembari tersenyum.
“Kamu sehat, Ranum?”
“Sangat
sehat”
“Maaf
saya terlambat”
“Hanya
terlambat 10 menit, nggak jadi masalah, Uncle.”
“Terimakasih
Ranum, sesuai pemesanan: vas bunga, bibit bunga tulip, anyelir, mawar dan satu
paket buket sudah siap” Uncle membuka pintu belakang truk yang dikendarainya.
Lalu naik untuk mengambil barang pesananku. Aku membawanya masuk ke Ran
Fleuriste, meletakkanya di semping meja kasir.
“Jadi,
semuanya berapa Uncle?” tanyaku. Uncle mengambil kalkulator yang ada di dashboard truk. Sibuk menghitung harga
yang harus aku bayar.
“12
Euro. Tapi karena saya terlambat. Untuk Ranum jadi 10 Euro saja” Uncle
memperlihatkan kalkulatornya padaku.
Aku
merogoh saku celemek yang aku pakai,
memberikan Uncle, 11 Euro, 1 Euro untuk tip. Uncle mengucapkan terimakasih lalu
berpamitan pergi. Aku masuk ke Ran Fleuriste setelah Uncle melambaikan tangan
untukku. Membawa bibit tanaman ke kebun di belakang Ran Fleuriste. Meletakkan
buket bunga pada lemari khusus penyimpanan buket bunga, dan meletakkan vas
bunga di bawah meja kasir.
Sembilan
lima belas, Rambutku hanya kuikat dengan karet yang biasa dipakai untuk
mebungkus bunga dalam satu buket. Bibirku kering, aku lupa untuk sarapan.
Setelah aku menanam beberapa bibit di kebun, aku lantas pergi menuju Scarlet
Thee, kedai teh milik kakek Winskel. Tak ada yang berubah di Scarlet Thee,
semuanya masih serba kayu. Meja, kursi, lantai hingga pintu kayu yang jika
dibuka akan berdecit, mengganggu telinga seperti pintu kayu zaman para cowboy
masih berjaya. Aku langsung memesan teh, pelayan di kedai ini sangat ramah
meskipun sudah sangat akrab denganku. Aku memesan satu Hot Thee yang menjadi menu andalan di Scarlet Thee. Pelayan itu
tersenyum, tebakkanya benar kalau aku akan memesan teh yang sudah biasa aku
pesan, dan jadi kesukaanku. Pagi itu hanya ada satu perempuan tua yang duduk di
sudut kedai teh milik kakek Winskel. Dekat dengan foto istri kakek Winskel.
Aneh, keduanya punya ekspresi yang serupa. Gelisah seperti orang yang kebelet
pipis. Dinding di Scarlet Thee memang dipenuhi foto hitam putih, foto istri
Kakek Winskel dengan berbagai ekspresi. Perempuan tua itu seperti dibekukan
oleh waktu, hanya bisa diam memegang gelas berisikan teh dengan kedua tangannya.
“Ini
tehnya” sahut Si pelayan.
“Terimakasih,
ini uangnya” lalu aku meninggalkan meja kasir sambil melihat perempuan tua itu.
Perempuan tua itu seperti duduk di kursi panas, Duduknya makin tak jelas.
Seperti menunggu seseorang yang sudah lama dinanti.
Setelah
keluar dari Scarlet Thee aku menuju ke Queen Of Sean lewat pintu belakang yang
menjadi satu dengan kebun di belakang Ran Fleuriste. Aku sengaja tidak masuk,
aku memanggil satu pekerja yang bekerja di Queen Of Sean untuk membawakanku
satu roti. Diberikannya satu roti lonjong dengan bubuk gula putih diatasnya padaku,
aku mengucapkan terimakasih, pekerja itu
membalas ucapanku lalu tersenyum. Aku tidak membayar, Sean melarangku untuk membeli
kue-kue yang ada ditokonya. Kalaupun aku memaksa untuk membayar dia akan sangat
marah. “Kue dan Roti ditokoku bebas untuk kamu makan, Ranum. Gratis selama kamu
hidup” kata Sean.
Aku sudah
biasa sarapan dibawah meja kasir agar tak terlihat orang-orang. Belum selesai
aku menghabiskan sarapanku, Tiba-tiba pintu toko terbuka, lonceng pintu
berbunyi. Aku menoleh, hatiku berdebar dalam rongga dada yang sempit.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar