Pria
itu merapikan setelan jas Phillipe Carrol
yang dia pakai setelah turun dari mobilnya, Savage Rivale warna hitam. Mobil pabrikan Belanda. Aku berdiri di
balik meja kasir, sisa roti yang ada di rongga mulutku masih aku kunyah.
Setelahnya aku tersenyum, lalu menyapanya: “Welkom, Sir”. Pria itu membalas
sapaanku dengan senyuman lalu menuju kearah kumpulan bunga mawar yang
berdekatan dengan lukisan tulip karya ibu. Lamat-lamat, telingaku menangkap
beberapa kata yang diucapkan oleh pria itu “Kenapa mawar selalu merah,
bukankah merah itu melambangkan keberanian dan itu sangat tidak cocok untuk bunga
yang akan diberikan kepada seseorang yang kita cinta.” Aku terpana, belum
pernah aku mendengarkan orang berbicara seperti itu. Yang aku tahu mawar merah
melambangkan cinta dan keromantisan. Mawar merah adalah lambang dari cinta
sejati.
Kedua
tanganya tersimpan di saku celana warna hitamnya. Aku mendekatinya
mengikuti tepat dibelakangnya. Rambut pria itu cokelat dan sedikit bergelombang.
Pria itu memakai jam Rolex jenis Oyster Perpetual Datejust II, cangkang jam buatan Swiss
ini berukuran 41 mm, jam dengan gaya klasik modern. Tapi aneh, jam yang dia
pakai tidak menunjukan waktu yang sesuai dengan jam tangan yang aku pakai
ataupun jam dinding yang ada di Ran Fleuriste.
Pria itu masih melihat-lihat
bunga yang ada di Ran Fleuriste, dia berjalan melewatiku dengan langkah yang
pasti, tegak, sesekali memegang bunga dan mencium aromanya.
“Ada yang bisa saya bantu?”
tanyaku.
“Kamu yang punya tempat ini?”
“Iya benar, saya Ranum.
Pemilik Ran Fleuriste.”
“Kira-kira Bunga apa yang cocok
untuk di berikan pada orang yang sangat kita cinta?” cara bicaranya sangat
teratur, seperti sudah terlatih atau seperti seorang presiden yang berpidato menggunakan
teks yang sudah dipersiapkan oleh sekretaris presiden.
“Mawar merah sangat cocok
untuk di berikan pada seseorang yang kita cintai, melambangkan cinta dan
keromantisan,” jawabku sambil menunjuk mawar merah yang berdekatan dengan tempat
kami berdiri.
“Mawar merah? Saya tidak suka
mawar merah. Merah itu warna keberanian, seperti seorang prajurit yang akan
berangkat berperang. Tidak cocok untuk orang yang kita cinta.”
“Maaf, Tapi mawar merah adalah
bunga yang sangat umum untuk diberikan pada orang yang kita cinta. Dalam hal
ini merah berarti warna hati bukan keberanian,” aku mencoba menjelaskan dari
sudut pandangku dan pengalamanku selama menjadi seorang Florist.
“Kamu yakin sekali kalau hati itu
berwarna merah seperti warna mawar-mawar ini, atau kamu memang sudah pernah
melihatnya langsung?” pria itu menunjuk kumpulan mawar merah yang ada di dekatnya.
“Warna hati memang merah,
tepatnya merah tua. Kenapa merujuk pada hati kita, karena untuk mencintai
memang harus dari hati,” aku mencoba menjelaskan, pria itu masih tersenyum
sembari berjalan kecil melihat-lihat bunga yang lain. Aku mengikutinya.
“Kamu sangat lucu, Ranum.” dia
mencibir.
“Maaf, maksudnya?” tanyaku.
“Selama saya bersekolah, tidak
pernah ada satupun dari guru saya yang menjelaskan bahwa salah satu fungsi hati
adalah untuk mencintai, Ranum. Yang saya pelajari selama ini, diantaranya hati
sebagai alat sekresi dan ekskresi bukan untuk mencintai,” wajahnya meremehkanku,
menganggap aku seperti pelamar kerja yang sedang melakukan interview kerja.
Aku diam, sengaja tidak
membalas argumennya barusan. Aku harus menghormati setiap orang yang membeli
bunga di Ran Fleuriste. Aku juga tidak bisa menyalahkannya karena semua yang dia jelaskan memang benar
sesuai dengan keilmuan yang ada. Dia tertawa kecil, menertawakanku yang diam
dan tidak membalas argumennya. Aku bertanya dalam hati: lalu dengan apa dia
mencintai kalau bukan dengan hati.
“Saya hanya bercanda, Ranum.”
“Sialan,” desisku.
“Sebagai seorang Florist apa
bunga kesukaanmu, Ranum?” Tanya pria itu.
“Tulip. Tulip Warna putih,”
jawabku. Langkahnya terhenti, berbalik badan dan berhadapan tepat di depanku.
“Tulip? Kenapa tulip?”
tanyanya bingung.
“Bagi saya tulip adalah
kelembutan yang sanggup membuat saya merasa tenang dan nyaman. Saya seperti
merasakan ada di sebuah dimensi yang langka, dimensi dimana saya bisa menjadi
diri saya sendiri. Saya sangat bahagia ketika saya merawat bunga tulip dari
bibit hingga siap dipetik. Hanya tulip yang mampu membuat jantung saya berdebar
tak karuan” Senyum pria itu mengembang, kepalanya mengangguk pelan.
“Dalam sekali pemahamanmu
tentang tulip?..... Oke, Ranum. Saya sudah memutuskan untuk membeli tulip putih
untuk orang yang saya cintai.”
“Tulip putih? Oke, akan saya
siapkan satu buket tulip putih,” aku meninggalkan pria itu untuk menyiapkan satu
buket tulip yang dipesan olehnya….. Tiba-tiba pria itu memanggilku.
“Hey, Ranum. Satu buket ada
berapa tangkai?”
“Tujuh, tujuh tangkai bunga
tulip.”
“Tambahkan dua tangkai,” jari
pria itu membentuk huruf V menandakan angka dua. “Berikan saya Sembilan tangkai
dalam satu buket,”
“Oke.” Aku tersenyum
menempelkan ujung jempol dan telunjuk, membentuk lingkaran kecil yang berarti
aku siap dan bersedia melakukannya. Sembari aku menyiapkan pesanannya, sesekali
aku memandanginya yang sedang menerima telefon. Seperti memberi kabar pada
seorang wanita yang dia cinta bahwa dia sudah mendapatkan bunga untuknya. Pria
itu kembali ke Savage
Rivale miliknya yang terparkir tepat di depan Ran Fleuriste. Aku
bisa melihatnya kembali dengan membawa dompet Louis Vuitton berwarna cokelat di tangan kanannya.
Aku
sudah selesai menyiapkan pesanannya tepat ketika langkah terakhirnya habis mendekatiku.
Aku memberikan satu buket yang berisi sembilan tangkai tulip warna putih pada
pria itu lalu menuju meja kasir untuk menghitung harganya. Setelahnya, pria itu
memberikan uang dan kartu namanya padaku, lalu pergi. Mengucapkan terimakasih
tanpa basa-basi. Aku meletakkan kartu namanya di laci meja kasirku. Lalu
melanjutkan sarapan pagiku yang tertunda karena kedatangannya.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar